HUT Kota Magelang 2012: MASIH SEKEDAR ASAL RAME.

Borobudur Links | Mei 05, 2012 | 17.51 wib | Label: Event and News





Oleh Mualim M Sukethi.

Borobudurlinks, 22 April 2012. Dua tahun lalu saya membuat catatan tentang HUT Kota Magelang 2010 yang memuat kritik cukup keras terhadap perhelatan itu. Tahun 2011 saya tidak membuat catatan karena tak sempat menonton hajat tahunan itu. Rupanya hal itu mengundang protes Gepeng Nugroho, yang menjadi pengarah program HUT tahun 2010.
“Tidak adil. Karena karya saya dikritik habis, sementara karya pengganti saya tidak dikritik, “ kata seniman produktif itu. Untuk itu, maka catatan ini saya anggap sebagai jawaban atas permintaan Gepeng.
Namun saya harus meminta maaf kepada Gepeng karena saya telah melewatkan suguhan utama acara HUT Kota Magelang, yaitu garapan sendratari yang mengangkat kisah terjadinya kota Magelang. Saya sendiri berusaha nonton acara itu. Tapi karena situasi alun-alun yang tidak pro rakyat,  membuat saya malas untuk terus  menikmati seremoni tahunan itu.
Yang saya maksud tontonan tidak pro rakyat adalah adanya pagar barikade di sebelah kiri panggung, yang memisahkan rakyat dengan pejabat atau tamu kehormatan lainnya, dan menempatkan rakyat sebagai manusia pinggiran yang tak berhak menikmati tontonan secara layak. Apa enaknya nonton pertunjukan dari samping panggung, panas, berjubelan lagi ?
Padahal seingat saya, mBilung Sarawita (Ketum DKKM, Dewan Kesenian Kota Magelang), sebelum menjabat Ketum DKKM adalah orang yang terobsesi untuk menghilangkan pagar pembatas yang menjadi sekat antara pejabat dan rakyat, khususnya dalam pagelaran wayang kulit yang selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari HUT Kota Magelang. Apakah kritik terhadap adanya pagar pembatas itu tak berlaku untuk acara utama atau acara selain wayang kulit ? Atau kritik terhadap masalah itu hanya berlaku ketika yang bersangkutan dalam posisi sebagai rakyat ? Begitu menjadi pejabat lupa bahwa rakyat yang paling berhak menikmati suguhan hiburan itu justru terpinggirkan oleh barikade itu ?
Saya hanya membaca Koran keesokan harinya, yang seperti biasa tidak mengulas esensi pertunjukan itu. Tapi lebih mengedepankan pernyataan mBilung Sarawita, yang menyatakan kalau ia ingin meluruskan sejarah Magelang berdasarkan situs Mantyasih, bukan legenda Syeh Subakir. Ia juga mengaku berusaha menghilangkan gaya kratonan, dengan meniadakan parade kereta kencana dan kostum raja-raja saat upacara berlangsung. Dengan alasan Magelang tidak pernah ada tradisi kerajaan.

Saya pribadi berterimakasih terhadap upaya untuk membumikan HUT Kota Magelang. Sehingga kita berharap hajatan budaya itu lebih populis.  Namun seingat saya, gugatan terhadap konsep borjuis-feodal dalam upacara HUT Magelang sudah saya lakukan lewat tulisan 2 tahun lalu. Tentu gugatan saya itu didasari tinjauan sosio-historis dan filosofis terhadap sejarah dan perkembangan kebudayaan di Magelang. Rasanya belum pernah ada gugatan sejenis baik tertulis mau pun lisan sebelum tulisan saya itu (lihat ‘HUT KOTA MAGELANG: QUO VADIS ?’, di www.borobudurlinks.com).
 Selain tidak sempat menonton sendratari, saya juga tidak mengikuti semua rangkaian acara yang berlangsung sebulan penuh itu. Selain tak punya waktu, hampir semua acara itu juga sekedar acara ramai-ramai orang berultah, seperti lomba tenis, gerakjalan atau gowes bareng, atau parade mobil antiq,  dll. Saya menganggap semua itu bukanlah acara budaya yang mengkedepankan nilai. Apalagi dalam konteks pengembangan pariwisata.
Mungkin benar rangkaian acara HUT Kota Magelang kali ini, khususnya yang berlangsung tanggal 15 April 2012, di Alun-alun, berlangsung meriah. Ukurannya tentu jumlah penonton yang relative membludag, memenuhi alun-alun dan jalanan sekitarnya. Namun itu semua sekedar mencerminkan hausnya masyarakat Magelang terhadap hiburan. Apapun tontonan yang mengesankan riuh ramai meriah pasti akan ditonton.
Secara estetik ataupun dalam konteks pengembangan pariwisata belum ada terobosan yang berarti. Pada puncak acara tanggal 15 April, itu alun-alun sebagai ikon kota justru nampak sangat semrawut. Saya curiga tak ada konsep atau grand-design tentang penataan kembali ruang public seperti alun-alun bagi kepentingan hajat budaya, yang menyatukan kepentingan upacara, tontonan, pasar, parade, dll.
Seorang fotografer senior yang saya temui di hajatan itu juga mengeluhkan hal serupa. “Saya tak bisa mengambil gambar dengan bagus. Kamera diarahkan kemana saja, yang tertangkap kondisi yang semrawut, “ katanya sembari memberi contoh ikon-ikon alun-alun seperti patung Diponegoro dan watertoren yang tenggelam oleh panggung, bendera merah putih, dan umbul-umbul sponsor.
Pendapat itu ditimpali fotografer yang lebih muda, “Ketika gambar rencana tata letak  dipresentasikan, saya sudah bilang kalau akan menyulitkan fotografer mendapatkan gambar bagus “.
Saya juga perlu mengkritisi adanya panggung megah di tengah alun-alun. Selain dari segi estetika agak norak, panggung itu hanya berfungsi untuk kepentingan upacara (jam 09-11 pagi). Sesudahnya langsung dibongkar.
Apakah tidak lebih baik seandainya panggung dan peralatan soundsystem yang sudah disewa, tentu dengan harga mahal itu, dimanfaatkan seoptimal mungkin ? Bukan sekedar 2-3 jam. Toh harga sewanya dihitung sehari. Apabila panggung itu bisa dimanfaatkan sehari-semalam, tentu gairah ekspresi senibudaya masyarakat muda Magelang bisa terwadahi. Kalau iya, maka puluhan band indie dan seni modern lainnya akan merasa terwadahi ekspresinya lewat hajatan setahun sekali ini.
Seperti kita ketahui betapa menyedihkan nasib band-band indie yang tergabung dalam Magma (Magelang Music Mania) atau MJC (Magelang Jazz Community), yang hingga kini tak memiliki tempat memadai sekedar berekspresi, setelah dilarang manggung di area Kucing Gunung setiap sabtu-minggu malam. Saya rasa Magelang tak hanya berisi grup atau komunitas kelurahan seni tradisional semata. Seperti yang diberi kesempatan bermain dan memenuhi jadwal HUT, baik di -kelurahan atau pun pada parade budaya.
Tentang parade budaya sendiri, kiranya perlu klarifikasi apakah yang dimaksud parade budaya atau pawai pembangunan ? Memang selama ini tak ada batasan ketat antara dua hajatan yang biasa diadakan saat HUT Kota atau ’17 Agustusan’. Parade budaya, seperti yang sudah berlangsung selama ini, menempatkan karya-karya senibudaya seperti tari, music, busana, dan adat istiadat sebagai sajian utama. Sedangkan pawai pembangunan, yang lahir sebagai glorifikasi hasil pembangunan di masa ordebaru, lebih mengkedepankan hasil-hasil pembangunan sebagai materi utamanya.
Kerancuan arak-arakan yang disebut parade budaya saat HUT Kota Magelang kemarin adalah mencampuradukkan dua materi di atas. Jadi jangan heran kalau penonton disuguhi keanggunan mobil hias yang ditumpangi ‘Putri Pariwisata Indonesia 1011’, disusul putri-putri cantik ber’batik carnival’, kemudian diakhiri mobil hias yang memajang motor Suzuki dengan SPG nangkring di atasnya.
Pelaksanaan parade budaya juga tergolong amatiran. Rute parade yang membingungkan penonton, juga terkesan sekedar suguhan bagi elit Magelang yang mendapat hak duduk manis di ‘panggung walikota’ (istilah panitia). Panggung itu didirikan di sisi timur alun-alun, sementara rakyat dibiarkan mengokupasi trotoar dan jalanan sekitar panggung itu.
Selain menutup instalasi huruf baja berbunyi Magelang, yang kini menjadi ikon baru melengkapi  watertoren dan patung Diponegoro, panggung itu juga  nampak overlapping dengan deretan tiang bendera dan spanduk sponsor. Maka konfigurasi yang indah antara patung Diponegoro, beringin, watertoren, dan masjid Agung, bisa dikatakan hancur total.
Mestinya kalau panggung itu harus ada, untuk memenuhi ego elite Magelang yang masih butuh panggung kehormatan, maka bisa didirikan di jalur lambat depan eks ‘Magelang Theatre’. Dengan demikian para tamu terhormat itu bisa menikmati parade dengan latar alun-alun dan segenap ikon-ikonnya.
Rakyat juga bisa menikmati parade dengan nyaman, tak harus berjubelan saling berebut tempat di depan. Karena bisa duduk nyaman di trotoar pinggir alun-alun yang lebih tinggi dari jalanan. Sementara penonton yang sederet dengan panggung walikota juga terbatasi oleh jalur lambat, dan memungklinkan masyarakat lebih tertib dalam menonton. Sebab ketertiban itu syarat mutlak agar para kontingen parade bisa secara leluasa menampilkan atraksinya.
Pada parade budaya kemarin atraksi masing-masing kontingen memang diadakan di depan panggung walikota ini. Jadi kontingen yang sudah menyiapkan diri sejak pagi dari mulai di depan gedung Wanita (jalan Veteran) hanya unjuk kebolehan di area sepanjang 30 meter ini. Itu pun tidak semua kontingen. Sebab banyak juga kontingen yang tidak menyiapkan atraksi, seperti rombongan PNS Kota Magelang yang tampil seadanya, sekedar menampilkan baju batiknya dengan gaya yang letoy.
Atau penampilan Putri Pariwisata yang sekedar berdiri menangkupkan tangan di dada, atau melambai-lambaikan tangan ke arah penonton. Sayang mobil hias bertabur bunga plastic itu tak dilengkapi sound system atau music yang memadai. Maka penampilan putri cantik itu terasa dingin tak ada pesona atau gebyar layaknya putri yang dielu-elukan massa.
“Kok garing banget penampilannya, “ kata Hartono (49 th), warga Keplekan,  yang sore itu menonton parade bersama istri dan anaknya. Ungkapan ‘garing’ yang dilontarkan bapak itu terasa tepat dalam menggambarkan jalannya parade secara keseluruhan.
Penampilan atraksi masing-masing peserta terasa seadanya. Tak ada unsur-unsur spektakel  atau pembesaran layaknya sebuah pertunjukan jalanan (street performance). Mungkin tak ada seorang pengarah pertunjukan (show director- SD) yang mengarahkan parade ini. Atau kalau toh ada, bisa dipastikan SD yang dipakai  bukanlah yang tergolong professional.
Sekedar diketahui, ketika ‘Parade Budaya Nusantara’ diadakan pertama kalinya, di awal pemerintahan SBY, panitia menggunakan SD sekaliber Sardono Kusumo, art-director dan penata tari terkemuka. Baru 2-3 tahun kemudian, setelah polanya terbentuk, jabatan SD itu bisa dipegang seniman lain yang lebih muda. Setahu saya, jabatan SD itu kemudian diteruskan oleh teman-teman dari Teater Koma, Jakarta.
Ketiadaan pengarahan itu juga terjadi pada rute yang ditempuh peserta. Ada yang meneruskan parade dan atraksinya kearah jalan Pemuda. Tapi banyak juga yang langsung berbelok kanan ke arah Mapolres. Seperti rombongan ‘Batik Carnival’ yang rombonganya berjalan tak beraturan dan kemudian bubar serta beristirahat di depan kantor polisi itu. Mungkin kecapean setelah dari pagi menyiapkan diri.
Banyak warga masyarakat yang menunggu parade di sepanjang jalan pemuda harus menelan kekecewaan, karena hanya satu-dua kontingen yang melewati jalan utama kota itu. Ini juga bukti bahwa hajatan ini sebenarnya ditujukan untuk siapa ? Sekedar untuk elite Magelang yang duduk nyaman di panggung walikota, atau bagi rakyat yang menyemut di sekitar alun-alun dan jalan Pemuda ?
Untuk itu kita harus berterimakasih pada kontingen drum-band Akademi Militer (Akmil). Drum-band legendaries itu dengan gagah an indah berkeliling Alun-alun, jalan Pemuda, jalan Tidar, jalan Tentara Pelajar (Bayeman), hingga kembali ke Alun-alun. Masyarakat sedikit terhibur oleh kehadiran drum-band yang anggotanya banyak menggunakan kostum harimau itu.
Yang menyedihkan, tentu, tiadanya ciri khas, keunikan, atau sesuatu yang pantas ditonjolkan  dari acara tahunan Kota Magelang ini. Atau menurut pakar komunikasi pemasaran, tiada branding yang ditawarkan. Kalau Jember Carnival terkenal dengan street-fashion-nya, atau Solo termasyur dengan ‘Batik Carnival’nya, lalu Magelang apa ?
Kalau kini Magelang mau mengangkat batik sebagai brand bagi parade kotanya, tentu harus memperhitungkan bahwa ‘batik carnival’ sudah dimiliki atau identik dengan Solo. Hal ini yang sempat diperhitungkan oleh Jogya, yang juga merasa batik sebagai identitas budayanya. Namun karena malu dicap sebagai epigon alias pengekor, kemudian Jogya menanggalkan batik dan memilih karnaval malam (nite-carnival) dengan tema ‘bhineka tunggal ika’. Karnaval malam itu dinilai cukup berhasil. Bahkan pada pelaksanaannya yang pertama kali tahun lalu, telah menobatkan kontingen Borobudur (PT Taman Wisata Borobudur) sebagai penampil terbaiknya.
Okelah…kalau Magelang tidak malu dicap menjadi pengekor, maka sebagai pengekor yang baik mestinya harus bisa menampilkan sajian yang mengungguli Solo. Untuk itu pastilah diperlukan kiat, kaidah, garapan yang rancak dan profesional. Tidak mustahil, kalau branding  itu berhasil, serta diimbangi pengembangan pariwisata lainnya, Magelang akan dikenang sekaligus menjadi salah satu tujuan wisata yang penting selaras potensi yang dimilikinya.
Tapi kalau sekedar asal rame seperti kesan yang saya tangkap, paling banter hajatan budaya dan pariwisata itu akan ditulis di koran-koran local, lalu dengan mudah dilupakan. Tak akan tercatat sebagai agenda budaya yang penting. Kunjungan wisata juga tak akan meningkat sesudahnya. Wuss…wuss..bablas angine, kata (alm) Basuki dalam sebuah iklan obat masuk angin…. lewat begitu saja…he he (bolinks@2012).








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
  • 1st
  • 2nd
  • 3rd
  • 4th
  • 5th

Home | Mobile Version | Seni dan Budaya | Manusia Kreatif | Acara dan Berita | Festival 5 Gunung | Networking | Wisata
(c) 2013-2016 Modus Getar | Powered by Day Milovich