GAIRAH PETANI MENGOLAH FESTIVALNYA.
Oleh : M Hari Atmoko
Borobudurlinks, 2 Agustus 2010. ‘Mboten nginten nek dados gayeng ngaten' (Tak disangka kalau jadi meriah seperti ini)," kata Sumarno yang sejak usia 17 tahun hingga saat ini menduduki "tahta" kepala dusun di lereng Selatan Gunung Sumbing, di Dusun Krandegan, Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Senyum mengembang dari wajah lelaki berumur 59 tahun, berpakaian batik dan bertutup kepala, peci, malam itu, ketika dia menerima secara santun para tamu yang antara lain berasal dari berbagai dusun di sekitar lereng Gunung Sumbing dan beberapa tempat di Magelang.
Kegembiraan hatinya juga tak kurang ditumpahkan ketika bercengkerama dengan beberapa pegiat lembaga swadaya masyarakat berkantor pusat di Jakarta, Urban Poor Consorsium (UPC), yang berasal dari sejumlah kota di Indonesia seperti Pare-Pare, Palembang, Tasikmalaya, Surabaya, Jakarta, dan Yogyakarta.
"'Diaturi pinarak' (Maksudnya, semua tamu diminta pindah ke ruang makan,red)," katanya sambil meminta mereka yang diduduk di ruang tamu itu pindah ke ruang lain di dalam rumah itu untuk makan malam. Ratusan warga berkumpul di rumahnya di ketinggian sekitar 1.600 meter dari permukaan air laut dengan balutan tusukan udara dingin kawasan Gunung Sumbing malam itu untuk menyaksikan suguhan tarian "Lengger Lima Gunung" dalam rangkaian Festival Lima Gunung IX Tahun 2010 yang digelar dengan tema besar "Sudro Satrio (Ngulandoro)" oleh seniman petani Komunitas Lima Gunung Magelang (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Pegunungan Menoreh).
Hampir semua rumah di Dusun Krandegan dengan sekitar 380 kepala keluarga kosong ketika malam itu gamelan bertalu-talu ditabuh para pengrawit dan para penari lengger menyuguhkan tarian khas yang hingga saat ini masih mereka lestarikan. Mereka malam itu menyuguhkan lengger itu dalam dua babak yakni pukul 15.00-17.30 WIB dan 19.30-24.00 WIB. Juwahir Sarwo Edi (35) koordinator seniman petani setempat, "Cahyo Budoyo Sumbing" tampak dengan riang hati sibuk memimpin anggotanya mengatur pementasan.
"Biasanya lengger dipentaskan setahun sekali saat Sapar bertepatan dengan Rabu Pahing (kalender Jawa,red.), kali ini kami sepakat menarik menjadi "Lengger Lima Gunung" bertepatan dengan FLG," kata Sarwo Edi.
Seluruh penari yang terdiri atas empat penari perempuan Sumarsih (25), Sumirah (27), Sariyatun (23), dan Rusminah (24), serta 20 penari laki-laki seperti Pujianto (30), Misidi (29), Sugito (29), Mugo (30), Suyono (27), dan Sukidi (27) naik panggung secara bergantian malam itu. Mereka menyuguhkan 15 nomor tarian lengger yang dimiliki seperti Sontoloyo, Bribil, Kebogiro, Solasih, Criping Kuning, Jurang Jero, Sluku-Sluku Batok, Jentik Manis, Genggong Campur, Gondang Keli, Maheso Jenar, dan Gambuh.
"Tarian dan syair tembang pengiringnya sarat dengan berbagai nasihat tentang kebijaksaan dan kearifan masyarakat. Kami memahami secara turun temurun dengan baik pesan-pesan itu karena menjadi nilai moral kehidupan kami," katanya.
Warga setempat baik tua muda, anak-anak, baik lelaki maupun perempuan merangsek hingga menyentuh panggung pertunjukkan berukuran sembilan meter persegi dengan tinggi 30 centimeter di pendopo rumah kadus setempat. Sejumlah sesepuh desa setempat duduk bersila secara berjejer di sisi lain tempat pergelaran itu sambil bercengkerama. Sumarno pun terlihat melayani beberapa penari laki-laki yang kesurupan yang nampaknya sekadar ingin menyalami pimpinan formal tertinggi di dusun itu. Babak itu seakan menggambarkan betapa masyarakat, alam, kekuatan spiritual, kekayaan budaya, dan pemimpinnya sebagai suatu kesatuan yang terus mereka hidupi.
Lain lagi dengan di lereng barat Gunung Merapi. Pagi itu, sejumlah seniman petani yang tergabung di grup teater "Gadung Mlati" pimpinan Ismanto, berjalan kaki sepanjang kira-kira 500 meter dari halaman rumahnya menuju tepian Kali Trising yang aliran airnya berhulu di kaki Merapi. Mereka antara lain mengusung penjor berhias anyaman janur berbentuk bulat beraneka ukuran yang mereka namai "Penjor Wahyu", bola dunia terbuat dari anyaman janur, sesaji antara lain berisi makanan, buah-buahan, dan jajan pasar.
Dua seniman memikul ancak (tempat sesaji) berbentuk tandu dengan hiasan janur kuning yang di atasnya diletakkan beberapa bibit tanaman. Sejumlah seniman lainnya yang mengenakan pakaian ala petani Jawa dengan ikat kepala "iket", bercelana congklang warna hitam, dan berbalut kain batik di pinggangnya membawa kain warna kuning emas sepanjang sekitar 10 meter secara terbentang.
Ismanto, seniman perupa setempat itu, membawa puluhan batang dupa memimpin prosesi ritual kontemporer yang mereka namai "Tebus Tresno". Mereka menanam bibit pohon itu di tepi Kali Trising untuk selanjutnya melarung aneka sesaji dan ancak tandu di sungai itu.
"Ini simbol usaha untuk menebus kesalahan ulah manusia yang berakibat kerusakan alam," kata Anjar, salah seorang anggota Gadung Mlati.
Tingkah laku manusia, katanya, cenderung merusak alam demi memenuhi kebutuhan materi. Terkadang manusia tidak sadar bahwa kerusakan alam berakibat fatal terhadap kelangsung hidup mereka. "Semoga ritual ini menumbuhkan kesadaran manusia bahwa dia tidak bisa hidup tanpa alam, karena manusia bagian dari alam," katanya.
Puluhan orang yang berlalu lalang di jembatan Kali Trising yang menghubungkan Desa Sengi dengan Paten, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang terlihat menyaksikan prosesi kontemporer itu.
Sementara itu, di lereng Gunung Andong, seniman petani Desa Mantran, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang yang tergabung dalam "Gilar Andong Jinawi" dengan dipimpin Supadi, menggelar pentas tarian "Kuda Kepang Papat". Tarian sebagai pentas utama tradisi mereka yang disebut "Khataman Kesenian" di kawasan itu dikemas dengan sejumlah pergelaran lainnya seperti topeng ireng putri, kuda lumping, dan ritual kontemporer bertajuk "Sudro Satrio (Ngulandoro)" sejak sore hingga malam hari.
Tradisi "Khataman Kesenian" mereka gelar setiap menjelang puasa Ramadhan. Hampir seribu orang menyaksikan pergelaran di halaman rumah Supadi yang setiap hari bekerja sebagai pedagang sayur-sayuran hasil panenan petani di kawasan itu.
Sitras Anjilin, pemimpin padepokan "Tjipto Boedojo Tutup Ngisor" di lereng Merapi, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang menyampaikan kabar tentang pergelaran kesenian jatilan di Desa Sewukan yang disuguhkan kalangan seniman petani setempat yang dilatihnya sejak beberapa waktu terakhir ini.
"Pada Festival Lima Gunung tahun ini, kami menandai dengan kirab dan pementasan itu. Prosesi budaya sore hari dan kemudian dilanjutkan pentas hingga malam hari," katanya.
Selain itu, seniman padepokan yang dipimpinnya akan menyuguhkan karya terbaru saat puncak FLG bersama dengan anggota KLG lainnya di Studio Mendut, sekitar tiga kilometer timur Candi Borobudur pada Minggu (1/8).
Festival selama seminggu (25 Juli-1 Agustus 2010) dimulai dengan performa "Ritus Ondo Gunung Syukur" di puncak Suroloyo, tempat tertinggi di Pegunungan Menoreh di perbatasan antara Magelang, Jateng dengan Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Mereka juga berkolaborasi menyuguhkan performa "Kontemplasi Sungai Malam" di tepi aliran Kali Pabelan Mati, Kelurahan Mendut, Kecamatan Mungkid, selama lima jam (00.00-05.00 WIB) pada Rabu (28/7).
Pementasan yang memang mereka kemas tanpa penonton itu nampaknya telah membuat jejaring sosial "facebook" anggota komunitas tersebut dari berbagai kota di Indonesia dan beberapa negara lain secara heboh memberikan respons.
Pada penghujung festival 1 Agustus 2010 di kawasan Studio Mendut, mereka yang tergabung dalam berbagai komunitas masing-masing seperti "Wargo Budoyo Gejayan", "Sanggar Warangan Merbabu", "Lumaras Budoyo Petung", "Komunitas Atas Bumi Bawah Langit Muntilan", "Fatma Budaya", dan "Sekolah Gunung" menyuguhkan berbagai karya selama kira-kira enam jam.
"Ini 'passionate' (gairah) kami," kata Sutanto Mendut, pemimpin tertinggi Komunitas Lima Gunung. (ANTARA JatengNews).
Anda bisa posting-ulang artikel ini atau dengan mencantumkan link ini:
http://borobudurlinks.blogspot.com/2010/08/gairah-petani-mengolah-festivalnya.html
http://borobudurlinks.blogspot.com/2010/08/gairah-petani-mengolah-festivalnya.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar