KRITIK MEDIA ALA GRABAG-TV.
Oleh: Yudha Hadiningrat.
Borobudurlinks, 19 Januari 2012. Diawali dengan minimnya penerimaan saluran pemancar televisi di wilayah Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang pada tahun 2004, membuat Hartanto yang telah pensiun dari kesibuannya bergabung dengan sebuah rumah produksi film di Jakarta, berkeinginan mengembangkan televisi Komunitas di Grabag yang merupakan kampung halamannya.
Ide tersebut langsung ia kembangkan sendiri di tengah kesibukannya menjadi dosen di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), baik dari proses shooting, reportase hingga editing digarap sendiri. Bahkan penyiarannya pun ia kerjakan sendiri.
Laki-laki yang pernah memperoleh penghargaan berupa penata suara film terbaik di ajang Festival Film Indonesia (FFI) ini mengatakan, memang saat awal mengudara sempat mengalamikendala perijinan di Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jateng karena juklak dan juknis tentang perundang-undangan TV komunitas saat itu belum ada. “Akhirnya kita dipersilakan mengudara namun jangan sampai mengganggu siaran lain,” ujarnya.
Kebetulan, lanjutnya, di kantor kecamatan Grabag terdapat pemancar yang bisa menerima mareley stasiun TVRI. Sehingga kita diberikan ijin pihak kecamatan untuk memanfaatkannya,” kata Hartanto.
Setelah siaran perdana di tahun 2004, kata Hartanto, secara terus menerus setiap hari dari pukul 06.00 hingga 07.00 ternyata banyak warga yang tertarik dan ikut bergabung dengan Grabag TV. Namun karena banyaknya kesibukan, akhirnya dilakukan evaluasi bahwa siaran hanya dilakukan dua jam pada pukul 15.00-17.00.
Penentuan jam tersebut juga didasarkan pada jadwal aktifitas masyarakat. Yakni memberikan hiburan sekaligus pengetahuan yang mendidik di tengah kerinduan masyarakat akan oase, kesenian dan nuansa bebas dari komersil, dan murni dari masyarakat.
Dalam jangkauannya, lanjutnya, Grabag TV memang hanya mampu memancar jernih hingga radius 2,5 kilometer. Namun, setidaknya pancaran tersebut mampu menyerap sekitar 50 persen dari wilayah Kecamatan Grabag.
Hartanto mengatakan, bahwa tujuan didirikannya Grabag TV adalah memiliki tiga kepentingan. Pertama sebagai literasi media atau memberikan sikap kritis pada media televisi, kedua untuk memberikan hiburan dan edukasi yang bermutu pada masyarakat , dan ketiga untuk membatasi waktu menonton TV yang cenderung membuang waktu untuk hiburan yang kurang mendidik dan mengurangi waktu untuk sosialisasi.
Memang, lanjutnya, kenyataannya saat ini pemerintah pusat kurang menyetujui keberadaan TV komunitas dengan alasan memboroskan frekuensi. Dan dihawatirkan TV ini menjadi media yang mampu menimbulkan provokasi dan kerusuhan di tengah masyarakat.
“Yang menjadi masalah adalah masyarakat masih menganggap bahwa TV komunitas tidak memiliki manfaat langsung bagi masyarakat, padahal TV ini adalah milik warga,” katanya.
Kemudian pada tahun 2008, telah dialihkan dari saluran VHF ke UHF, karena VHF akan digunakan untuk TV digital. Setahun kemudian, tepatnya tahun 2009, digelarlah kongres Asosiasi Televisi Komunitas yang dihadiri sebanyak 27 komunitas dari Jawa dan Aceh dan tokoh-tokoh dunia broadcasting di Indonesia.
Secara bersamaan, ia juga mendapatkan bantuan secara swadaya dari masyarakat berupa bangunan studio yang terbuat dari bambu seluas 6x9 meter beserta control room seluas 3x6 meter yang berdiri di atas tanah pribadi miliknya di Dusun Ponggol, Desa Grabag, Kecamatan Grabag. Peralatan broadcasting juga mendapatkan bantuan dari rekan-rekannya yang ada di Jakarta dan Yogyakarta. Ia juga ditetapkan sebagai Komisiaris Utama atau Ketua Dewan Penyiaran Grabag TV.
Dalam reportasenya, kata Hartanto, Grabag TV menitik beratkan pada bidang kearifan lokal di sekitar Grabag berupa kesenian, pendidikan, dan pertanian. Pada tahun 2009, Grabag TV juga masuk nominator dalam ajang Eagle Awards dengan judul Dunia Kecil Dalam Kotak yang diselenggarakan Metro TV.
Memang sejak tahun 2011, mengalami kendala penyiaran karena ada pembatasan dari pemerintah. Untuk kegiatan perharinya, lebih diisi oleh para siswa SMK jurusan multimedia dari berbagai daerah di Indonesia yang melakukan Prakter Kerja Lapangan (PKL) dan belajar di studio tersebut.
“Namun mulai awal 2012, kita sudah mendapatkan ijin lagi, dan nanti akan kembali mengudara seperti sebelumnya. Kita juga memiliki agenda akan membuat video magazine agar masyarakat bisa melihat lebih luas tentang Grabag,” katanya.
Grabag TV, hampir seluruh crew yang berkecimpung di dalamnya adalah masyarakat sekitar yang bergabung dengan sukarela. Mereka berasal dari kalangan buruh, petani, dan pedagang. Hanya ada 10 orang yang menjadi crew tetap.
Ke depan, lanjutnya, ia berharap Grabag TV benar-benar mampu menyajikan hiburan yang mengandung edukasi yang diambil dari sekitar masyarakat Grabag dan dikemablikan lagi untuk masyarakat Grabag.
“Harapan utama saya sebenarnya ke depan adalah Grabag TV mampu mengimbangi TV swasta yang berkembang melalui komersialisasi dan cenderung minim nilai edukasi,” harap Hartanto.
BERMANFAAT BAGI MASYARAKAT.
Sekdes Grabag, Ibnu Budi Sutopo mengatakan, keberadaan Grabag TV sudah dirasakan manfaatnya langsung oleh masyarakat sejak lama. Dibuktikan pada tahun 2007 telah dimanfaatkan untuk media informasi pemilihan kepala desa (pilkades) secara langsung (Live). Mulai dari pendaftaran peserta, tes seleksi, masa kampanye, hingga saat pemilihan berlangsung.
Sehingga masyarakat sekitar Grabag sudah bisa melihat langsung siaran televisi tanpa mendatangi lokasi. Bahkan, para calon Kades juga tidak datang langgsung ke lokasi pemilihan, melainkan bisa menyaksikannya di rumah.
“Masyarakat tidak perlu berbondong-bondong melihat langsung, sehingga keamanan bisa terjamin. Karena pada saat pemilihan Kades sebelumnya sempat ada aksi masa hingga merusak gerbang Balai Desa Grabag,” katanya.
Sampai sekarang lanjutnya, juga setiap ada acara-acara desa dan di kecamatan juga disiarkan langsung, seperti upacara bendera, dan lain-lain. Selain itu, juga bisa dimanfaatkan untuk memberikan pengumuman pada warga tentang pemilu, pertanian, dan pembuatan KTP.
Ibnu mengatakan, saat ini untuk produksinya lebih dijalankan oleh para peserta Praktek Kerja Lapangan (PKL) dari berbagai SMK jurusan Multimedia dari berbagai daerah di Indonesia. Karena para peserta biasanya mengikuti PKL selama tiga hingga enam bulan, dan menginap di komplek Grabag TV yang memang telah disediakan penginapan.
“Biasanya juga sering anak-anak PKL yang lalu-lalang di sekitar kantor kecamatan dan balaidesa untuk melakukan praktek broadcasting,” ujarnya.
Untuk pengembangan Grabag TV, pihaknya juga pernah mengajukan ke pemerintah daerah untuk pengembangannnya. Namun tidak pernah ada respon.
“Pernah diusulkan ke pemerintah daerah agar diberi anggaran untuk pengembangan tapi tidak pernah ada tanggapan. Kebetulan yang ikut di sana atau crewnya adalah relawan yang tidak dibaya. Sehingga untuk produksi pastinya membutuhkan biaya,” kata Ibnu.(Dikutip dari http://www.reportaseoriginal.blogspot.com).
Anda bisa posting-ulang artikel ini atau dengan mencantumkan link ini:
http://borobudurlinks.blogspot.com/2012/01/kritik-media-ala-grabag-tv.html
http://borobudurlinks.blogspot.com/2012/01/kritik-media-ala-grabag-tv.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar