KEMANDIRIAN DI TENGAH SEPI PERHATIAN.
Oleh M Burhanudin dan Regina Rukmorini.
Foto Raditya Mahendra Yasa.
Borobudurlinks, 25 September 2010. Ibarat aliran sungai, hilir dan ”turunan” dari keberadaan Borobudur adalah potensi daya cipta manusia di sekelilingnya saat ini. Di tengah gempita wisata candi dan di sisi lain minimnya perhatian dari pemerintah, komunitas-komunitas di sekitar Borobudur terus berkarya dan memupuk inisiatif kemandirian.
Jauhari (48), warga Desa Ringinputih, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, kini kian mantap membuat gula kelapa. Harga jualnya setahun terakhir ini membaik. Apabila sebelumnya 1 kilogram gula kelapa di pasar hanya laku Rp 5.000-Rp 6.000, kini kelompok Jauhari bisa menjual Rp 8.500-Rp 10.000.
Hal yang sama dialami 46 perajin gula kelapa di Ringinputih lainnya yang tergabung dalam klaster usaha gula semut, Ngudi Utomo. Tak tanggung-tanggung, kelompok ini bahkan menjadi satu-satunya kelompok usaha gula kelapa yang mampu menembus pasar Amerika Serikat.
Semuanya bermula dari sekolah lapangan perajin itu bersama 116 warga Borobudur lainnya setahun silam yang diadakan Warung Info Borobudur. Dari sekolah lapangan itu, mereka belajar cara bertani, membuat gula, hingga konservasi lingkungan.
”Kami belajar dari petani di desa lain bersama-sama, atau perajin gula lain. Khusus gula kelapa, kami belajar dari warga Desa Bidaran. Ternyata, setelah mempraktikkan sendiri, gula kelapa kami yang kemudian jadi gula semut kualitasnya dianggap lebih bagus sehingga layak ekspor,” kata Sugeng, Ketua Klaster Gula Semut Ngudi Utomo.
Ide sekolah lapangan itu muncul dari keprihatinan kian terdegradasinya ekonomi masyarakat di sekitar Borobudur beberapa tahun belakangan ini. Lahan pertanian kian sulit diusahakan sebab banyak sumber irigasi mengering, yang diduga akibat eksploitasi penyelenggaraan wisata Candi Borobudur. Sebelum wisata Candi Borobudur berkembang, Kecamatan Borobudur dikenal sebagai daerah pertanian yang subur dan makmur karena banyak saluran irigasi peninggalan Belanda.
Banyak petani yang kemudian memilih mengadu nasib di lokasi wisata Borobudur. Ada yang menjadi pedagang asongan, penyemir sepatu, tukang parkir, dan ada pula yang menjadi pedagang di kios.
Tak heran jika tahun 1990-an jumlah pedagang di lokasi wisata candi yang tergabung dalam paguyuban pedagang itu hanya 1.150 orang kini mencapai 3.700 orang. Dampaknya, lokasi wisata tersebut kian semrawut.
Pedagang dan tukang parkir ataupun penyemir sepatu yang berlatar belakang petani tersebut umumnya belum memahami konsep kepariwisataan. Pembinaan dari pengelola kawasan wisata Candi Borobudur pun nyaris tak ada.
Selain gula kelapa, kawasan Borobudur juga menyimpan potensi pengembangan ekonomi yang tinggi. Di Desa Kebonsari, misalnya, terdapat usaha kerajinan pensil bambu. Ada 10 perajin yang aktif di sana. Selain itu, ada pula perajin alat-alat rumah tangga dari bambu.
Kerajinan bambu di desa tersebut sudah turun-temurun. Sayangnya, belum ada perhatian dari pemerintah untuk pengembangan dan pemasarannya sebagaimana diharapkan masyarakat. Pihak pengelola kawasan wisata Candi Borobudur pun belum melirik usaha itu sebagai mata rantai wisata Borobudur.
”Kalau wisata sudah menyebar ke desa, jumlah asongan yang membuat Borobudur semrawut bisa dikurangi,” demikian pendapat Benny Sobirin, pegiat usaha mikro kecil dan menengah di Desa Kebonsari.
Di Desa Wanurejo, sejak lama berkembang usaha kerajinan bambu untuk tirai. Ada juga klaster usaha gipsum yang sudah menembus pasar internasional. Sebagian perajin mencoba memasarkan produksi mereka ke lokasi wisata, tetapi banyaknya pesaing produk serupa dari luar daerah membuat upaya mereka terkendala.
”Tapi, itu tak membuat usaha-usaha tersebut surut. Mereka tetap bertahan dengan mencari pasar yang lain,” kata Umidah, Kepala Desa Wanurejo.
Wanurejo juga potensial untuk pengembangan wisata budaya, khususnya Dusun Jowahan. Sejak tahun 2004, pemuda dusun membentuk sanggar karawitan yang dipusatkan di rumah Ny Tatik, berupa rumah tua berbentuk joglo. Rumah tersebut sebagian besar kondisinya masih asli dan merupakan rumah tertua di sana.
Sisa peradaban.
Satu potensi unik di sekitar Borobudur yang patut dikedepankan adalah kerajinan batu di Desa Prumpung, Kecamatan Muntilan, Magelang. Banyak orang meyakini, inilah sisa peninggalan peradaban megalitik Borobudur abad ke-9.
Di Prumpung kini terdapat 150 perajin batu. Mereka umumnya membuat miniatur candi, patung, dan kijingan makam. Usaha pembuatan miniatur candi dan patung itu bisa dibilang baru berkembang tahun 1961 saat Dulkamid Joyoprono (71), perajin senior di desa itu, memulai pembuatan miniatur Candi Borobudur.
Sebelum kerajinan patung dan miniatur candi berkembang, secara turun-temurun, perajin di desa tersebut membuat alat-alat rumah tangga dari batu, seperti cobek/ulekan, pasah, dan kijing makam. ”Mungkin saja kami ini adalah keturunan orang-orang Borobudur walau tinggalnya tidak di sana,” kata Joyoprono.
Meski sejak lama telah menjadi ikon, tak pernah ada kebijakan yang menjadikan Prumpung sebagai bagian dari paket kunjungan wisata Borobudur. Padahal, keberadaan Prumpung sudah mendunia. Hasil karya mereka pun sudah diekspor ke Eropa dan Amerika.
Minimnya pengembangan tujuan wisata di Borobudur juga menimbulkan persoalan bagi usaha-usaha akomodasi sekitar candi, seperti hotel, rumah makan, dan pedagang. Menurut Anton, staf Humas Hotel Amanjiwo Borobudur, rata-rata lama kunjungan turis ke Borobudur dua jam. Ini karena terbatasnya obyek wisata yang bisa dinikmati wisatawan, selain candi.
Sikap pengelola wisata dan pemerintah yang statis dan miskin kreativitas menimbulkan keprihatinan mendalam sejumlah elemen masyarakat. Dalam pertemuan hari Rabu (22/9) di Hotel Pondok Tingal, Borobudur, yang melibatkan 30 perwakilan berbagai elemen masyarakat, mereka mengeluhkan tak seimbangnya upaya pengembangan wisata Borobudur ketimbang eksploitasinya.
Solusi-solusi dari pemerintah untuk mengatasi hal itu hanya sekadar wacana. Kalaupun ada, kurang memberdayakan masyarakat lokal. Padahal, potensi pengembangan wisata di mana pun kuncinya adalah terberdayanya manusia di sekitarnya.
Direktur Peninggalan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Yunus Satrio Atmodjo mengaku, pemerintah cukup memahami keprihatinan itu. Ke depan, katanya, akan diupayakan terwujudnya kawasan strategis nasional (KSN).
Dalam KSN akan ditata, antara lain, pembatasan tinggi dan arsitektur bangunan baru di sekitar candi, selain akan adanya dukungan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat Kecamatan Borobudur yang mayoritas petani.
Namun, Camat Borobudur Ari Widi Nugroho mengingatkan pentingnya melibatkan masyarakat setempat dalam setiap perencanaan dan pelaksanaan proyek tertentu.
”Borobudur tidak hanya candi, tetapi juga segenap potensi masyarakat di sekitarnya. Itu semua sudah ada. Geliat itu ada. Tinggal bagaimana yang terkait bisa mengelolanya,” ujar Widi (Kompas.Com/bolinks@2010).
Anda bisa posting-ulang artikel ini atau dengan mencantumkan link ini:
http://borobudurlinks.blogspot.com/2010/09/kemandirian-di-tengah-sepi-perhatian.html
http://borobudurlinks.blogspot.com/2010/09/kemandirian-di-tengah-sepi-perhatian.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar