Kerumunan Lebah si Pemuja Festival
oleh Sholahuddin al-Ahmed
Borobudurlinks, 19 Juli 2010, Hampir semua di seluruh penjuru dunia menggelar festival, dipenuhi warna-warni kostum, berbagai corak musik dan kehebohan di dalamnya. Semua berbicara konsep festival dengan teori yang tak bisa dijangkau orang awam. Bagi Komponis Lima Gunung, Sutanto Medut, tak semua orang memahami hakekat dari festival.
Masyarakat lebih banyak menangkap kulit luarnya saja, seperti kemeriahan dan pestanya saja. Padahal di balik festival adalah ruh untuk mencapai sebuah ekstase seni.
Di Indonesia sendiri sepanjang tahun hampir tak pernah sepi dengan apa yang namanya festival. Di Jateng juga demikian, di daerah kabupaten/kota hampir setiap bulan ada festival.
Dia mencontohkan, di Solo secara beruntun menyelenggarakan festival taraf International, yakni Solo International Contemporary Ethnic Music (SIEM) dan Solo International Performing Art. Di Wonosobo Bupati Kholik Arif menyelenggarakan Festival Dieng. Termasuk agenda tahunan Festival 5 Gunung yang diselenggarakan komunitasnya.
‘’Masih banyak lagi festival lokal digelar di berbagai daerah di Jateng, yang terpenting adalah masyarakat bisa berproses dan memahami hakekat dalam setiap pagelaran tersebut,’’katanya.
Festival bisa dipahami upaya menghadirkan ribuan masyarakat dalam satu tempat. Sekarang ini ada festival yang lebih canggih lagi. Setiap hari orang bisa melakukan festival melalui dunia maya, dengan fasilitas facebook, twitter dan blog.
Berbagai gaya dan ragam konstum yang digunakan pengguna facebook bisa di upload setiap saat melalui ponsel. Menurutnya, itu adalah festival yang lebih digemari masyarakat sekarang, dengan biaya murah dan tanpa resiko.
‘’Zaman sudah berubah mengalami pergeseran perilaku manusia seiring dengan semakin canggihnya tehnologi dan murahnya biaya akses internet. Masyarakat tiap hari bekerumun di dunia maya, melakukan festival massal tanpa batasan jarak,’’katanya.
Festival dengan kerumunan massa di suatau tempat, menurutnya adalah cara-cara kuno. Tapi bukan berarti terjadi benturan antara antara dunia maya dan festival konvensional, tapi justru dunia maya memanjakan festival kuno itu dengan cara upload foto di jejaring sosial facebook dan twitter.
Mereka bagaikan kerumunan lebah yang memenuhi sarang-sarang dunia maya. Berkerumun dalam sebuah jaringan dan sinyal. Tertawa tanpa bentuk, tersenyum tanpa kerutan. Tapi itulah sebuah fenomena festival yang disukai masyarakat modern.
Kemudian dia mencerna kembali dari fenomena sosial itu dan muncul ide akan menyelenggarakan Festival Lima Gunung 1 Agustus mendatang pada dini hari, mulai pukul 00.000 hingga 05.00 pagi. Dengan kapasitas penonton terbatas dan tak mendatangkan kerumunan massa yang banyak.
‘’Meski sepi penonton dan hanya dihadiri wartawan dan facebooker festival itu akan sukses, karena mereka akan memancarkan pencitraan melalui dunia maya. Menghadirkan kerumunan massa dari berbagai penjuru dunia melihat festival tersebut,’’katanya.
Menurutnya, itu bukan ide gila tapi karena sampai kini Komunitas Lima Gunung belum memiliki dana untuk menyelenggarakan festival. Jika sampai hari H tak memiliki dana, lanjut dia, terpaksa diselenggarakan di Studio Mendut yang tempatnya terbatas dan waktunya juga berlangsung dini hari.
Dia sendiri tak terlalu memikirkan sebuah konsep dalam penyelenggaraan Festival Lima Gunung. Karena semua berawal dari sebuah prosesi ritual di pedesaan, masyarakat setelah panen bersenang-senang dengan menggelar berbagai kesenian tradisional.
‘’Dari awal adalah biaya sosial dan membangkitkan kesadaran emosional rela berbagi dan gotong-royong. Ini merupakan hakekat dari Festival Lima Gunung, buka sebuah produk yang gampang diperjual belikan,’’katanya.
Karena itu pihaknya tetap menjaga independensi Festival, yang mengusung maskot kesenian dari Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing dan Menoreh. Jika ada dampak dari kegiatan itu misalnya Komunitas Gejayan pentas di Jakarta dan berbagai kota di Indonesia, itu adalah berkah bagi warga desa yang harus disyukuri.
‘’Apa yang diraih berbagai komunitas yang masuk di dalam Komunitas Lima Gunung itu adalah bagian dari buah proses festival. Mereka bisa pentas taraf International karena memang kerja keras dan kreatifitas seniman desa, bukan karena sesuatu yang lain,’’katanya.
Dalam proses penyelenggaraan Festival Lima Gunung, lanjut dia, tak lepas dari dukungan KH Muhammad Yusuf Chudlori (Gus Yusuf), dengan gigihnya tak membedakan antara dikotomi agama dan seni. Masyarakat desa yang sebagian besar adalah umat Islam bisa menerima berbagai pagelaran seni budaya tersebut.
Ketika menerjemahkan antara seni, tradisi dan agama, menurutnya seperti memoles permainan sepak bola yang cantik dan indah di tonton. Kearifan lokal tetap akan menjadi magnet dan tehnologi turut memuja dan mencitrakan seniman desa.
‘’Sekarang banyak orang mengaku seniman tapi tidak indah ketika tampil di pangung itu biasanya ada dalam diri orang kota. Tidak begitu bagi seniman desa, mereka benar-benar indah ketika tampil di panggung tapi tetap lugu dalam kesehariannya,’’tambahnya.
Anda bisa posting-ulang artikel ini atau dengan mencantumkan link ini:
http://borobudurlinks.blogspot.com/2010/07/kerumunan-lebah-si-pemuja-festival.html
http://borobudurlinks.blogspot.com/2010/07/kerumunan-lebah-si-pemuja-festival.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar