HUT KOTA MAGELANG, QUO VADIS ? (02)

Borobudur Links | April 26, 2010 | 17.46 wib | Label: Event and News


(Refleksi Kritis Perayaan HUT Kota Magelang 2010).

Oleh: Mualim M Sukethi.

DATAR.

Borobudurlinks, 26 April 2010.
Pada acara puncak HUT kemarin juga ditampilkan acara kesenian yang diarahkan oleh Dewan Kesenian Kota Magelang (DKKM). Ada dua kelompok seni atau program seni yang tampil, kebetulan keduanya dimainkan oleh eksponen komunitas lima gunung. Sendratari dengan lakon ‘Ruwat Gethuk’ karya Handoko dari Warangan, Merbabu. Dan wayang wong pethilan (durasi pendek) berjudul ‘Mbangun Keraton Ngamarta’ yang dimainkan kelompok Cipto Budoyo pimpinan Sitras Anjilin, dari Tutup Ngisor, Merapi.
Namun sayang acara senibudaya yang menjadi sajian utama justru berlangsung datar, alias biasa saja. Sendratari dan sajian wayang wong berlangsung tanpa greget, kurang atraktif sebagaimana ruh kesenian rakyat. Irama pertunjukan tidak mengalir secara lancar dan enak. Gebyar seni pertunjukan massal, dengan Alun-alun sebagai panggungnya, tidak muncul.
Sehingga kebanyakan penonton yang saya tanyai, tidak begitu tertarik dengan tontonan itu. Mereka bertahan karena menunggu grebeg (rebutan) gethuk. Atau karena masyarakat Magelang memang haus hiburan. Jadi apa pun itu, asal ramai, ya mereka tonton.
Sejauh yang saya pahami, kesenian rakyat senantiasa adaptif terhadap idium-idium baru, khususnya yang bersifat spectacle, yang mengundang decak kagum. Gerak, alunan music, gebyar busana, pada kesenian rakyat biasanya bersifat rancak dan gemebyar. Karena kesenian rakyat biasanya lahir atau berfungsi menjadi pelengkap dari ritus-ritus kegembiraan atau pesta desa.
Misalnya pada tarian Soreng yang subur di sekitar lereng Merbabu, gerak penari terasa cepat bertenaga, sementara iringan musiknya juga bertempo cepat bahkan setengah nada, atau stakato. Irama stakato inilah yang mengilhami Sutanto Mendut menciptakan komposisi music yang disebut ‘Thruntung’, yang kini popular menjadi music rakyat khas Magelang.
Atau, kita bisa menengok ‘Jaipong’, tarian rakyat yang popular di tlatah Sunda. Tarian yang bertumpu pada ‘3 G (goyeng, githek, geol)’, jelas merupakan kombinasi gerak dan music atraktif (nge-beat) yang mengundang penonton untuk ikut bergoyang.
Dalam hal sajian seni untuk kepentingan hajatan-hajatan besar semacam ini, kita teringat pada karya-karya (alm) Bagong Kussudiardjo. Koreografi karya maestro tari dari Jogyakarta, itu sebagian besar juga bertolak dari khasanah tari tradisi atau tepatnya kesenian rakyat. Dari karya-karya Bagong itu penonton bisa menangkap kesan kebesaran, kemegahan, keanggunan, dan kegembiraan yang menjadi ruh kesenian rakyat. Jadi tidaklah mengherankan kalau selama tiga dekade terakhir ini panggung atau arena besar di tanah air, pada hajatan resmi pemerintah, diwarnai oleh karya-karya yang bisa disebut genre Bagong Kussudiardjo.

Namun sesungguhnya kita tak perlu menengok ‘pendekar tetangga rumah’, maksudnya Bagong Kussudiardjo yang semasa hidupnya mengelola padepokan tari di Jogyakarta. Magelang juga memiliki ‘pendekar seni’ yang tak kalah piawainya. Untuk ini, sekali lagi kita harus menyebut nama Sutanto Mendut.
Kebetulan saya beruntung bisa menyaksikan karya-karya Tanto, panggilan akrab Sutanto Mendut. Baik ketika Tanto masih berstatus mahasiswa AMI (Akademi Musik Indonesia, kini ISI Jogyakarta) di akhir tahun 70-an, hingga terakhir ketika ‘mengelola’ komunitas lima gunung. Saya sempat menonton ‘Sketsa Ide’, karya Tanto yang menggegerkan TIM Jakarta tahun 79. Saya bahkan terlibat dalam pementasannya berjudul ‘Luka Ha Ha’, yang berangkat dari puisi Sutardji Calzoum Bahri, yang dimainkan di gedung Kyai Sepanjang Magelang dan GOR Simpang Lima Semarang, tahun 1981.
Di era 5 Gunung Tanto juga membuat karya kolosal berjudul ‘Orkestra Arupadatu’ yang dimainkan saat Upacara Waisyak 2005 di Borobudur, dan peringatan hari HAM Sedunia 2005 di Jakarta. Selain itu ia juga ‘mengarahkan’ beberapa pertunjukan yang berskala lebih kecil, seperti ‘Jazz Gladiator Gunung’ di Teater Salihara, atau Tim Parade Budaya 2008. Keduanya berlangsung di Jakarta.
Mungkin Tanto bukanlah seorang pelatih tari seperti Bagong Kussudiardjo. Tapi dari ‘Orkestra Arupadatu’ yang menampilkan sedikitnya 200 penampil, Tanto membuktikan dirinya seorang ‘artistic director’ yang berkelas maestro. Ia berhasil menyatupadukan berbagai materi artistic yang berasal dari berbagai bentuk ekspresi yang berbeda-beda, sesuai karakteristik masing-masing komunitas yang tergabung di lima gunung.
Dari karya-karyanya itu saya melihat bahwa Tanto sangat menguasai dramaturgi dan irama pertunjukan, serta memahami psikologi-massa. Selain itu, tentu Tanto adalah seorang manajer yang baik, yang mampu menyatupadukan berbagai potensi yang dimilki kelompoknya.

Mengingat bahwa materi yang diolah Tanto sama dengan materi yang digunakan oleh DKKM, yakni komunitas Warangan dan Tutup Ngisor, maka kurang berhasilnya pagelaran saat HUT kemarin bisa jadi disebabkan:
- Jumlah penampilnya kurang banyak, sehingga tidak mampu menampilkan kesan seni pertunjukan massal (kolosal). Hal ini sesungguhnya bisa disiasati dengan menampilkan gerak-gerak atraktif (bahkan akrobatik), gerak ‘gagahan’, serta ‘pembesaran’ yang bisa diproduksi oleh komposisi music dan kualitas soundsystem.
- Pengarah (sutradara atau artistic director) kurang berhasil menyiasati dan menaklukkan medan yang terlalu luas (Alun-alun dengan ikon-ikonnya: beringin, water-torn, dan masjid agung sebagai latar belakang).
- Pemahaman tentang dramaturgi dan irama pertunjukan yang kurang memadai dari para pengarahnya.


NILAI TAMBAH.

Tentu tidak fair kalau sekedar membandingkan pelaksana HUT kemarin yang dikoordinasi oleh DKKM dengan Sutanto Mendut atau Bagong Kussudiardjo. Tapi kenapa tidak ? Sebab dengan ‘berpikir besar’ tentulah akan menghasilkan karya besar pula. Nilai tambah itulah yang dibawa atau dihasilkan sekiranya Pemkot Magelang berani menggunakan seniman-seniman besar sebagai kreator HUT Kota.
Sebagai praktisi komunikasi yang cukup lama berkecimpung di dunia periklanan (termasuk PR, EO, dan PH), saya melihat korelasi positif dari nama-nama besar, karya besar, acara besar, biaya besar, dan pemasukan sponsor yang besar pula. Semakin besar suatu hajatan, dengan nama-nama besar terlibat di dalamnya, serta jumlah penonton yang banyak,maka sponsor besar pun akan berdatangan. Itu hitung-hitungan yang wajar dan logis. Ibarat semakin banyak gula, semakin banyak pula semut yang mendekat.
Dalam acara HUT tanggal 11 April 2010 kemarin, , berapa penonton yang datang melihat? Dengan nada optimis seorang pejabat kantor Disporabudpar (Dinas Pemuda, Olahraga, Budaya, dan Pariwisata) Kota Magelang mengatakan angka sekitar 5000 orang. Lalu, apa artinya jumlah penonton sebesar itu bagi sponsor, apalagi hanya terkonsentrasi sekitar 3 jam (jam 08.00 s/d 11.00) ? Nothing.
Mustahil sponsor melirik acara sebesar itu apalagi harus membayar biaya hingga 1,3 milyar rupiah (sesuai proposal). Saya pernah menjadi produser Didi Kempot, penyanyi campursari terkenal dari Solo. Ia hanya perlu pentas kecil sekelas pasar malam di pinggiran Salatiga atau Purwokerto untuk menggaet penonton antara 15.000-20.000 orang. Untuk itu sponsor cukup merogoh kocek kurang dari 100 juta rupiah. Biaya itu sudah termasuk sewa alat band lengkap, sound+lighting-system, panggung, dll.
Jadi bisa dimaklumi kalau pihak perusahaan rokok Gudang Garam tahun 2010 ini absen menjadi sponsor, padahal tahun lalu mereka mau menggelontorkan dana sponsor hingga hampir 1 milyar rupiah. Mungkin mereka kecewa karena coverage dari acara HUT Kota Magelang ini tak sesuai harapan. Jadi panitia kali ini cukup puas mendapat masukan dana yang tidak seberapa dari para sponsor kecil, yang berasal dari produk atau perusahaan local Magelang.
Lalu, nilai tambah apa yang didapat pelaku ekonomi, khususnya yang bergerak di sector pariwisata ? Dari beberapa hotel, restoran, dan beberapa travel biro yang saya coba hubungi, mereka menyatakan selama ini tak ada peningkatan tamu atau wisatawan yang datang untuk menonton HUT Kota Magelang.
Paling banter yang mendapatkan multiplier effect dari HUT Kota Magelang, adalah para pedagang kaki lima (PKL) di sekitar alun-alun. Kalau sehari-hari mereka hanya bisa mendapatkan hasil 50.000 rupiah, maka saat HUT, mereka bisa memperoleh hasil hingga 300.000 rupiah (Lihat: Pak Purwo, POTRET PKL ALUN-ALUN MAGELANG).
Sedangkan bagi kebudayaan, manfaat apa yang bisa didapat dari hajatan tahunan itu ? Relatif tidak ada. Mungkin ada beberapa ulasan atau berita sekedarnya di media massa. Tak ada loncatan atau catatan prestasi budaya yang ditorehkan seniman-seniman Magelang lewat hajatan ini.

Yang pasti, acara HUT Kota Magelang ini tak pernah tercatat dalam agenda atau jurnal budaya dan pariwisata nasional. Setahu saya, tak pernah ada wisatawan atau seniman yang menunggu-nunggu tibanya acara HUT Kota Magelang. Meminjam istilah jurnalis infotainment,….nggak ngegoss, nggak seru, nggak ngundang.
Berbeda, misalnya dengan ‘Jember Fashion Carnaval’ (JFC-HUT Kota Jember), atau ‘Solo Batik Carnival’ (SBC-HUT Kota Solo), yang kini telah menjadi ikon pariwisata dan budaya nasional. Terutama Solo yang menyadari pentingnya pariwisata sebagai sector ekonomi andalan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Berbagai event budaya dan pariwisata berkaliber nasional dan internasional diadakan setiap tahun di kota batik ini.
Selain kedua acara itu bergaung secara nasional, bahkan internasional, dampak ekonominya juga luar biasa. Sekarang ini, eksponen kedua acara itu ditanggap dimana-mana, termasuk melalang buana ke luar negeri. Mereka diundang untuk memeriahkan berbagai acara, dari launching produk atau bank baru, HUT Kota, hingga pameran akbar.
Sesungguhnya HUT Kota Magelang ini bisa diangkat menjadi agenda penting budaya dan pariwisata nasional. Tentu berbagai pembenahan harus dilakukan. Program acara perlu ditambah. Durasi acara juga harus diperpanjang. Jadi selain pembenahan, harus dilakukan ‘pembesaran’ di sana-sini.
Misalnya pembuatan panggung besar dan sarana pendukungnya yang hanya dimanfaatkan selama 3 jam. Bisa dioptimalkan menjadi sedikitnya 15 jam, bahkan bisa menjadi 2-3 hari, dengan menambah sound-system dan peralatan band. Maka deretan grup music indie atau campursari di sekitar Magelang bisa meramaikannya. Atau teater remaja/mahasiswa bisa unjuk kebolehan. Saat puncak acaranya ditampilkan artis penyanyi/pemusik nasional yang mampu mengundang penonton.
Perlu manambah cluster atau stand, yang bisa dimanfaatkan untuk pameran multi produk, kerajinan atau merchandise khas Magelang yang belum pernah ada, serta yang tidak boleh ketinggalan kuliner khas Magelang. Lalu, sediakan wahana atau ajang bagi kreasi anak muda. Misalnya bioskop alternative yang bisa menayangkan film-film indie produksi remaja Magelang. Atau berbagai stand bagi permainan anak-anak, yang di Magelang hingga saat ini terasa miskin. Ini hanya sebagian kecil dari ide-ide spontan yang bisa saya tawarkan.
Untuk parade budaya dan grebeg, kalau perlu kita libatkan professional sekelas Dynand Fariz, penggagas sekaligus presiden JFC, dan konsultan SBC. Dua acara itu berhasil menjadi ikon pariwisata nasional berkat tangan dingin desainer yang berasal dari Jember ini. Dengan melibatkan Dynand, Tanto, dan entah siapa lagi seniman dan EO (event organizer) yang kompeten, kita bisa berharap, selain HUT Kota Magelang menjadi acara budaya yang bergengsi, sekaligus menjadi wahana ekonomi yang signifikan.
Saya sendiri pernah kontak Dynand Fariz dan menawarkan kemungkinan ini. Setelah mempelajari sekilas Magelang lewat borobudurlinks, ia mengajukan semacam proposal. Ternyata biayanya tak terlalu mahal. Ia hanya minta kurang dari 100 juta rupiah (saya ada proposalnya). Itu termasuk biaya riset, konsultasi, plus official dan peraga(wati) sekitar 30 orang. Biaya yang tergolong murah. Karena nama Dynand Fariz memiliki ‘selling point’ untuk mendatangkan sponsor.
Yang tak kalah pentingnya adalah masalah promosi. Anda bisa bayangkan, acara sepenting itu hampir tak ada promosi sama sekali. Ketika saya datang ke Magelang 2 hari sebelum hari H, tak terlihat spanduk atau poster tentang acara itu yang menghiasi sudut-sudut kota. Saya harus tanya kanan-kiri untuk sekedar mengetahui jadwal acara. Warga Magelang sendiri juga banyak yang tidak tahu keberadaan acara ini.
Di jaman digital dan IT sekarang ini, tak ada pemberitahuan sama sekali dari official resmi (panitia/Pemkot) yang diunggah di internet, baik berupa website atau undangan di laman pertemanan (facebook atau twiter, misalnya). Padahal tak perlu biaya untuk melakukan promosi di media ini. Memang ada undangan di facebook, itu pun dibuat oleh seorang wartawan yang mungkin prihatin dan tergerak untuk sekedar membantu.
Awal april lalu, ketika saya menulis status di facebook saya menyinggung acara ini, seorang teman asal Magelang yang kini tinggal di Surabaya bertanya, kapan acara itu berlangsung dan apa saja acaranya. Saya tidak bisa menjawab, karena memang saya tak tahu detailnya. Padahal teman itu berharap, sebagai penulis yang khusus menyoroti pariwisata Magelang seharusnya saya tahu. Ironis ! (SELESAI/ bolinks@2010).

15 komentar:

  1. Gepeng Nugroho:
    Thanxs, saya blajar bnyak dari proses

    BalasHapus
  2. Eko Magelang:
    mosok belajar kok tiap tahun....

    BalasHapus
  3. Mualim M Sukethi:
    Mas Eko, belajar mmg tak ada batas waktunya. Tp mmg hrs terukur, progresnya mesti jelas. Klo toh saya hrs menyebut Tanto Mendut, krn ia sy anggap master dlm menyiasati ruang dan psikologi massa. Sesuatu yg mmg hrs dipelajari lagi oleh Mas Gepeng. Jd teater itu tak semata akting, tak semata panggung, tapi juga ruang, dan massa penonton. Itulah ... Lihat Selengkapnyahakekat teater kontemporer (dan postmo), yg sebetulnya sdh menjadi 'keahlian' sedulur2 Komunitas 5 Gunung yg berbasis seni rakyat. Ini juga slh satu kehebatan Tanto, yg mampu membebaskan 'para petani' itu dr sekat2 seni modern yg mengungkung.
    Mas Gepeng, hingga saat ini sy juga msh terus belajar. Klo toh sy dulu sempat mencicipi bangku kuliah seni, itu hanya membekali 5-10 %. Selebihnya saya dpt juga dari proses. Cuma saya tak terbatas pd teks, kelas, atau ruang2 pertunjukan.
    Panggung sy adalah kehidupan itu sendiri. Artinya selain sy belajar pd orang spt Tanto, sy juga belajar pd P'Wito (swike), P'Purwo (PKL alun2), Pak Sumaryono (penjaga Selogriyo), P'Muhroni (petani mantran), dll yg sdh sy tulis di bolinks. Bahkan sy juga tak segan2 belajar dr Anda.

    BalasHapus
  4. mBilung Sarawita:
    @GN: Hari Minggu tanggal 25 April kemarin sempat niliki event MAGELANG TEMPO DOELOE di Alun-alun apa tidak Mas Gepeng ?

    BalasHapus
  5. Forumpakar Magelang:
    Aku tuh heran, kenapa mereka yang sekarang gembar-gembor pro rakyat, pro wong cilik, merasa dirinya "jelata" lebih suka menghabiskan dana yang sia-sia hanya untuk sebuah upacara "yg tdak penting" Memfoya-foyakan dana rakyat demi sebuah HUT adalah pekerjaan sia-sia. Kenapa mereka itu tidak berani "pelit" untuk foya-foya yg gak karuan itu. Lucunya, ... Lihat Selengkapnyauntuk sebuah acara yg beraroma religi justru mereka bener2 pelit. Keindahaan dunia dengan foya-foya itu menjadi trade mark semua pejabat. Kasian rakyat yg gak jelas statusnya, diplat-kan Hiburan Rakyat, tapi mereka dipinggirkan, dipaksa desak-desakan, dipaksa berkuyup-kuyupan, sedangkan yang merasa dirinya "pro rakyat" datang dengan gagah perkasa, wangi, berpakaian perlente dibalut mobil mewah plus disambut dengan segala hormat. Lantas, siapa "rakyat" yg sebenarnya, pejabatkah atau....???

    BalasHapus
  6. Paguyuban Magelang Jabotabek:
    Kami harus banyak belajar dari sumbernya....salam hormat mas mualim.

    BalasHapus
  7. Penthol Magelang:
    betul,pak mualim.. memang promonya sangat kurang.. kemasannya pun keliatan kurang bervisi.. kl mnrt saya,kembali yg hrs dipertanyakan adl komitmen pemrintah dlm mengakomodir acara2 smcm ini.. magelang sgt kaya dg seniman2 (dlm berbagai level totalitas).. sayang kl tdk dikelola dg baik..
    sbnrny byk acara2 sosial budaya yg sgt bagus yg dimiliki oleh ... Lihat Selengkapnyamagelang.. bbrp wkt yll ada acara saresehan budaya rutin yg diadakan oleh yayasan kanthil.. tp yg hadir cm segelintir org (n hampir seluruhnya sepuh) krn mmg tdk ada promonya.. acara tahlilan 100 hr gus dur kmrn pun tdk byk diketahui,bahkan oleh penduduk di seputar seminari spt saya..
    tp di atas segalanya,sy setuju bhw kita hrs terus belajar atas apapun n sll berharap akan hr esok yg lbh baik..
    trima kasih.. salam.. :)

    BalasHapus
  8. Mualim M Sukethi:
    Dlm berbagai acara senibudaya yg diadakan berbagai komunitas, kita bs lihat adakah elite politik dan pemda hadir, kendati hanya sbg undangan yg tak hrs bayar ? Ketidakhadiran itu cermin rendahnya komitmen mereka pada pengembangan senibudaya.
    Tp dr pengamatanku slm 8 bln terakhir, antar komunitas seniman di KOTA Magelang juga tidak akur. Istilah ... Lihat SelengkapnyaHaris Kerto, masing2 merasa jd raja kecil yg tak mau disaingi. Jd kalo suatu komunitas bikin acara, banyak komunitas lain enggan hadir, entah apa alasannya. Nggak ada solidaritas antara seniman sendiri.
    Selain itu, mereka juga males nambah wawasan.Pdhal banyak cara, entah dgn baca buku, gaul sesama komunitas, studi banding ke kota2 lain, dll. Jdnya ya itu spt 'katak dlm tempurung', merasa dirinyan hebat pdhal.....

    BalasHapus
  9. mBilung Sarawita:
    @PM&MMS: Ho-oh-... pancen ketoke ngono ... raja2 kecil rumangsa wis ngetop, ora butuh mengapresiasi karyane kanca sesama seniman-budayawan Magelang ... nang fotografi rasane kok ya padha wae ... menjelang event kemarin itu (Magelang Tempo Doeloe 25 April 2010) praktis saya hampir single-fighter ... beruntung lantas mendapat bantuan tenaga liputan ... Lihat Selengkapnyadari Aqib (anak-buahe Gus Yusuf) & Hasan, dua orang fotografer muda yang gesit, sehingga pada hari H saya tidak terlalu repot njungkir-walik dhewe ... ;-) ... {aku meri karo kanca-kanca Jogja sing padha guyub rukun kae} ...

    BalasHapus
  10. Antox Criwil:
    Melihat acr HUT Magelang kemarin sbnrnya kita sebagai rakyat magelang sdh bisa menilai bahwa kinerja yang katanya wakil rakyat itu keadaan riilnya mmg seperti itu yaitu ingin disanjung dan hanya bisa berpangku tangan melihat rakyatnya sengsara contohnya pasar Rejowinangun yang sampai skrg masih terbengkalai blm jg dibangun . melihat keadaan seperti... Lihat Selengkapnya itu hrsnya pemkot/DKKM malu berpesta pora dgn menggunkn biaya yg tdk sdkt ttp mlpkn pembngn yg shrsnya SEGERA/SDH dibangun.Sedangkan untuk acr HUT Magelang kemarin yang kemasan serta acrnya terlalu singkat menurut saya sbgai rkyat mgl merasa g greget blass.......meskipun tempat tinggal saya dipedesaan yg jauh dari kota tetapi sedikit banyak saya mengerti akan nilai2 sebuah karya seni , hajatan tahunan kmrn shrsnya bisa dinikmati secara lngsng oleh rakyat TIDAK dibatasi oleh pagar2 besi dan panggung yg terlampau tinggi.saya tidak bisa mencela sbuah karya seni ttp hnya bs menikmati saya juga bukanlah dari akademisi seni tetapi pernah berproses berteater dgn tmn2 mahasiswa serta seniman2 jalanan pwrjo,jogja dan jakarta disitu saya mengalami pembelajaran lngsg kelapangan .saya sependapat dengan p.mualim bahwa dlm berteater itu tak semata akting, tak semata panggung, tapi juga ruang, dan massa penonton. disitulah saya belajar saat bergaul dengan seniman2 petani gunung / komunitas seniman 5 gunung serta saya banyak belajar dari beliau p.Tanto.

    BalasHapus
  11. Hermanto:
    Trimaksih Pak Mualim, tulisan bapak ini telah mewakili perasaan dan keprihatinan saya. Apa yg bapak tulis adalah apa yg saya rasakan selama ini.
    HUT Magelang itu untuk siapa sih ? kalo untuk warga mestinya tidak seperti itu. Kecuali mmg untuk para pejabat.
    Soal wayang, mmg inovasi dan kreatifitas itu perlu. Tapi jangan sampai menggeser esensinya. Mosok belakang geber malah jadi tempat parkir.

    BalasHapus
  12. Yuddy Wong Magelang:
    Wah, kalau seniman dan budayawan berdiskusi, gak da habisnya. Saya sebagai penonton, malah mumet. Ra mudeng karepe.

    Yang jelas nanti malam saya punya gawe, yakni nonton wayang kulit semalam suntuk di alon2, trus besuk pagi langsung ikut jalan santai Dinas Pendidikan Kota Magelang. Sopo ngerti entuk pit jengki. Pandongane wae yo poro sedulur!!! He he......

    BalasHapus
  13. Mualim M Sukethi:
    @Mas Yuddy, pendidik dlm kapasitas sbg 'agen perubahan' adalah budayawan. Mendorong 'budaya kurang terdidik' menjadi 'budaya terdidik', dlm segala aspek kehidupan. Jd saya yakin Anda bukan tergolong awam.
    Sebetulnya forum ini menjadi menarik karena pendapat yg muncul cukup serius, menyangkut hal penting ttg kota Mgl. Bukan spt umumnya forum FB yg cair, yg sekedar jd ajang basa-basi atau saling ha ha hi hi. Tp bagaimana pun juga, sebagai wahana demokrasi, pendapat Anda ttp pantas dihargai.
    Selamat nonton wayang. Kami tunggu laporan pandangan matanya...eh kameranya.

    BalasHapus
  14. Herry Suprihanto:
    memang patut disayangkan kalo kejadiannya gitu...saya sependapat dg pendapat mas Mualim...perlu melibatkan seniman2 besar dalam mengisi acara...trus kalo bisa HUT Kota Magelang menjadi Agenda Nasional...tp yo mesti hrs digali dulu...apa alasannya...apa yg penting...apa yg ditawarkan...biar bisa masuk kelas nasional...kalo memang bisa ditemukan alasan...ya kembali itu td..melibatkan para pakar...seniman besar...buat ngatrol popularitas...soal biaya ...tak kiro ndak repot...klo memang proposale apik ... kan tentu sponsor ndak ragu2...dadi nek etung2an dagang kira2 bisa untung...paling tidak...balik modal.
    Memang ya perlu kerja keras...setidaknya harus bisa meyakinkan publik...kalo HUT Magelang itu penting..karena ini dan itu...akan diselenggarakan meriah...didukung seniman besar ini dan itu dsb....yakin deh..suatu saat akan terwujud.
    Memang sangat beralasan kalo orang nanya ke mas Mualim ...kan smua tahu klo mas Mualim bagian 'woro-woro'..jd ada semacam tanggung jawab untuk ngasih tahu...hehehe...
    Saya yo pengin ngerti kok mas...apalagi adoh..bisanya hanya lewat media saja...mudah2an perjuangan mas Mualim sukses...mengangkat Magelang...matur nuwun

    BalasHapus
  15. Mualim M Sukethi:
    @Mas Herry. Dibandingkan Jember, Magelang jauh melebihi segalanya. Apalagi di bidang pariwisata, potensi Magelang tak tertandingi daerah lain di Indonesia. Apa sih yg tidak dimiliki Magelang ? Hanya laut dan pantai.
    Tapi kenapa Jember bisa punya Jember Fashion Carnaval (JFC) yang mendunia ? Karena mereka mau berpikir dan berbuat besar. Pemdanya jelas punya visi dan inovasi. Untuk menciptakan 'dari tiada menjadi ada'.
    Saya sendiri bukan humas Magelang. Blm ada SK-nya (dan sy nggak pengin), dan pasti tidak ada honor atau imbalannya. Saya nunggu 'digaji' oleh orang2 spt Mas Herry...he he pis.

    BalasHapus
 
  • 1st
  • 2nd
  • 3rd
  • 4th
  • 5th

Home | Mobile Version | Seni dan Budaya | Manusia Kreatif | Acara dan Berita | Festival 5 Gunung | Networking | Wisata
(c) 2013-2016 Modus Getar | Powered by Day Milovich