FESTIVAL 5 GUNUNG 2010 DIBUKA DI KAYANGAN PARA DEWA.

Borobudur Links | Juli 27, 2010 | 08.41 wib | Label: Event and News


Oleh : M Hari Atmoko.

Borobudurlinks, 27 Juli 2010.
Batara Surya seakan ingin mengintip mereka yang berarak secara takzim menghadap Batara Guru di Suroloyo, puncak tertinggi Pegunungan Menoreh, di perbatasan antara Kabupaten Magelang, Jawa Tengah dan Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Berbicaralah dewa itu menghaturkan permintaan kepada Batara Bayu supaya meniupkan kabut tebal penyelimut tempat yang dalam dunia pewayangan disebut sebagai kayangan itu.
Angin yang berarak di puncak perbukitan itu pun memberi kesempatan sekejap kepada Sang Surya untuk mengintip seniman petani Komunitas Lima Gunung (KLG) Magelang yang sedang menggelar sesaji pembuka Festival Lima Gunung (FLG) IX pada 2010. Mereka yang mengenakan berbagai pakaian adat Jawa model petani dan properti lainnya secara kontemporer itu saling menunjukkan jarinya dan mendongakkan kepala ke arah matahari. Sang Surya mereka lihat telah berada di atas bukit itu tanpa memencarkan silaunya karena sinarnya tersaring oleh tipisnya kabut.
Matahari yang mereka lihat pagi itu tidak keluar dari cakrawala tetapi telah berdiri dengan gagah di balik kabut tipis. Benda penyinar jagat raya itu seakan bergantung di langit di atas bukit, bagaikan bulan berwarna putih yang enggan masuk peraduannya. Puluhan pasang kaki melangkah menaiki secara tekun ratusan tangga Suroloyo hingga puncaknya di ketinggian sekitar 900 meter dari permukaan air laut. Pagi terasa dingin menyapa perjalanan tirakat mereka. Terpaan kabut dan gemuruh tiupan angin mengiring langkah pasti mereka dipimpin oleh pemimpin tertinggi KLG, Sutanto Mendut.
Belasan orang dengan baju ala Jawa motif lurik, celana congklang warna hitam, berbalut kain motif batik di pinggang dan bertutup kepala "iket", serta properti selempang kain putih, melangkah sambil mengusung bentangan kain warna kuning sepanjang sekitar 20 meter, menuju puncak kayangan itu. Denting beberapa lonceng besi berwarna kuning emas dan berukir indah itu sesekali dikebas sejumlah seniman lainnya. Suaranya menembus gemuruh sapaan angin. Suara engahan napas para petirakat tak terdengar saat mereka bertekun menjalani prosesi pembuka festival tahunan yang pada 2010 dipusatkan di kawasan Pegunungan Menoreh itu.
Ismanto, seniman lereng Gunung Merapi berjalan perlahan membawa "ancak" (ayaman bambu) 15 meter persegi berisi sesaji antara lain ingkung, jajan pasar, bunga mawar merah dan putih, aneka buah dan sayuran, serta puluhan batang dupa dengan ujung berwarna merah sebagai tanda bara menyala. Diletakkannya sesaji itu di bawah arca batu Dewa Syiwa setinggi satu meter yang dalam dunia wayang dikenal sebagai Batara Guru di puncak Suroloyo itu.
Iringan tembang Jawa dilantunkan petinggi Padepokan "Tjipto Boedojo Tutup Ngisor" lereng Merapi, Sitras Anjlin. Seorang lelaki tua namun bertubuh kekar berasal dari Gunung Merbabu, Cipto, sambil memegang cobek berisi kembang mawar merah putih, berdiri di samping patung Batara Guru dengan mulut terlihat berkomat-kamit, seakan meluncurkan darasan doa melalui "Ritus Ondo Gunung".

"Kami menghaturkan sesaji," kata Ismanto lirih sambil bersila di depan Batara Guru.
Angin kembali terasa bergerak lebih cepat, tetesan embun pagi menerpa para petirakat itu seakan menjadi simbol berkat para dewa bagi mereka untuk perhelatan seni dan budaya selama seminggu, hingga 1 Agustus 2010. Matahari seakan kembali bersembunyi di balik kabut tebal itu. Puluhan seniman petani itu serasa berdiam diri di tengah kabut putih puncak kayangan, tak terdengar sekecap pun suara, suasana terasa sunyi dan lengang. Hanya mereka dengan alam gunungnya
"Ini perjumpaan tak terduga, pertemuan antarmanusia bersahaja yang selalu menggali ketulusan dan cinta kasih dengan alamnya," kata Sutanto ketika merefleksikan tentang FLG IX bertema "Satrio Sudro (Ngulandoro)" itu.
Suroloyo dalam dunia pewayangan sebagai tempat bersemayam Batara Guru, dewa tertinggi pewayangan, seolah menjadi tempat seniman KLG sejenak merefleksikan perjalanan kebudayaan mereka di kawasan lereng Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Pegunungan Menoreh. Mereka, katanya, menemukan kesadaran tertinggi betapa sembilan tahun terakhir kehidupan sederhana sebagai petani desa dan gunung di Magelang. Mereka secara intensif bertekun dengan seni budaya dan alam sosial pertanian telah menempatkan diri dalam peta perubahan kebudayaan Indonesia.
Nama "Lima Gunung" telah identik dengan ketenaran mereka sebagai seniman petani. Kiprah dan tuangan karya mereka dalam bentuk pementasan seni tradisional, kontemporer, dan kolaborasi tak hanya sebatas lokal, namun menembus secara indah, cerdas, menakjubkan, dan mandiri di berbagai pusat kota besar. Karya gerak tari, lantunan sastra tembang, musik tradisional dan kontemporer, serta performa kolaborasi seni mereka pada berbagai kegiatan baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional mengusung kritik sosial atas peristiwa kemanusiaan. Mereka menyuguhkannya secara kultural dan dalam nuansa damai.
Ketua Panitia FLG IX, Riyadi, menjelaskan tentang tema "Sudro Satrio (Ngulandoro)" untuk perhelatan seniman KLG mulai 25 Juli hingga 1 Agustus 2010 itu. Kata "Sudro" sebagai kesadaran atas mereka sebagai golongan petani yang identik dengan masyarakat bawah, "Satrio" untuk menyebut mereka yang rendah itu namun ternyata berjiwa kesatria, sedangkan "Ngulandoro" sebagai perjalanan petualangan mereka selama menebarkan nilai kebudayaan bagi kepentingan kemajuan peradaban dan kemanusiaan.
"Perjalanan kebudayaan kami adalah perjalanan nilai," kata Riyadi yang juga pimpinan komunitas seniman petani Merbabu itu.
Untuk memulai festival itu, katanya, mereka yang bersahaja sebagai petani itu dengan sikap kesatria, memberanikan diri berpetualang spiritual ke puncak kayangan guna menyampaikan doa dan refleksinya, di Suroloyo, tempat bersemayam dewa tertinggi. Sitras yang komunitasnya di Merapi berbasis kesenian wayang orang itu mengatakan, "Suroloyo" berasal dari dua kata yakni "Suro" berarti berani dan "Loyo" berarti mati.
"Kehadiran kami secara kultural di Suroloyo ini, simbolisasi tekat kami, seniman petani lima gunung untuk kukuh bersikap kesatria, berani memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan hingga puncak tertinggi kehidupan, dengan jalan gerakan kebudayaan," katanya.
Mereka kemudian menuruni puncak Suroyolo untuk berpindah ke puncak bukit lainnya, Sariloyo, di dusun yang sama, Dusun Keceme, Desa Gerbosari, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Komunitas setempat yang tergabung dalam Peguyuban Kesenian Gunung Sari, Desa Gergosari pimpinan Kemat, didampingi juru kunci Suroloyo, Parji, menyambut puluhan seniman lima gunung yang sedang mengenyam kelegaan nurani itu turun dari kayangan Suroloyo. Sambutan mereka itu dalam bentuk suguhan tarian tradisional jatilan.
Kemeriahan di Sariloyo terkesan menyeruak ketika seniman petani KLG itu menimpali dengan kolaborasi secara spontan berupa performa wayang golek oleh Jono, Ipang, dan Cipto Purnomo, teatrikal melukis apel oleh Dedy Paw, performa gerak oleh Sitras Anjilin dengan anggota komunitasnya "Tjipto Boedojo Tutup Ngisor", performa olah dukun Merbabu oleh Cipto, dan tarian barong kontemporer oleh Ismanto dengan grup teaternya, "Gadung Mlati".
Setelah turun dari kayangan Suroloyo itu, KLG bakal melanjutkan agenda festival tahunan mereka antara lain melalui pameran instalasi "Karma Rasa" di Dusun Ngampel, Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, di lereng barat Gunung Merapi, pergelaran "Lengger Lima Gunung" oleh komunitas seniman petani "Cahyo Budoyo Sumbing" pimpinan Sumarno di Desa Krandegan, Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang, di lereng Gunung Sumbing".
Selain itu pentas tradisi "Kuda Kepang Papat" oleh komunitas seniman Mantran, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, di lereng Gunung Andong, pimpinan Supadi, performa teater tenang menembus dini hari bertajuk "Sungai Malam" yang dimainkan secara kolaboratif oleh seniman "Gadung Mlati" dengan penari Muntilan, Waskito, dan pertunjukkan silaturahim berbagai kelompok seniman petani KLG di kawasan Candi Mendut, Kabupaten Magelang.
"Kami mengandalkan kekuatan pikiran, idealisme, inspirasi, suara nurani desa dan gunung, serta diperkaya dengan ide-ide tentang ruang dan waktu. Intinya, ini festival tentang kemandirian manusia," kata Sutanto (ANTARA JatengNews).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
  • 1st
  • 2nd
  • 3rd
  • 4th
  • 5th

Home | Mobile Version | Seni dan Budaya | Manusia Kreatif | Acara dan Berita | Festival 5 Gunung | Networking | Wisata
(c) 2013-2016 Modus Getar | Powered by Day Milovich