Oleh Mualim M Sukethi.
Borobudurlinks, 20 Juni 2012. Ketika
kecil, tahun 1960-70-an, saya termasuk anak yang selalu menanti-nanti perayaan
Waisak. Saat itu pemahaman tentang perbedaan agama belum merasuk benak
anak-anak. Sehingga saya bisa menerima perayaan Waisak seperti halnya menghadapi
perayaan Lebaran Iedul Fitri. Dalam
benak saya saat itu, Waisak identik dengan perayaan alias pesta desa. Ada
ribuan manusia berkumpul, ada prosesi ribuan obor, ada upacara meriah, tontonan
bermacam-macam kesenian, hingga berbagai jajanan di sekitar candi Mendut dan
Borobudur.
Saat itu, kami kakak beradik,
selalu menyempatkan diri menginap di rumah kakek di Desa TukSongo, kira-kira 2
km sebelah selatan Candi Borobudur. Selama 2-3 hari menginap di rumah kakek,
kami berkesempatan menonton rangkaian acara Waisak, termasuk berbagai acara
kesenian rakyat yang dimainkan warga desa di sekitar candi. Berbagai kesenian
yang dimainkan antara lain Jathilan, Rodhat, Kubrosiswo, Wayang Kulit atau
Wayang Wong, hingga Topeng Ireng.
Khusus Topeng Ireng, kesenian
itu masih tampil dalam bentuk aslinya. Para pemainnya berkostum sederhana, ala
kesatria Jawa, plus topeng berwarna hitam. Sekujur tubuh mereka juga berwarna
hitam karena diolesi langes – debu hasil pembakaran yang
biasa menempel pada peralatan dapur.Belum seperti sekarang ini, yang didominasi
kostum ala Indian Amerika. Tarian ini memang asli ciptaan warga TukSongo
bernama Ahmat Sujak, yang kebetulan adik kakek kami.
Kami juga bergaul dengan para
biksu dan pendeta Budha yang berkunjung atau menginap di rumah kakek kami. Saat
itu sekitar Borobudur belum banyak hotel atau penginapan. Sehingga para biksu
dan pengunjung Waisak banyak yang
menginap di rumah penduduk sekitar Borobudur. Kami sangat terkesan oleh
sosok-sosok berkepala plonthos dengan
jubah kuning atau coklat itu, yang melintas atau mondar-mandir di jalanan desa
sekitar candi.
Sebuah kenangan indah yang
sulit dilupakan……
Saya menikmati acara Waisak
kembali saat saya menjadi mahasiswa Institut Kesenian Jakarta (IKJ), tahun
1980-an. Selain bertujuan mempelajari aspek-aspek kebudayaan, saya juga mencoba
menyerap nilai-nilai Budhisme. Maklum saat itu saya juga sedang gemar-gemarnya
mempelajari spiritualisme berbagai agama dan kepercayaan.
Kini, beberapa tahun terakhir
ini, saya kembali mendatangi candi di lembah Pegunungan Menoreh ini saat Waisak
tiba. Bahkan pada saat Waisak terakhir, beberapa hari lalu, saya menikmatinya
bersama keluarga. Kami sekeluarga juga sempat mengunjungi Sendangsono, situs
ziarah bagi umat Katholik. Saya ingin berbagi dengan mereka tentang indahnya
kehidupan keberagaman (agama dan kebudayaan) di wilayah berpanorama indah ini.
Keluarga saya cukup terkesan
oleh beberapa acara Waisak kali ini. Terutama ketika menyaksikan pelepasan
ribuan lampion saat puncak puja semedhi Waisak di pelataran candi Borobudur. Bayangkan….ribuan
lampion memenuhi udara malam di atas Borobudur. Ribuan lampion yang terus
membumbung tinggi itu seakan-akan membentuk jembatan cahaya menuju bulan
purnama yang bulat sempurna. Kebetulan saat itu juga sedang berlangsung
fenomena super-moon, atau posisi bulan terdekat dengan bumi.
Namun bagi saya pribadi,
rasanya ada yang hilang dengan perayaan Waisak kali ini. Waisak yang penuh
nuansa kebudayaan, atau sebutlah Waisak Kultural, seperti masa kecil saya, kini
tak bisa dijumpai lagi. Rangkaian acara yang berlangsung, seperti penyambutan
api dan air suci berlangsung datar. Paritha (doa) dan kidung-kidung suci
dibacakan atau dinyanyikan dengan dingin.
Bahkan puja semedhi, sebagai
puncak acara Waisak, terlaksana relative tanpa sentuhan seni sama sekali. Selain
renungan, semedhi, atau wejangan, memang ada paduan suara. Tapi sajian olah
suara yang menyanyikan lagu-lagu pujaan bagi Sang Budha, termasuk himne Walubi
ciptaan Hartati Murdaya, Ketua Walubi, itu tergolong berkualitas rendahan.
Sekelas dengan koor ibu-ibu tingkat RT/RW di Magersari, kampung di mana saya
dibesarkan di kota Magelang. Apalagi kualitas soundsystem-nya juga menyedihkan.
Yang cukup mengesankan secara estetik, hanya acara pelepasan lampion. Itu pun
karena dukungan setting candi Borobudur dan purnama yang spektakular.
Dulu, kirab berlangsung
khidmat, serta menyajikan keindahan tersendiri, karena dihiasi ribuan obor
peserta yang harus melewati jalanan gelap antara Mendut-Borobudur. Kini ribuan
massa itu berjalan tak beraturan penuh atribut organisasi dalam bentuk bendera
dan spanduk, menyerupai barisan kampanye partai politik.
Berbicara tentang politik,
ternyata dalam beberapa tahun terakhir, tak bisa dilepaskan dari perayaan
Waisak, khususnya sejak era reformasi. Kalau pada masa Orde Baru, hegemoni
Negara sangat kuat, sehingga gejolak politik tak terasa. Namun sejak era
reformasi, politisasi Waisak nampak terbuka.
Walubi (Perwalian Umat Budha),
yang diketuai Hartati Murdaya, berusaha menguasai hajat tahunan umat Budha itu
bagi ambisi politiknya. Ia memobilisasi kekuatan ekonominya sebagai pengusaha
terkemuka. Antara tahun 2002-2004, ia mengerahkan buruh yang bekerja di
beberapa perusahaannya untuk menghadiri Waisak.
“Ia juga ‘menyulap’ warga sekitar
Borobudur, sesaat menjadi umat Budha. Bahkan banyak yang bersedia digunduli dan
dijubahi sebagai biksu, padahal mereka muslim, “ kata Ariswara Soetomo,
budayawan Borobudur, saat saya temui di antara acara Waisak. Selain mendapat
honor sebagai figuran budhis, masyarakat juga mendapat penghasilan tambahan
dengan menyewakan kamar dan menyediakan makanan bagi ribuan peziarah baru itu.
Namun ‘honeymoon’ itu hanya
berlangsung sesaat, lanjut Ariswara. Begitu berhasil menduduki jabatan sebagai
Ketua Umum Walubi, Hartati menghentikan mobilisasi massa itu. Ia juga
menghentikan kebiasaan umat Budha menginap di rumah penduduk. Ia memborong
tanah di sekitar candi, membangun wisma atau vihara, dan rombongannya diinapkan
di situ. Bahkan untuk kebutuhan konsumsi, ia membangun dapur umum di dekat
candi Mendut.
“Relatif tak banyak distribusi ekonomi saat Waisak berlangsung, “
tambah Ariswara. Tentang hal ini juga diiyakan oleh Andrie Topo, seniman
performens, yang sejak 6 bulan lalu tinggal di samping selatan candi Borobudur.
Menjelang Waisak kemarin,
Andrie melihat banyak pemuda menganggur. Kebanyakan mereka hanya jadi tukang
parkir di sekitar candi. Ketika ditanya apa mereka tak dilibatkan secara resmi
dalam kepanitiaan Waisak selama ini ?
“Ndak mas. Kami hanya kebagian
sampah yang ditinggalkan turis-turis Waisak itu, “ kata salah seorang pemuda
yang tinggal di sekitar rumah Andrie. Seniman berambut gimbal itu kemudian
berinisiatif membuka stand (tenda) menjual berbagai kerajinan dan lukisan yang
berhasil ia kumpulkan dari seniman dan pengrajin yang bersimpati. Hasilnya
dibagi dan jadi tambahan penghasilan bagi para pemuda di sekitar rumahnya itu.
Seniman dan budayawan setempat
juga tak pernah dilibatkan dalam hajat spiritual sekaligus cultural itu. “Kami
tak pernah dilibatkan, “ kata Umar Chusaini, Ketua KSBI (Komunitas Seniman
Borobudur Indonesia). Padahal komunitas beranggotakan puluhan seniman itu
tergolong paling aktif mengadakan berbagai kegiatan senibudaya, baik di dalam
mau pun di luar candi Borobudur.
“Dulu bersama warga desa
Wanurejo kami sering mengadakan acara budaya berbarengan Waisak. Tapi kemudian
berhenti, karena panitia Waisak ndak pernah bantu apa-apa, “ tambah Umar.
Ketidakhadiran seniman dan budayawan ini nampak jelas pada penanganan berbagai
acara Waisak, yang miskin dari citarasa dan sentuhan artistic. Padahal dalam
sejarah kebudayaan, olah spiritual atau ritual apa pun tak bisa dilepaskan dari
unsure kesenian.
“Waisak sekarang ini lebih
mengedepankan seremonial-nya, atau Waisak seremonial, “ kata Ariswara.
Unsur-unsur spiritualnya juga mulai memudar oleh kepentingan seremonial yang
berbau politis, lanjut pemilik Hotel Rajasa, yang berada tepat di samping
tembok komplek Borobudur itu.
Situasi sekarang ini menumbuhkan jarak sosio-kultural
antara perayaan Waisak dengan masyarakat sekitar. Masyarakat merasa tidak
mendapat manfaat apa-apa, atau sekedar mendapat remah-remah dari kehadiran
ribuan peziarah tahunan itu.
Apalagi secara ekonomi, selama
ini keberadaan industri pariwisata Borobudur juga dianggap tidak berkontribusi
bagi kesejahteraan masyarakat sekitar. Sekarang ini, dari segi kesejahteraan,
posisi Kecamatan Borobudur berada di peringkat 19 dari 22 kecamatan seluruh
Kabupaten Magelang. Ironis.
Sesungguhnya hal ini, secara
politik, kurang menguntungkan bagi Hartati mau pun bagi umat Budha secara umum.
Mestinya Hartati masih membutuhkan dukungan masyarakat sekitar, khususnya dalam
perebutan pengaruh antara Walubi dengan KSI (?), organisasi Budhis lain yang
dipimpin para pendeta.
Perasaan tidak dilibatkan pada
akhirnya mengikis rasa memiliki terhadap Borobudur. Ini yang lebih berbahaya.
Perasaan itu bisa tumbuh menjadi anti Borobudur, seperti yang diperlihatkan
oleh beberapa warga yang tergolong Islam puritan. Atau resistensi terhadap
berbagai proyek pengembangan Borobudur. Kalau hal ini digarap bagi kepentingan
tertentu, situasi Borobudur bisa ‘meledak’ menjadi bom politik yang
mengguncangkan.
Perlu diingat, selain pernah
diledakkan secara fisik, masyarakat pernah berkeinginan agar Borobudur menjadi
wilayah Provinsi Jogyakarta. Keinginan terakhir itu jelas didorong oleh
minimnya perhatian pemerintah serta PT
Taman Wisata Borobudur. Dibandingkan masyarakat Jogyakarta yang relative lebih
sejahtera. Padahal salah satu sumber kesejahteraan itu berasal dari pariwisata.
yang jelas sangat tergantung pada keberadaan Borobudur.
Mestinya situasi yang tidak
menguntungkan ini secepatnya bisa disadari. Pemerintah dan umat Budha
secepatnya harus merangkul dan membangun kembali kebersamaan untuk menjaga dan
melindungi candi Borobudur. Tidak semata-mata untuk kepentingan spiritual umat
Budha, tapi juga untuk pengembangan sosio-cultural masyarakat pendukungnya.
Mungkin jalan kebudayaan bisa
ditempuh. Dengan tersalurnya ekspresi kebudayaan, rasa memiliki terhadap Borobudur
dan Waisak diharapkan tumbuh di kalangan masyarakat. Syukur-syukur kalau
pelibatan secara kebudayaan itu serta merta meningkatkan ekonomi dan
kesejahteraan. Pasti masyarakat akan berterimakasih dan welcome terhadap
perayaan Waisak dan kehadiran ribuan umat Budha itu.
“Waisak itu bukan berarti
kesedihan. Bukankah pada relief candi tergambar suasana riang gembira oleh
berbagai kesenian dalam setiap ritual agama Budha, “ Ariswara mengingatkan.
Kalau hal itu bisa terjadi,
rasanya bukan hanya rasa rindu terhadap Waisak cultural yang terobati. Tapi
juga harmoni dalam kehidupan masyarakat Borobudur bisa terjaga, serta
peningkatan kesejahteraan masyarakat yang meningkat signifikan. Semoga !
(bolinks@2012)
(CATATAN: Tulisan ini dalam
edisi cetak sudah dimuat di ‘Suara Gemilang’, majalahnya Diskominfo Kabupaten
Magelang, edisi Mei 2012.).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar