Oleh Mualim M Sukethi.
Borobudurlinks, 22 April 2012.
Dua tahun lalu saya membuat catatan tentang HUT Kota Magelang 2010 yang memuat
kritik cukup keras terhadap perhelatan itu. Tahun 2011 saya tidak membuat catatan
karena tak sempat menonton hajat tahunan itu. Rupanya hal itu mengundang protes
Gepeng Nugroho, yang menjadi pengarah program HUT tahun 2010.
“Tidak adil. Karena karya saya
dikritik habis, sementara karya pengganti saya tidak dikritik, “ kata seniman
produktif itu. Untuk itu, maka catatan ini saya anggap sebagai jawaban atas
permintaan Gepeng.
Namun saya harus meminta maaf
kepada Gepeng karena saya telah melewatkan suguhan utama acara HUT Kota
Magelang, yaitu garapan sendratari yang mengangkat kisah terjadinya kota
Magelang. Saya sendiri berusaha nonton acara itu. Tapi karena situasi alun-alun
yang tidak pro rakyat, membuat saya
malas untuk terus menikmati seremoni
tahunan itu.
Yang saya maksud tontonan
tidak pro rakyat adalah adanya pagar barikade di sebelah kiri panggung, yang
memisahkan rakyat dengan pejabat atau tamu kehormatan lainnya, dan menempatkan
rakyat sebagai manusia pinggiran yang tak berhak menikmati tontonan secara
layak. Apa enaknya nonton pertunjukan dari samping panggung, panas, berjubelan
lagi ?
Padahal seingat saya, mBilung
Sarawita (Ketum DKKM, Dewan Kesenian Kota Magelang), sebelum menjabat Ketum
DKKM adalah orang yang terobsesi untuk menghilangkan pagar pembatas yang
menjadi sekat antara pejabat dan rakyat, khususnya dalam pagelaran wayang kulit
yang selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari HUT Kota Magelang. Apakah
kritik terhadap adanya pagar pembatas itu tak berlaku untuk acara utama atau
acara selain wayang kulit ? Atau kritik terhadap masalah itu hanya berlaku
ketika yang bersangkutan dalam posisi sebagai rakyat ? Begitu menjadi pejabat
lupa bahwa rakyat yang paling berhak menikmati suguhan hiburan itu justru
terpinggirkan oleh barikade itu ?
Saya hanya membaca Koran
keesokan harinya, yang seperti biasa tidak mengulas esensi pertunjukan itu.
Tapi lebih mengedepankan pernyataan mBilung Sarawita, yang menyatakan kalau ia
ingin meluruskan sejarah Magelang berdasarkan situs Mantyasih, bukan legenda
Syeh Subakir. Ia juga mengaku berusaha menghilangkan gaya kratonan, dengan
meniadakan parade kereta kencana dan kostum raja-raja saat upacara berlangsung.
Dengan alasan Magelang tidak pernah ada tradisi kerajaan.
Saya pribadi berterimakasih
terhadap upaya untuk membumikan HUT Kota Magelang. Sehingga kita berharap
hajatan budaya itu lebih populis. Namun seingat
saya, gugatan terhadap konsep borjuis-feodal dalam upacara HUT Magelang sudah
saya lakukan lewat tulisan 2 tahun lalu. Tentu gugatan saya itu didasari
tinjauan sosio-historis dan filosofis terhadap sejarah dan perkembangan kebudayaan
di Magelang. Rasanya belum pernah ada gugatan sejenis baik tertulis mau pun
lisan sebelum tulisan saya itu (lihat ‘HUT KOTA MAGELANG: QUO VADIS ?’, di www.borobudurlinks.com).
Selain tidak sempat menonton sendratari,
saya juga tidak mengikuti semua rangkaian acara yang berlangsung sebulan penuh
itu. Selain tak punya waktu, hampir semua acara itu juga sekedar acara
ramai-ramai orang berultah, seperti lomba tenis, gerakjalan atau gowes bareng, atau
parade mobil antiq, dll. Saya menganggap
semua itu bukanlah acara budaya yang mengkedepankan nilai. Apalagi dalam
konteks pengembangan pariwisata.
Mungkin benar rangkaian acara
HUT Kota Magelang kali ini, khususnya yang berlangsung tanggal 15 April 2012,
di Alun-alun, berlangsung meriah. Ukurannya tentu jumlah penonton yang relative
membludag, memenuhi alun-alun dan jalanan sekitarnya. Namun itu semua sekedar
mencerminkan hausnya masyarakat Magelang terhadap hiburan. Apapun tontonan yang
mengesankan riuh ramai meriah pasti akan ditonton.
Secara estetik ataupun dalam
konteks pengembangan pariwisata belum ada terobosan yang berarti. Pada puncak
acara tanggal 15 April, itu alun-alun sebagai ikon kota justru nampak sangat
semrawut. Saya curiga tak ada konsep atau grand-design tentang penataan kembali
ruang public seperti alun-alun bagi kepentingan hajat budaya, yang menyatukan
kepentingan upacara, tontonan, pasar, parade, dll.
Seorang fotografer senior yang
saya temui di hajatan itu juga mengeluhkan hal serupa. “Saya tak bisa mengambil
gambar dengan bagus. Kamera diarahkan kemana saja, yang tertangkap kondisi yang
semrawut, “ katanya sembari memberi contoh ikon-ikon alun-alun seperti patung
Diponegoro dan watertoren yang tenggelam oleh panggung, bendera merah putih,
dan umbul-umbul sponsor.
Pendapat itu ditimpali
fotografer yang lebih muda, “Ketika gambar rencana tata letak dipresentasikan, saya sudah bilang kalau akan
menyulitkan fotografer mendapatkan gambar bagus “.
Saya juga perlu mengkritisi
adanya panggung megah di tengah alun-alun. Selain dari segi estetika agak norak,
panggung itu hanya berfungsi untuk kepentingan upacara (jam 09-11 pagi).
Sesudahnya langsung dibongkar.
Apakah tidak lebih baik
seandainya panggung dan peralatan soundsystem yang sudah disewa, tentu dengan
harga mahal itu, dimanfaatkan seoptimal mungkin ? Bukan sekedar 2-3 jam. Toh
harga sewanya dihitung sehari. Apabila panggung itu bisa dimanfaatkan
sehari-semalam, tentu gairah ekspresi senibudaya masyarakat muda Magelang bisa
terwadahi. Kalau iya, maka puluhan band indie dan seni modern lainnya akan
merasa terwadahi ekspresinya lewat hajatan setahun sekali ini.
Seperti kita ketahui betapa
menyedihkan nasib band-band indie yang tergabung dalam Magma (Magelang Music
Mania) atau MJC (Magelang Jazz Community), yang hingga kini tak memiliki tempat
memadai sekedar berekspresi, setelah dilarang manggung di area Kucing Gunung
setiap sabtu-minggu malam. Saya rasa Magelang tak hanya berisi grup atau
komunitas kelurahan seni tradisional semata. Seperti yang diberi kesempatan
bermain dan memenuhi jadwal HUT, baik di -kelurahan atau pun pada parade
budaya.
Tentang parade budaya sendiri,
kiranya perlu klarifikasi apakah yang dimaksud parade budaya atau pawai
pembangunan ? Memang selama ini tak ada batasan ketat antara dua hajatan yang
biasa diadakan saat HUT Kota atau ’17 Agustusan’. Parade budaya, seperti yang
sudah berlangsung selama ini, menempatkan karya-karya senibudaya seperti tari,
music, busana, dan adat istiadat sebagai sajian utama. Sedangkan pawai pembangunan,
yang lahir sebagai glorifikasi hasil pembangunan di masa ordebaru, lebih
mengkedepankan hasil-hasil pembangunan sebagai materi utamanya.
Kerancuan arak-arakan yang
disebut parade budaya saat HUT Kota Magelang kemarin adalah mencampuradukkan
dua materi di atas. Jadi jangan heran kalau penonton disuguhi keanggunan mobil
hias yang ditumpangi ‘Putri Pariwisata Indonesia 1011’, disusul putri-putri
cantik ber’batik carnival’, kemudian diakhiri mobil hias yang memajang motor
Suzuki dengan SPG nangkring di atasnya.
Pelaksanaan parade budaya juga
tergolong amatiran. Rute parade yang membingungkan penonton, juga terkesan
sekedar suguhan bagi elit Magelang yang mendapat hak duduk manis di ‘panggung
walikota’ (istilah panitia). Panggung itu didirikan di sisi timur alun-alun, sementara
rakyat dibiarkan mengokupasi trotoar dan jalanan sekitar panggung itu.
Selain menutup instalasi huruf
baja berbunyi Magelang, yang kini menjadi ikon baru melengkapi watertoren dan patung Diponegoro, panggung itu
juga nampak overlapping dengan deretan
tiang bendera dan spanduk sponsor. Maka konfigurasi yang indah antara patung
Diponegoro, beringin, watertoren, dan masjid Agung, bisa dikatakan hancur
total.
Mestinya kalau panggung itu
harus ada, untuk memenuhi ego elite Magelang yang masih butuh panggung
kehormatan, maka bisa didirikan di jalur lambat depan eks ‘Magelang Theatre’. Dengan
demikian para tamu terhormat itu bisa menikmati parade dengan latar alun-alun
dan segenap ikon-ikonnya.
Rakyat juga bisa menikmati
parade dengan nyaman, tak harus berjubelan saling berebut tempat di depan. Karena
bisa duduk nyaman di trotoar pinggir alun-alun yang lebih tinggi dari jalanan.
Sementara penonton yang sederet dengan panggung walikota juga terbatasi oleh
jalur lambat, dan memungklinkan masyarakat lebih tertib dalam menonton. Sebab
ketertiban itu syarat mutlak agar para kontingen parade bisa secara leluasa
menampilkan atraksinya.
Pada parade budaya kemarin
atraksi masing-masing kontingen memang diadakan di depan panggung walikota ini.
Jadi kontingen yang sudah menyiapkan diri sejak pagi dari mulai di depan gedung
Wanita (jalan Veteran) hanya unjuk kebolehan di area sepanjang 30 meter ini.
Itu pun tidak semua kontingen. Sebab banyak juga kontingen yang tidak
menyiapkan atraksi, seperti rombongan PNS Kota Magelang yang tampil seadanya,
sekedar menampilkan baju batiknya dengan gaya yang letoy.
Atau penampilan Putri
Pariwisata yang sekedar berdiri menangkupkan tangan di dada, atau
melambai-lambaikan tangan ke arah penonton. Sayang mobil hias bertabur bunga
plastic itu tak dilengkapi sound system atau music yang memadai. Maka
penampilan putri cantik itu terasa dingin tak ada pesona atau gebyar layaknya
putri yang dielu-elukan massa.
“Kok garing banget
penampilannya, “ kata Hartono (49 th), warga Keplekan, yang sore itu menonton parade bersama istri
dan anaknya. Ungkapan ‘garing’ yang dilontarkan bapak itu terasa tepat dalam
menggambarkan jalannya parade secara keseluruhan.
Penampilan atraksi
masing-masing peserta terasa seadanya. Tak ada unsur-unsur spektakel atau pembesaran layaknya sebuah pertunjukan
jalanan (street performance). Mungkin tak ada seorang pengarah pertunjukan
(show director- SD) yang mengarahkan parade ini. Atau kalau toh ada, bisa
dipastikan SD yang dipakai bukanlah yang
tergolong professional.
Sekedar diketahui, ketika
‘Parade Budaya Nusantara’ diadakan pertama kalinya, di awal pemerintahan SBY,
panitia menggunakan SD sekaliber Sardono Kusumo, art-director dan penata tari
terkemuka. Baru 2-3 tahun kemudian, setelah polanya terbentuk, jabatan SD itu
bisa dipegang seniman lain yang lebih muda. Setahu saya, jabatan SD itu
kemudian diteruskan oleh teman-teman dari Teater Koma, Jakarta.
Ketiadaan pengarahan itu juga
terjadi pada rute yang ditempuh peserta. Ada yang meneruskan parade dan atraksinya
kearah jalan Pemuda. Tapi banyak juga yang langsung berbelok kanan ke arah
Mapolres. Seperti rombongan ‘Batik Carnival’ yang rombonganya berjalan tak
beraturan dan kemudian bubar serta beristirahat di depan kantor polisi itu.
Mungkin kecapean setelah dari pagi menyiapkan diri.
Banyak warga masyarakat yang
menunggu parade di sepanjang jalan pemuda harus menelan kekecewaan, karena
hanya satu-dua kontingen yang melewati jalan utama kota itu. Ini juga bukti
bahwa hajatan ini sebenarnya ditujukan untuk siapa ? Sekedar untuk elite
Magelang yang duduk nyaman di panggung walikota, atau bagi rakyat yang menyemut
di sekitar alun-alun dan jalan Pemuda ?
Untuk itu kita harus berterimakasih
pada kontingen drum-band Akademi Militer (Akmil). Drum-band legendaries itu dengan
gagah an indah berkeliling Alun-alun, jalan Pemuda, jalan Tidar, jalan Tentara
Pelajar (Bayeman), hingga kembali ke Alun-alun. Masyarakat sedikit terhibur
oleh kehadiran drum-band yang anggotanya banyak menggunakan kostum harimau itu.
Yang menyedihkan, tentu,
tiadanya ciri khas, keunikan, atau sesuatu yang pantas ditonjolkan dari acara tahunan Kota Magelang ini. Atau
menurut pakar komunikasi pemasaran, tiada branding yang ditawarkan. Kalau
Jember Carnival terkenal dengan street-fashion-nya, atau Solo termasyur dengan
‘Batik Carnival’nya, lalu Magelang apa ?
Kalau kini Magelang mau
mengangkat batik sebagai brand bagi parade kotanya, tentu harus memperhitungkan
bahwa ‘batik carnival’ sudah dimiliki atau identik dengan Solo. Hal ini yang
sempat diperhitungkan oleh Jogya, yang juga merasa batik sebagai identitas
budayanya. Namun karena malu dicap sebagai epigon alias pengekor, kemudian
Jogya menanggalkan batik dan memilih karnaval malam (nite-carnival) dengan tema
‘bhineka tunggal ika’. Karnaval malam itu dinilai cukup berhasil. Bahkan pada
pelaksanaannya yang pertama kali tahun lalu, telah menobatkan kontingen
Borobudur (PT Taman Wisata Borobudur) sebagai penampil terbaiknya.
Okelah…kalau Magelang tidak
malu dicap menjadi pengekor, maka sebagai pengekor yang baik mestinya harus
bisa menampilkan sajian yang mengungguli Solo. Untuk itu pastilah diperlukan
kiat, kaidah, garapan yang rancak dan profesional. Tidak mustahil, kalau
branding itu berhasil, serta diimbangi
pengembangan pariwisata lainnya, Magelang akan dikenang sekaligus menjadi salah
satu tujuan wisata yang penting selaras potensi yang dimilikinya.
Tapi kalau sekedar asal rame
seperti kesan yang saya tangkap, paling banter hajatan budaya dan pariwisata
itu akan ditulis di koran-koran local, lalu dengan mudah dilupakan. Tak akan
tercatat sebagai agenda budaya yang penting. Kunjungan wisata juga tak akan
meningkat sesudahnya. Wuss…wuss..bablas angine, kata (alm) Basuki dalam sebuah
iklan obat masuk angin…. lewat begitu saja…he he (bolinks@2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar