PASAR REJOWINANGUN: SEBUAH KISAH KLASIK*.
Oleh Khalimatu Nisa.
Borobudurlinks, 14 November 2011. Ada banyak kenangan tentang masa lalu. Dari banyak kenangan yang saya miliki, ada satu kenangan yang belum bisa saya lupakan. Saya pernah tersesat di suatu pasar, di kota tempat saya tinggal. Menariknya kenangan itu tidak hanya terletak pada kejadian tersesatnya semata, tapi juga bahwa pasar tempat saya tersesat itu merupakan pasar yang memberi arti cukup besar baik bagi keluarga saya maupun masyarakat di kota saya tinggal. Kenangan itu menjadi semakin mahal tatkala pada tahun 2008 pasar itu terbakar dan selanjutnya tak bisa lagi dijumpai dalam wujud yang sama. Dalam tulisan ini saya akan mengurai memori saya dengan pasar itu, Pasar Rejowinangun namanya.
Saya masih mengenakan seragam TK saat tersesat di Pasar Rejowinangun Kota Magelang -kota di mana saya tinggal sebelum berhijrah ke Yogyakarta. Sebenarnya saat itu saya hanya perlu berjalan lurus dari kios ‘A’ ke kios ‘B’ yang jaraknya tak lebih dari lima puluh meter, tapi saya kehilangan arah. Saya yang masih berusia lima tahun merasa sangat ketakutan. Dalam benak saya, lorong-lorong pasar menjelma labirin yang membingungkan.
Hari itu, saya pergi ke pasar bersama ibu saya. Saya memang sering diajak beliau ke pasar untuk berbelanja atau sekedar menemui Nenek yang kebetulan juga berdagang di sana. Ketika itu, kami hendak pulang. Ibu meminta saya berpamitan dengan Nenek sementara beliau menunggu di kios Nenek yang lain (ada dua orang Nenek yang berjualan di Pasar Rejowinangun). Hanya dari kios roti ke kios gerabah yang bertetangga, saya tersesat sampai deretan kios ikan asin yang lumayan jauh jaraknya.
Cukup lama saya berputar-putar dalam pasar. Saya bingung harus bertanya pada siapa. Pun jika saya bertanya, saya yakin tak kan ada yang bisa membantu saya, sebab saya tidak tahu nama lengkap kedua Nenek saya itu, yang saya tahu, saya memanggilnya dengan sebutan Mbah Uti dan Mbah Ndut. Lama kelamaan, kaki saya letih berjalan tanpa arah. Saya ingin menangis, tapi syukurlah, sebelum itu terjadi, Mbah Ndut telah datang tergopoh-gopoh menemukan saya. Kami pun berpelukan.
Seperti banyak orang Magelang lainnya, sebagian keluarga saya menggantungkan hidupnya di Pasar Rejowinangun. Pasar Rejowinangun adalah pasar tradisional yang terbilang cukup besar. Ia dapat menampung ribuan pedagang berikut menjadi sarana transaksi yang selalu ramai tiap harinya. Lebih jauh lagi, saya akan bercerita tentang sejarah dan perkembangan Pasar Rejowinangun serta artinya bagi keluarga saya khususnya dan masyarakat Magelang pada umumnya.
Awal Berdiri
Dari obrolan dengan salah seorang anggota Komunitas Kota Toea, saya mendapatkan informasi bahwa pernah ada jalur kereta api di Magelang yang resmi dioperasikan oleh perusahaan kereta api Nederlansch Indische Spoorweg Maatshappij (NIS) pada tanggal 1 Juli 1899. Kereta tersebut mengangkut hasil-hasil bumi berupa tembakau, kopi, sayuran, jagung, beras dan ubi-ubian ke kota-kota besar seperti Yogyakarta dan Semarang.
Berdirinya Pasar Rejowinangun berkaitan erat dengan keberadaan stasiun kereta di Kelurahan Rejowinangun. Saat itu, sambil menunggu ‘spoor kluthuk’ atau kereta api berbahan bakar jati datang, para penumpang yang membawa hasil bumi menjajakan dagangannya. Hal ini dilakukan karena mereka khawatir dagangan segera membusuk. Jual beli dilakukan baik dengan uang maupun barter. Lambat laun, moda-moda transportasi pun bermunculan di sana, membuat situasi semakin ramai. Stasiun kereta pun berkembang menjadi sebuah pasar.
Tidak ada data valid kapan secara resmi Pasar Rejowinangun dibentuk. Namun, dari peta kuno tahun 1923, tampak Rejowinangun telah berdiri sebagai pasar modern pada masanya. Barangkali gambarannya mirip pasar desa dengan konstruksi kayu, atap genting, dan lincak bambu sebagai tempat berjualan.
Perbaikan dan pengembangan fisik kota yang agak besar dimulai pada tahun 1964-1965. Kios-kios dan kantor pasar dibangun di Rejowinangun. Wujud Rejowinangun pun menjadi jauh lebih baik.
Arti Rejowinangun
Berawal dari rutinitas membantu orang tuanya di pasar, tahun 1930-an kakek buyut saya mendirikan usaha sendiri berupa kios buah di Pasar Rejowinangun. Karena pertimbangan mudah busuk dan seringnya terjadi paceklik, pada tahun 1965 beliau melakukan manuver mengganti komoditas dagangnya dengan tembakau, roti kering dan berbagai macam emping.
Tahun 1979, adik nenek saya, Musyarofi Zarkasyi dan istrinya Mulyati Musyarofi -yang selanjutnya saya panggil Mbah Ndut, mewarisi kios kakek buyut saya. Tak jauh dari kios mereka, nenek kandung saya, Munirah Zarkasyi –yang biasa saya sebut Mbah Uti, membeli sebuah kios dan berjualan gerabah serta peralatan rumah tangga. Dari kios itulah beliau menghidupi sembilan anaknya, salah satunya Nur Hasanah, ibu saya.
Tahun 1993 saya lahir. Di masa kecil, saya sering sekali berkunjung ke pasar. Di antara kunjungan-kunjungan ke pasar itulah kemudian terjadi peristiwa tersesat yang hingga kini masih membekas dalam ingatan.
Seiring saya tumbuh besar, semakin jarang saya pergi ke pasar. Hingga suatu hari, di suatu malam akhir bulan Juni 2008 (saat itu saya berusia 15 tahun), langit Magelang tampak membara. Api melahap pasar yang konon terbesar se-eks Karesidenan Kedu itu. Kota Magelang yang tenang pun gempar.
Berbagai usaha memadamkan api dilakukan, mulai dari menggunakan jasa pemadam kebakaran hingga cara konservatif dengan bergotong royong mengambil air dari selokan terdekat. Tapi hampir tak ada yang bisa diselamatkan. Dalam sekejap, 1500-an pedagang kehilangan kios berikut barang dagangan mereka. Sebuah musibah yang luar biasa. Melihat kejadian itu, Nenek dan keluarga besar saya hanya bisa ikhlas.
Beberapa hari kemudian, relokasi pasar ke Sentra Ekonomi Lembah Tidar (kaki Bukit Tidar Magelang) dilakukan. Namun agaknya relokasi itu gagal lantaran lokasinya kurang strategis dan tidak didukung dengan sarana transportasi yang memadai.
Dua tahun kemudian, tahun 2010, saya dan beberapa teman yang tergabung dalam sebuah komunitas pelajar berinsiatif membuat suatu video dokumenter tentang Pasar Rejowinangun. Kami melakukan survei langsung ke pasar, wawancara dengan para pedagang dan pihak-pihak terkait. Dari situlah saya bisa merasakan betapa berartinya Pasar Rejowinangun bagi masyarakat Magelang.
Menurut data yang berhasil kami kumpulkan, hampir semua unsur masyarakat Magelang mengharapkan Pasar Rejowinangun segera dibangun kembali. Para pedagang mengungkapkan kekecewaannya kepada pemerintah atas ketidaksigapan mereka dalam membangun kembali Pasar Rejowinangun. Pemerintah dianggap lamban dan membiarkan para pedagang terkatung-katung dalam nasib tak tentu dengan kerugian yang tak mampu diatasi.
Para pedagang pun berasosiasi dalam kelompok-kelompok kepentingan yang melakukan upaya mempercepat pembangunan pasar. P3RM (Paguyuban Pedagang Pasar Rejowinangun Magelang) salah satunya. Mereka melakukan berbagai usaha diplomasi dengan pemerintah untuk mencari solusi percepatan pembangunan pasar. Tak ketinggalan, mahasiswa-mahasiswa lokal juga tergerak untuk melakukan aksi. Beberapa kali sudah mereka melakukan demonstrasi. Para seniman menunjukkan kepedulian mereka dengan melakukan ritual yang mereka sebut sebagai ‘Ruwatan Pasar’ dengan tujuan untuk membersihkan Rejowinangun dari anasir-anasir negatif.
Namun hingga tiga tahun pasca terbakarnya, Rejowinangun tak kunjung dibangun. Janji-janji pembangunan pasar yang digunakan sebagai slogan politik dalam kampanye pemilihan Walikota Juli 2010 lalu, tak lebih dari sekedar retorika belaka. Tuan Walikota Terpilih yang menjanjikan pembangunan pasar di 100 hari pemerintahannya ingkar janji. Hingga kini, para pedagang terus berusaha secara mandiri untuk tetap bertahan hidup di atas semua polemik itu.
Kehilangan Rejowinangun adalah kehilangan satu mata rantai penting dari roda perekonomian Magelang yang telah mapan selama seratusan tahun. Kini, masyarakat harus menghadapi pola-pola ekonomi baru dengan segala konsekuensinya. Di sisi lain, Rejowinangun sebagai bagian hidup yang tumbuh berkembang bersama masyarakat menorehkan arti tersendiri bagi tiap-tiap wong Magelang. Bagi saya, kenangan serta emosi yang tercipta dari sana akan senantiasa menjadi sebuah kisah klasik yang tak mudah dilupa.
Krapyak, 11 November 2011.
(*Penulis anggota ‘borobudur MOVIE links’, unit kegiatan film borobudurlinks.com. Tulisan ini adalah tugas MK Sejarah Sospol Indonesia, Jurusan Sospol UGM).
Anda bisa posting-ulang artikel ini atau dengan mencantumkan link ini:
http://borobudurlinks.blogspot.com/2011/11/pasar-rejowinangun-sebuah-kisah-klasik.html
http://borobudurlinks.blogspot.com/2011/11/pasar-rejowinangun-sebuah-kisah-klasik.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar