(Dari 'Magelang Night Carnival').
Oleh Mualim M Sukethi.
Borobudurlinks, 30 April 2012.
Tidak semua sajian acara HUT Kota Magelang 2012 berujung pada pesimisme.
Setidaknya masih ada “Magelang Night Carnival” (MNC), yang berlangsung pada
Sabtu malam, 21 April 2012, di sepanjang
jalan Pemuda, Magelang.
Merujuk pada judulnya kita
pantas curiga acara ini juga sekedar mengekor ‘Jogya Nite Carnival 2011’ (JNC).
Namun kalau kita menarik sejarah pada awal 1960-an, permainan barongsay atau
liong samsy seringkali diselenggarakan malam hari di sepanjang Pecinan, yang
kini disebut jalan Pemuda itu. Apalagi kalau melihat materi utama MNC yang
dipenuhi unsur atau sajian budaya China, maka kecurigaan sekedar mengekor JNC
pantas dikesampingkan.
Mungkin lebih tepat kalau MNC adalah
revitalisasi tradisi budaya China di Magelang. Hal ini sesuai dengan pengakuan Jimmy
Lo, Ketua Panitia MNC, yang mengakui kalau acara ini merupakan inisiatif warga
keturunan China Magelang. Inisiatif ini sebagai respon atas permintaan Walikota
Sigit Widyonindito agar warga keturunan ikut memeriahkan HUT kota di mana
mereka tinggal.
Secara obyektif hajatan MNC
tergolong sukses. Pesertanya cukup banyak memenuhi sepanjang jalan Pemuda yang
menjadi rute karnaval. Bahkan barongsay yang katanya panjangnya 100 meter ikut
menjadi peserta. Penontonnya pun berjubel memenuhi trotoar hingga meluber ke
jalanan sepanjang jalan utama Kota Magelang itu.
Namun secara subyektif, dari
kacamata saya, masih banyak kekurangan yang harus dibenahi untuk bisa dikatakan
sukses. Atraksi jalanan (street-performance) yang menjadi sajian utama
berlangsung kurang optimal. Tiga titik arena yang menjadi arena atraksi, yakni
di sekitar patung Adipura, pertigaan Tengkon, dan jalan Alun-alun Timur terlalu
banyak dijubeli penonton, sehingga peserta tak leluasa unjuk kebolehannya.
Di tiga titik itu juga tak
dipersiapkan sarana teknik sebagai pendukung atraksi. Tak ada tata-lampu atau
pengeras suara tambahan yang disediakan panitia untuk memberikan efek keindahan
dan pembesaran yang dibutuhkan atraksi jalanan.
Hanya beberapa peserta,
khususnya yang bertumpu pada mobil hias, yang telah memperhitungkan sarana
teknis itu. Mereka memenuhi mobil itu dengan lampu warna-warni sehingga
terlihat indah dan menarik perhatian.
Tata suaranya pun tergolong bagus dan berkapasitas besar sehingga mampu
mengimbangi riuh rendah penonton, bahkan memancing penonton untuk mendatangi
mobil hias itu.
Namun kalau didekati keindahan
mobil hias itu nampak semu. Karena bunga yang digunakan untuk menghias bodi
mobil ternyata hanya bunga plastic atau kertas. Hal ini tentu tak sejalan
dengan slogan ‘Magelang Kota Sejuta Bunga’ yang dicanangkan Pemkot Magelang.
Tentang hal ini akan saya tulis secara khusus.
Terlepas dari berbagai
kekurangan yang ada, hajatan MNC ini pantas menjadi harapan. Kalau dikembangkan
secara tepat maka MNC bisa menjadi hajat budaya yang mampu menjadi branding
bagi Kota Magelang, dan bersaing dengan kota-kota lain seperti Jember Carnival
dan Solo Batik Carnival.
Beberapa nilai positif yang
menjadi asset MNC antara lain:
· * Partisipasi warga keturunan China Magelang
sebagai penyelenggara dan peserta utama MNC. Seperti kita ketahui, selama rezim
Soeharto berkuasa 32 tahun, warga
keturunan China bisa dibilang pasif dalam segala hal, khususnya dalam bidang
politik social kebudayaan. Keikutsertaan itu tentu tak hanya sebagai peserta,
tapi juga dalam hal pendanaan yang selama ini menjadi masalah bagi komunitas
senibudaya di Magelang. Praktis tak pernah ada dana bantuan pemkot bagi
kelangsungan dan pengembangan senibudaya di kota gethuk itu.
Jadi dengan
‘turun gunungnya’ saudara-saudara China ini kita bisa berharap kelangsungan MNC
akan terjamin.
· * Partisipasi warga dan komunitas senibudaya yang
cukup beragam, khususnya beberapa satuan TNI seperti Armed dan Kostrad yang
menurunkan tim barongsay-nya. Ini menarik. Selama ini militer dianggap hanya
berurusan dengan budaya kekerasan. Maka dengan terjunnya mereka bersenibudaya
maka diharapkan hati nurani para tentara itu menjadi lebih lembut, dan bisa
lebih mengkedepankan aspek kemanusiaan dalam menangani masalah
keamanan/pertahanan, khususnya ketika harus berhadapan dengan rakyatnya
sendiri.
Suatu ketika
saya berharap, sedulur-sedulur serdadu itu tak hanya memainkan barongsay. Tapi
juga sigap dalam menarikan Topeng Ireng atau Soreng. Sebaliknya, saudara CVhina
kita itu tak hanya jadi panitia atau menyediakan dana, tapi juga turun langsung
sebagai peserta atau penari barongsaynya. Tidak seperti sekarang ini, sebagian
besar penari barongsay-nya adalah pribumi termasuk para serdadu itu.
Fenomena ini
menarik dicermati. Bagaimana kebudayaan China bangkit kembali di Indonesia,
tapi pelakunya justru para pribumi. Jangan-jangan suatu ketika, saudara-saudara
China itu harus belajar pada para pribumi kalau mau menari barongsay atau bermain
‘Opera Beijing’.
Saya jadi
teringat suatu kelompok wayang orang di Solo, yang anggotanya justru China
semua. Pembauran itu sungguh-sungguh terjadi lewat jalur kebudayaan. Kalau itu
terjadi….wah batapa indahnya hidup berkeberagaman di Magelang.
· * Ribuan penonton yang memenuhi jalan Pemuda
ketika MNC berlangsung. Dalam konteks komunikasi pemasaran, ribuan atau
berjubelnya penonton adalah potensi untuk menjaring sponsor. Apabila banyak
sponsor terjaring alias dana terkumpul secara memadai, maka hajatan ini bisa
diadakan secara kontinyu dan professional.
Dengan
demikian pendanaan yang mengandalkan kelompok tertentu, dalam hal MNC adalah
warga keturunan China, bisa dikurangi kalau tak bisa dihilangkan.
Penyelenggaraan MNC nantinya bisa lebih independen.
Setelah segenap potensi itu
dikembangkan dan dikelola secara baik, maka beberapa pengembangan yang
semestinya dilakukan antara lain;
· * Pembenahan sarana teknis seperti tata-lampu dan
tata-suara, setidaknya di tiga titik yang digunakan peserta beratraksi.
·* Dekorasi bernuansa China di sepanjang jalan
Pemuda. Saya masih ingat, dulu awal th 60-an, toko-toko di Jalan Pemuda
memasang lampion saat pesta barongsay berlangsung. Di antara lampion itu juga
tergantung angpao (bingkisan, biasanya berisi uang). Lalu dalam atraksinya para
barongsay itu mencaplok angpao itu. Sungguh…kenangan yang indah.
· * Tiga titik arena beratraksi harus dibenahi,
khususnya dari serbuan penonton. Kalau perlu dipagari agar peserta bisa
beratraksi secara optimal.
Pagar ini
tentu fungsinya berbeda dengan pagar saat sendratari atau wayang kulit
berlangsung di alun-alun, yang membatasi atau membedakan (hak menonton) antara
elit dan rakyat.
· * Hajatan ini akan semakin komplit kalau
unsur-unsur budaya China yang lain juga ditampilkan. Seperti parade kuliner
China. Mungkin bisa memanfaatkan jalanan sepanjang Tengkon atau jalan Jenggala
menjadi semacam ‘Kya-Kya’ di Surabaya, atau gang Lombok di Semarang. Dua tempat
itu menjadi ikon kuliner apabila wisatawan mengunjungi kedua kota itu.
· Budaya China yang juga pantas dihidupkan kembali
adalah pementasaran ‘Wayang Po Te Hi’ dan tari-tarian China di klentheng Liong
Hok Bio. Pementasan wayang golek China dan taria-tarian itu dulu rutin dipentaskan, sebelum dilarang
oleh rezim orde-baru yang melarang unsur-unsur budaya China berkembang di
Indonesia.
· * Promosi yang efektif dan murah, yang tak hanya
ditujukan bagi warga Magelang sendiri. Tapi juga bagi masyarakat luas, bahkan
hingga ke luar negeri. Toh saat ini, kita bisa melakukan promosi dan
sosialisasi secara tepat guna lewat berbagai media social (online) yang
terbukti murah dan efektif.
Sesungguhnya
keterlibatan saudara China Magelang dalam pengembangan kebudayaan sudah
berlangsung beberapa tahun terakhir ini. Salah satu lokomotif kebangkitan
senirupa Indonesia, khususnya di tahun 2000-an, adalah China-China Magelang.
Selain Oei Hong Djien (OHD) yang mendirikan ‘Museum Senirupa Indonesia’ yang
dianggap terbesar di dunia, puluhan kolektor dan kolekdol (art-dealer) yang
notabene adalah China Magelang, yang memiliki peran penting dalam bisnis
senirupa Indonesia sekarang ini.
Kebetulan,
dalam di bulan April 2012, ini para kolektor dan kolekdol itu ikut
‘merayakannya’ HUT OHD dan peresmian museum ke 3-nya, dalam bentuk ‘Magelang
Arts Event’ (MAE). Event senirupa besar-besaran itu mewujud dalam bentuk
pameran bersama yang berlangsung di sekitar 10 museum dan galeri yang ada di
kota dan kabupaten Magelang. Lebih 200 karya dan perupa ikut meramaikan hajat
budaya yang tergolong terbesar di Indonesia itu. Wah….
Jadi kalau
seluruh acara yang berlangsung di bulan April bisa terintegrasi secara kompak,
pastilah ‘April Extravaganza’ ini akan mengangkat pamor Magelang di bidang
kebudayaan di level nasional. Demikian pula, dalam konteks pengembangan
pariwisata, tak mustahil Magelang akan mendapat brand sebagai ‘Kota Wisata
Senibudaya’. Dan kita pantas berharap turis-turis local mau pun manca akan
berbondong-bondong menyambangi kota tercinta ini.
Namun, yang
perlu diingatkan, kita juga jangan sampai terlena, atau keenakan karena
kegiatan kebudayaan di Magelang terus-menerus mengandalkan saudara China.
Jangan sampai kita dicap hanya pinter ‘nadah’, dan kemudian secara kebudayaan
dikendalikan oleh saudara-saudara kita itu. Seperti yang terjadi dengan elite
politik, termasuk pemkot Magelang, yang banyak disinyalir dikendalikan ‘lima
naga’ (bolinks@2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar