MENONTON MADYAKARYA…EH ‘MAHAKARYA BOROBUDUR’.

Borobudur Links | Juli 14, 2010 | 09.09 wib | Label: Event and News


Oleh: Mualim M Sukethi.

Borobudurlinks, 14 Juli 2010.
Kalau Candi Prambanan memiliki sendratari ‘Ramayana’ yang melegenda, maka Candi Borobudur juga memiliki sendratari berjudul ‘Mahakarya Borobudur’. Tujuan utama diadakannya sendratari ini adalah untuk mendatangkan wisatawan, khususnya yang tertarik dan memiliki perhatian terhadap seni teater dan tari.
Malam itu, 26 Juni 2010, saya beruntung bisa menyaksikan sendratari yang berlangsung di panggung Aksobya, ini bersama Dorothea Rosa Herliany atau Rosa (penyair), dan Deddy PAW (pelukis). Keduanya adalah seniman Magelang yang berhasil menembus gelanggang senibudaya nasional.
Panggung Aksobya, yang terletak di sisi timur candi, dibangun secara alami memanfaatkan kontur tanah yang berundak, dengan sosok candi Borobudur sebagai latar belakang. Deretan kursi penonton terbagi 3 shaft: festival, gold, dan premium. Malam itu hanya kelas festival yang penuh terisi. Sebagian besar penonton di kelas paling murah ini adalah pelajar berprestasi yang sengaja diundang panitia. Sementara beberapa wisatawan asing dan pribumi tampak mengisi kelas gold dan premium.
Kalau sendratari ‘Ramayana’ mendasari ceritanya dari epos Ramayana, maka sendratari ‘Mahakarya Borobudur’ mengangkat kisah pembangunan Candi Borobudur sebagai sumber cerita. Dalam narasi yang dibacakan sebelum dan ketika sendratari berlangsung, diceritakan bahwa pendirian candi Borobudur dimulai pada sekitar tahun 824 M.
Saat itu, diceritakan terjadi kekacauan di antara masyarakat sekitar lembah Menoreh yang subur. Rakai Panangkaran, penguasa Mataram Kuno, memerintahkan Raja Smarathungga untuk menertibkan situasi chaos itu. Setelah berhasil ditertibkan, Rakai Panangkaran kemudian memerintahkan menyebarkan nilai-nilai Budhisme lewat pembangunan sebuah candi.
Dibantu Gunadharma sebagai arsitek, Raja Smarathungga kemudian memobilisasikan masyarakat setempat untuk membangun candi itu. Pembangunan candi itu bukan tanpa halangan. Dalam sendratari itu digambarkan pasukan jin setan perawangan datang mengganggu, namun berhasil dikalahkan dan diusir oleh Raja Smarathungga. Sekitar tahun 824-827 M pembangunan candi dianggap selesai.


AKADEMIS.

Dari kacamata turistik atau sajian wisata, sendratari berbiaya 250 juta rupiah ini tergolong prima. Ceritanya linier mudah dipahami. Alur (flow) pertunjukan sepanjang 1,5 jam itu mengalir lancar. Adegan-adegan besar, melibatkan tak kurang 150 penari, tersaji secara rancak dan gemebyar. Koreografi yang melibatkan puluhan penari dalam pola berbaris sejajar, melingkar, atau diagonal, tergarap secara apik, rapi, dan akademis.
Asal tahu saja, naskah, koreografi, dan penyutradaraan sendratari ini, digarap oleh seniman-seniman Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Sedangkan penarinya merupakan gabungan antara penari ISI dan penari local Magelang.
Panggung Aksobya yang cukup lebar ditampilkan secara alami. Gerumbul pepohonan di kanan kiri panggung dibiarkan telanjang. Sementara kemegahan Candi Borobudur sebagai latar belakang tampak gelap, hanya menampakkan siluet stupa utama hasil backlight yang menyorot samar. Beberapa sebeng (dinding tiruan) sebagai dekor bernuansa batu candi menyiratkan dinding bangunan kraton. Sebeng yang diletakkan berlapis itu juga berfungsi sebagai lorong keluar-masuk penari.
Bagian setting panggung yang terasa modern terlihat pada rigging untuk meletakkan tata lampu, dan dua layar lebar di kanan kiri depan panggung untuk menampilkan teks dan pembesaran adegan lewat zooming kamera (close dan medium shot). Keberadaan rigging itu sedikit menggangu kesan alami panggung. Kedua layar itu cukup membantu, meski kadang-kadang juga memecah konsentrasi penonton.
Para penari nampak trampil dan menguasai ragam gerak yang mendasari koreografi. Beberapa gerakan tari berasal dari khasanah tari India, yang bisa ditelusur pada relief candi maupun tari India masa kini. Seperti pose berdiri dengan kaki kanan terangkat menekuk keluar, sementara tangan tetap bergerak leluasa mengikuti irama tarian.
Yang pantas diapresiasi adalah masuknya khasanah gerak yang berasal dari tarian rakyat dan music khas Magelang, seperti Soreng, Topeng Ireng, Kobra Siswo, dan Trunthung. Dengan kemasan professional ternyata kesenian rakyat itu mampu tampil lebih rapi dan memukau. Kendati terkesan steril dan kehilangan spontanitasnya.
Klimaks pertunjukan berupa berdirinya candi diwujudkan lewat stupa tiruan berukuran besar yang menjelma dari balik sebeng. Seluruh penari, baik Raja Smarathungga, para perwira, dan rakyat nampak takzim menyembah berdirinya bangunan spektakular ini. Penonton pun menghargainya dengan tepuk tangan panjang.

DRAMATURGI.

Sebagai sajian wisata sendratari ini cukup memuaskan penonton. Namun dari segi pencapaian seni, sendratari ini masih mengandung berbagai kelemahan. Sebagai teks, narasi berdasar sejarah politik formal semacam ini mengandung persoalan. Kenapa rakyat selalu ditempatkan sebagai antagonis, dan kesatria (penguasa) senantiasa menjadi protagonist pembawa nilai-nilai kebaikan ?
Apakah teks itu tidak bisa ditafsir secara terbalik ? Justru rakyat sekitar Menoreh adalah pahlawan, karena mampu memberikan berkah kesuburannya bagi kerajaan Mataram. Sehingga wajar kalau kemudian Raja Smarathungga menganugrahkan Candi Borobudur bagi rakyat Menoreh.
Atau bisa juga meminjam thesis Peter L Berger dalam bukunya ‘Pyramids of Sacrifice’, yang melihat monument peradaban semacam Borobudur (atau Piramida Cholula di Meksiko) merupakan wujud ambisi para penguasa menunjukkan kebesarannya. Dan untuk itu ribuan rakyat yang berpartisipasi membangun monument harus rela menjadi korban atau tumbal demi kebesaran sang penguasa.
Apalagi ceritanya disusun dalam format ‘dramaturgi koboi’ yang lempang dan lemah. Diawali situasi masyarakat yang kacau, kemudian datang para kesatria yang mampu mengalahkan para pengacau, dan jadilah para kesatria itu sebagai hero pembawa kebajikan. Tidak ada konstruksi persoalan dan bangunan karakter yang kompleks atau situasi konflik yang dramatic seperti layaknya ‘dramaturgi Aristotelian’.
Hal ini tentu berbeda apabila sendratari ini mau menengok ‘dramaturgi wayang’, yang memiliki babakan serta tangga dramatic yang komplit dan tak kalah canggihnya dibanding ‘dramaturgi Aristotelian’. Wayang (kulit dan orang) sebagai bagian dari sastra (tradisi) Jawa, menawarkan struktur dramatic yang kaya. Mulai dari ‘jejeran’ sebagai pembuka sekaligus pemapar masalah, konflik dalam bentuk wacana, perang tanding antar kesatria atau perang kembang, gandrung asmaradahana (adegan romantic), hingga goro-goro: yang bisa dipahami sebagai partisipasi rakyat.
Namun peran rakyat yang diwakili punakawan itu jangan dipandang semata hiburan. Karena peran mereka bisa transformative: menjadi oposisi, guru sumber nilai, bahkan menjadi cermin yang mencerahkan. Hal ini bisa kita temui pada lakon orisinal khas Jawa, yang tak ditemui pada sumber aslinya Ramayana-Mahabarata versi India, seperti ‘Petruk Dadi Ratu’ atau ‘Semar Gugat’. (Saat sendratari berakhir, Rosa nyeletuk: “Kok ndak ada jeda untuk sekedar lucu-lucuan “.).
Memang diperlukan kreativitas, dibutuhkan fiksi dan imajinasi. Demikianlah hakekat SENI. Tokoh Semar, Gareng, Petruk, bagong, Udawala, mBilung, Cakil, adalah tawaran (kalau tidak bisa disebut negasi) dari kebudayaan Jawa terhadap Ramayana-Mahabarata, sebagai produk sastra India yang tipikal ‘hikayat para raja’.
Pendekatan formal terhadap teks sejarah mapan itu, juga menyebabkan kreatifitas yang terbatas dalam mengolah idium pengucapan. Dalam adegan pembangunan candi misalnya, penata tari sekedar mengadopsi gerak pekerja bangunan secara telanjang apa adanya. Para penari beriringan memanggul potongan batu dan godam (palu besar), kemudian dalam formasi kelompok mereka memeragakan adegan layaknya memahat dan menggodam batuan itu.
Idium yang terasa naïf juga muncul pada adegan puncak. Penyelesaian pembangunan candi digambarkan dengan nongolnya stupa tiruan dalam ukuran besar dari balik sebeng, dibarengi munculnya sosok candi yang asli di latar belakang secara samar karena teknik pencahayaan. Kenapa harus menggunakan stupa tiruan yang artificial, sehingga terjadi duplikasi ‘yang tidak lebih bagus dari aslinya’ ?
(Saat adegan ini, saya sempat berbisik pada Rosa: “Kalau saya sutradaranya, sebeng atau dinding kraton itu pelan-pelan saya rubuhkan. Mungkin dengan teknik fade-out, karena saya pembuat film. Sehingga sosok kemegahan candi terlihat utuh, termasuk lingkungannya. Dengan cara itu, mungkin, yang merasa takjub oleh kemegahan candi bukan hanya pemain di panggung, tapi juga penonton. Itulah wujud seni di era pascamodern yang mampu mencairkan sekat-sekat antara pemain, penonton, dan lingkungannya “.).
Tentang bagaimana teknik fade-out dan mewujudkan kemegahan candi Borobudur secara nyata, saya rasa itu persoalan sederhana. Itu hanya problem teknis tata pencahayaan. Demikian pula dengan pendekatan pascamodern. Saya yakin teman-teman ISI lebih tahu dari saya. Tergantung siapa sutradara dan pengarah artistiknya…… Eh, tapi siapa sutradaranya juga tidak disebutkan. Baik pada narasi maupun teks di layar lebar. Mungkin karena karya ini dianggap bukan karya penting, atau personal, maka nama kreatornya pun tidak perlu ada.

***

Candi Borobudur memang maharkarya. Kalau berdiri dihadapan candi terbesar di dunia ini, hati saya selalu tergetar. Saya selalu berpikir, peradaban bangsa Indonesia berhenti di sini, di candi ini. Faktanya, setelah era candi Borobudur, bangsa ini belum menghasilkan karya lain yang menyamai atau melebihi kebesaran dan keagungan candi ini.
Sedangkan ketika menonton sendratari ‘Mahakarya Borobudur’, saya tidak merasakan getaran itu. Mungkin sendratari ini belum tergolong mahakarya, masih di tingkat madyakarya….Pis bro. (borobudurlinks@2010).

16 komentar:

  1. Ariana Pegg:
    thanks bro, very like this "peradaban bangsa Indonesia berhenti di sini, di candi ini." ..apa iya ya? iya juga kalee... uh,pusinknk!

    BalasHapus
  2. Ikra Negara:
    Bagus sekali! Salut!
    Pementasan kolosal seperti yang di Prambanan dan Borobudur ini perlu diperbanyak kehadirannya di tempat-tempat lain yang menampilkan kisah pentasnya sesuai dengan sejarah maupun mitologi setempat. Di bekas Majapahit di Jatim, atau juga di Singosari, dll perlu adanya pentas semacam ini, yang bisa tampil ajeg dan rutin.

    BalasHapus
  3. Eko Magelang:
    kritiknya mas mualim boleh, lebih manis lagi kalau kapan2 pas akan dilaksanakan acara seperti ini, pemikiran2 yang membangun utk lebih bagusnya pementasan bisa ter akomodisir ya mas...

    BalasHapus
  4. Herry Suprihanto:
    trimakasih mas Mualim...fotonya terlihat artistik...betul2 kliatan kebesaran Borobudur...saya setuju dg pendapat mas Mualim...bahwa Indonesia belum menghasilkan "MAHAKARYA" lagi setelah Borobudur... mudah2an kedepan acara itu benar2 bisa sampai tingkat ke Mahakarya ... dan masuk kalender kegiatan tiap tahun...apakah sekali...dua kali ...atau saat2 tertentu...seperti sendratari Ramayana di Prmbanan

    BalasHapus
  5. Wahyu Setiawardani:
    Hmmm keren abis mas.....aku tolong siapin brosur2 n foto cantiknya ya...bila aku lg ngurus gawean or exibition ke beberapa negara aku promosiin abis2an disana ....,ntar kalo aku pas mudik mgl tak jukue....sekalian tilik mbah Tanto ..kangen wis sue ra ketemu....

    BalasHapus
  6. Mualim M Sukethi:
    @Peggy. Setelah Borobudur, apa yg dihasilkan bangsa ini ? Sebagai teks, borobudur juga sangat kaya. Kita bisa belajar berbagai ilmu dr relief2nya: arsitektur, musik, pengobatan, pelayaran, ekonomi, politik, sosial, filsafat, dll.
    @Bang Ikra. panggung itu dan fasiliotas lain di Borobudur juga bisa dimanfaatkan untuk pertunjukan lain. Kpn abang unjuk kebolehan akting di situ ? Kami tunggu bang.

    BalasHapus
  7. Mualim M Sukethi:
    ‎@Eko & Herry. Pak Pujo, GM Taman Wisata sdh membaca tulisan ini. Ia mengapresiasi kok, dan berjanji menyampaikannya pd teman2 ISI. Saya harap teman2 ISI membaca kritik ini. Sehingga bisa jadi masukan dan perbaikan di kemudian hari. Toh pertunjukan ini bersifat reguler, 4 x dalam setahun. Kapan2 kalau pulkam nonton mas.
    @Dani. Kalau sekedar foto2 bagus, kamu bisa unggah dari bolinks. Atau nanti kukirim khusus untukmu. Balesannya, kalau ke Bandung gratis mampir di kafemu..he he. Yg pasti ke depan kita biusa bekerjasama. Entah menggarap event di Borobudur, atau menjual paket2 wisata sekitar Borobudur yg bisa kita create secara menarik.

    BalasHapus
  8. Wahyu Setiawardani:
    Beres mas...tak entertaint abisssss wesssss......bendino teko oleh...mari..mari....

    BalasHapus
  9. Adhy Rical:
    sayang ya mas, kepala patung borobudur udah banyak yang dicuri. kalo ada video juga, tolong di-tag ya mas. hehe. terima kasih telah berbagi catatan yang indah ini. jabat erat hati.

    BalasHapus
  10. Ikra Negara:
    @ Mualim. Bagus sekali kalau panggung kesenian di Borobudur ini terbuka untuk penampilan karya-karya lain. Tapi tetaplah kekhasannya hrus dijaga. Apakah sudah ada rumusan/pakem kekhasan ini yang tentunya harus dipatuhi. Misalnya, bahwa yang akan ditampilkan itu harus "punya akar" estetika tradisional yang tentu saja tidak terbatas kepada tradisi Jawa atau Bali saja, tapi bisa juga Sumatera Barat, Aceh, Dayak, Bugis, dll. Bahkan yang punya akar tradisi dari luar negeri pun, seperti India, Arab, China, Indian Amerika, Amerika Latin, dst. Hanya saya haruslah difahami apa yang dimaksudkan dengan "punya akar" ini. Apakah ini harus karya kreasi baru tapi yang "punya akar" tradisional? Juga, apakah penampilannya harus kolosan mengingat panggungnya memang menuntut kekolosalan? Atau bagaimana? Sudahkah ada pakemnya? Ini yang harus dirumuskan. Atau sudah ada?

    BalasHapus
  11. Mualim M Sukethi:
    ‎@Ical. Pencurian dan vandalism yg dilakukan rakyat kecil, lebih sering disebabkan iming2 duit gede dari kaum konglomerat tak bernurani (ingat kasus Hasyim Djojohadikusumo yg kedapatan menyimpan patung2 koleksi Museum radyoPustoko Solo). Plus, pemerintah yg kurang tanggap, terlalu kecil ngasih imbalan bagi para penemu benda2 purbakala itu. Atau,mentrinya gebleg spt kasus situs2 Trowulan yg dilindas pembangunan Pusat Informasi...eh menteri itu ternyata msh kepakai di kabinet baru pula. Negeri ajaib.

    BalasHapus
  12. Mualim M Sukethi:
    ‎@Ical. Pencurian dan vandalism yg dilakukan rakyat kecil, lebih sering disebabkan iming2 duit gede dari kaum konglomerat tak bernurani (ingat kasus Hasyim Djojohadikusumo yg kedapatan menyimpan patung2 koleksi Museum radyoPustoko Solo). Plus, pemerintah yg kurang tanggap, terlalu kecil ngasih imbalan bagi para penemu benda2 purbakala itu. Atau, menterinya gebleg spt kasus situs2 Trowulan yg dilindas pembangunan Pusat Informasi...eh menteri itu ternyata msh kepakai di kabinet baru pula. Negeri ajaib.

    BalasHapus
  13. Mualim M Sukethi:
    @Bang Ikra. Dalam waktu dekat ini, InsyaAllah, Remy Silado akan mementaskan karya terbarunya 'Opera Matahari' di panggung Aksobya itu. Pertunjukan yg diangkat dr novel 'Aku Matahari' karya Remy itu, didasari keyakinan kalau tokoh Matahari pernah tinggal di sekitar Borobudur (katanya).

    BalasHapus
  14. Autar Abdillah:
    Tengkiu Mualim, meski tidak berada di tengah2 pertunjukan itu, sy merasakan getarannya. Tapi, sy bisa memahami bgm kolaborasi teman2 ISI Surakarta dan Magelang memainkannya. Sebuah arena yg menarik, mdh2an ada kesempatan menyaksikan pertunjukan berikutnya, suwun

    BalasHapus
  15. Mualim M Sukethi:
    @Autar. Kalau toh harus diperbaiki, saya rasa juga tidak mengganggu penontonnya. Kutunggu kedatanganmu di Borobudur.

    BalasHapus
  16. Seseorang Itu Nana Mulyana:
    ‎...terimakasih mas Mualim, saya sudah membaca dua kali, ternyata mas tak pernah berhenti untuk peduli dengan Magelang. Atau mungkin justru akar kebudayaan besarnya telah membangun daya juang masyarakat sekitarnya untuk tetap berpikir besar ke depan...

    BalasHapus
 
  • 1st
  • 2nd
  • 3rd
  • 4th
  • 5th

Home | Mobile Version | Seni dan Budaya | Manusia Kreatif | Acara dan Berita | Festival 5 Gunung | Networking | Wisata
(c) 2013-2016 Modus Getar | Powered by Day Milovich