/KONTEMPLASI/SUNGAI/MALAM/ DALAM KEASYIKAN FACEBOOK.

Borobudur Links | Juli 29, 2010 | 18.02 wib | Label: festival lima gunung


/KONTEMPLASI/SUNGAI/MALAM/ DALAM KEASYIKAN FACEBOOK.

Oleh : M Hari Atmoko.

Borobudurlinks, 29 Juli 2010.
"Mas, apa bener ada yang mau 'nyetop' pertunjukan 'Sungai Malam'," demikian tulisan di ruang komentar dari seseorang yang terhubung di jejaring sosial, "facebook", dengan Ari Kusuma, seorang penggiat seniman Komunitas Lima Gunung Magelang, dini hari. Kemungkinan orang itu telah membaca laman komentar lain dari anggota jejaringnya yang secara iseng menuliskan bahwa performa "Kontemplasi Sungai Malam", salah satu agenda pertunjukan Festival Lima Gunung IX, akan dibubarkan.
Festival tahunan itu digelar 25 Juli hingga 1 Agustus 2010 oleh seniman petani Komunitas Lima Gunung Magelang (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Pegunungan Menoreh). Seseorang yang ternyata menyatakan dalam jaringan di facebook sedang berada di Jakarta itu agaknya mengetahui bahwa komentar tersebut sekadar informasi liar yang mesti disaring secara cermat terlebih dahulu. Ia pun terkesan dengan nada gojek menuliskan "'Ubo rampene' (persyaratan, red.) kurang... njaluk jatah kuwi".
Seorang lainnya pada pukul 04.00 WIB menuliskan di jejaring itu "Kontemplasi ruang tanpa massa memenuhi aliran sinyal. Meditasi sudra berbantal masa berkalung bahagia". Selain tautan berupa tulisan komentar, laporan pendek tentang perkembangan secara seketika pementasan para pelaku performa "Kontemplasi Sungai Malam", juga muncul di "facebook" kiriman foto-foto seketika atas pementasan dari lokasi setempat.
Puluhan seniman petani Komunitas Lima Gunung menggelar performa kolaborasi kontemporer "Kontemplasi Sungai Malam" selama lima jam. Pementasan itu mulai mereka suguhkan kepada dunia maya tepat pukul 00.00 hingga 05.00 WIB di sekitar Candi Mendut Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Pertunjukan itu tak ada penonton secara langsung di lokasi kecuali segelintir wartawan lokal, termasuk tak mengajukan pemberitahuan resmi sebelumnya kepada pihak berwenang karena mereka mengaku bahwa pementasan itu tak masuk kategori "izin keramaian".
"Memang tidak mendorong orang untuk datang menonton, ini eksperimen dan eksplorasi pementasan, mencoba meneteskan persepsi atas suatu pertunjukan kepada setiap orang dalam jaringan (online)," kata pemimpin tertinggi seniman petani Komunitas Lima Gunung, Sutanto Mendut.
Setiap pementas membalut tubuh hingga kepalanya dengan kain warna hitam selama pergelaran yang terasa beriringkan suara alam seperti gemericik aliran air Kali Pabelan Mati di belakang Studio Mendut, keributan binatang malam dari pepohonan dan sungai, terpaan sinar obor tertata artistik di beberapa tempat yang diselang-seling dengan lampu sorot dari lantai dua bangunan milik Sutanto Mendut itu. Arena utama berupa panggung alam yang dihias puluhan patung batu Merapi termasuk patung berjudul "Monumen Lima Gunung" juga terlihat eksotik oleh seni instalasi penjor dengan puluhan gantungan anyaman janur membentuk lingkaran berbagai ukuran yang mereka namai sebagai "Penjor Wahyu" dan anyaman bambu tempat orang desa dan gunung menempatkan sesaji, "Ancak", di sela-sela tatanan kursi tamu dari kayu jati di tengah panggung.
Ratusan dupa ukuran kecil dan puluhan lilin lainnya terpajang menyala di atas beberapa meja porselin di teras studio seni dan budaya yang terletak sekitar 3,5 kilometer sebelah timur Candi Borobudur itu. Sebuah buku agak tebal karya Sutanto pada 1996 berjudul "The Teaching of Night River" diletakkan di atas "dudukan" berukir dari kayu jati antik.

Mereka menyalakan obor, berjalan di arena pergelaran itu membentuk varian gerak teatrikal dan performa tanpa suara. Seorang pematung Muntilan, Cipto Purnomo, bersila di depan patung Ganesha. Tempat itu pernah dimanfaatkan untuk memajang patung "Sinar Hati Gus Dur", karyanya yang sempat diprotes sekelompok umat Buddha karena berkepala mantan Presiden RI, KH Abdurrahman Wahid namun berbadan Sang Buddha. Puluhan lilin menyala berderet setengah lingkaran di depannya bersila.
Seorang seniman lain bersila di atas pohon relatif besar sambil menggerak-gerakan dua obor di tangannya membentuk gambaran guratan warna merah, sedangkan seniman Sanggar Wonoseni Bandongan, Ki Ipang, bersila mengatupkan kedua tangan di depan dadanya dan dengan raut terkesan takzim sesekali membakar sejumlah ikatan jerami.

Seniman Sanggar Seni Tambakan Muntilan yang juga pengajar tari Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya, Waskito, dengan suara mendengus-dengus dari atas kursi kayu di samping patung "Monumen Lima Gunung" memainkan gerak performa yang terkesan sebagai respons atas ruang panggung berproperti tatanan mebeler dari kayu jati.
Ari, dari pojok panggung duduk sambil memainkan "keyboard" komputer jinjingnya yang tersabung dengan modem internet. Sesekali dia berjalan memotret para seniman yang sedang menggelar pementasan itu untuk kemudian kembali komputer jinjingnya. Dia terlihat mengisi sejumlah ruang komentar, status, dan laporan tentang perjalanan pementasan itu kepada jejaringnya di "facebook".

Belasan seniman berbalut kain warna hitam dengan properti ancak terikat di kepalanya sambil membawa obor, terlihat berjalan berderet menuju aliran air sungai Pabelan Mati. Mereka satu demi satu menceburkan diri di sungai itu seakan merespons gemericik aliran airnya. Mereka kemudian berpindah kembali ke panggung utama, hilir mudik memindah-mindah sejumlah patung batu dari satu tempat ke tempat yang lain, mengarak belasan wayang kulit.
Ismanto, perupa dari lereng Gunung Merapi, memainkan performa "Rebab Sungai Malam". Penggesek rebab dari kayu bukannya digesekkan di dawai lazimnya orang memainkan alat musik itu, namun digesek-gesekkan di lehernya sambil terlihat mimiknya yang tanpa suara menggambarkan orang menyeringai dan sesekali meronta tanda kesakitan. Mungkin siapa pun akan membetot syaraf geli saat melihat babak dia memainkan performa itu.
Tak seberapa lama kemudian, sejumlah seniman grup teater Gadung Mlati Merapi terkesan hilir mudik dan riuh, berjalan mengelilingi properti ancak dengan tatanan meja kursi, sambil menempelkan tangan yang masing-masing memegang telepon seluler di telinga. Kepala mereka masing-masing tampak agak mendongak, mulutnya menggambarkan performa berbagai lagak orang berbicara di telepon. Seorang lain memainkan performa menelepon sambil duduk dengan mengangkat salah satu kaki di atas sandaran kursi, lainnya tampak tangan kirinya mengacak pinggang sambil memainkan performa orang sedang menelepon.
Energi suasana pentas "Kontemplasi Sungai Malam" terkesan terus bertahan tanpa kata-kata, kecuali suara gesekan alam dini hari hingga subuh yang terkesan menghiasinya. Suara kokok ayam dari kejauhan dan lantunan doa pembuka azan subuh dari surau setempat sekitar pukul 04.20 WIB seakan membuat mereka yang sebelumnya bergelimpangan di berbagai tempat di lantai tanah panggung itu bergerak menempati kursi-kursi dan selasar sejumlah patung batu Studio Mendut.
Sutanto turun dari teras studio, tangan kirinya secara santun memegang buku "The Teaching of Night River", kemudian berdiri dengan gaya berorasi mengumbar petuah kebudayaan. Sesekali tangan kanan dengan jarinya yang mengapit rokok mild bergerak-gerak, meyakinkan kata-kata nasihat budayanya kepada seniman petani yang duduk di kursi bertata melingkar itu. Performa yang mereka namai "Sidang Dewa Sudro Satrio" itu sebagai babak penghujung atas "Kontemplasi Sungai Malam", tepat pukul 05.00 WIB.
"Pementasan ini bukan lagi sekadar pertunjukan seni, tetapi bagaimana orang mendapatkan inspirasi tentang pemanfaatan atas ruang dan waktu secara cerdas. Kuncinya di kepekaan inderawi. Apakah telinga, hidung, mata, lindah, dan kulit masih peka dalam hiruk-pikuk industri multimedia yang agresif selama 24 jam. Apakah pancaindera ini masih normal terhadap bulan malam, kodok, jengkerik, tarian daun, dan bau jamur liar," katanya.
Banjir nilai dan tendensi industri massal, katanya, sering kali membuat manusia bekerja tanpa hati dan pikiran alami."Setiap tahapan zaman, manusia perlu oase," katanya.
Festival Lima Gunung 2010, bagi seniman lima gunung itu menjadi puncak tahunan kesembilan atas gerakan kebudayaan mereka yang berbasis pertanian, desa, gunung dengan sungai-sungai yang dijadikan simbol perjalanan mengalir nilai kearifan lokalnya.Manusia Jawa memandang angka sembilan sebagai angka tertinggi.
Komunitas seniman petani lima gunung Magelang, melalui "Kontemplasi Sungai Malam" itu, seolah-olah ingin menjadikan festival mereka pada tahun kesembilan ini sebagai oasisnya (ANTARA JatengNews).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
  • 1st
  • 2nd
  • 3rd
  • 4th
  • 5th

Home | Mobile Version | Seni dan Budaya | Manusia Kreatif | Acara dan Berita | Festival 5 Gunung | Networking | Wisata
(c) 2013-2016 Modus Getar | Powered by Day Milovich