‘KARMA RASA’ KUKUHKAN INSPIRASI FESTIVAL 5 GUNUNG 2010.

Borobudur Links | Juli 27, 2010 | 09.06 wib | Label: Event and News


Oleh : M Hari Atmoko

Borobudurlinks, 27 Juli 2010.
Anggota Nihon Wayang Kyokai, perkumpulan wayang dari Jepang, Yuko Yamaguchi dan pelukis asal Jepang, Junku Hayakawa, yang diantar budayawan Magelang, Sutanto Mendut, memasuki halaman rumah seniman Gunung Merapi, Ismanto, bertepatan dengan kumandang azan zuhur dari masjid setempat. Tak ada hiruk pikuk warga lereng barat Gunung Merapi di Dusun Ngampel, Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, ketika itu.
Di sekitar rumah yang tampak artistik tersebut cuma ada beberapa lelaki mengenakan sarung dan peci sedang berjalan menuju masjid di samping rumah Ismanto, yang pematung dan juga pemimpin grup Teater Gadung Mlati itu. Suasana kehidupan warga nampak berjalan biasa-biasa saja, seakan tak ada yang istimewa siang itu meskipun di halaman kecil rumah Ismanto terpasang sejumlah properti seperti penjor, hiasan janur kuning melengkung di pintu depan rumah itu yang terbuat dari kayu jati berumur tua.
Puluhan properti berbentuk ancak (anyaman bambu untuk tempat sesaji) ukuran kecil menghias pojok halaman mengelilingi sebuah patung batu ukuran besar membentuk wajah manusia abstrak. Hiasan janur kuning membentuk "cakramanggilingan" (perputaran roda dharma) tergantung di sepanjang teritisan rumah berukuran sekitar 50 meter persegi itu.
Penyair Dorothea Rosa Herliany, pelukis Dedy Paw, dan Damtoz Andreas, serta asisten dosen linguistik Jurusan Bahasa Inggris Universitas Texas Amerika Serikat Dr Debbie Cole, duduk bersila mengelilingi meja di pojok rumah seniman bersahaja itu.Sebuah ancak berukuran sedang dengan di atasnya dihias beberapa cobek berisi aneka buah dan jajan pasar diletakkan tepat di belakang pintu masuk rumah. Sedangkan sebuah ancak bertingkat ukuran lebih besar lagi berdiri di "longkangan" dengan puluhan cobek berisi buah-buahan dan jajan pasar lainnya.
Suasana rumah itu makin terasa berbeda dengan hari biasa karena Ismanto bersama dengan sejumlah seniman Gadung Mlati mengenakan pakaian adat Jawa ala petani, antara lain bertutup kepala "iket", bercelana congklang warna hitam yang berbalut kain batik di pinggang.Istri Ismanto, Murtiyah, dan seorang perempuan seniman lainnya mengenakan kebaya. Mereka terlihat menyambut tamu istimewanya siang itu dengan suatu tarian beriring bunyi "kencreng" yang kemudian mengantarnya berjalan ke ancak utama di "longkangan" rumah itu.
Aneka camilan tradisional seperti rempeyek, keripik tempe, "pothil", dan selondok, memenuhi sejumlah toples. Berbagai macam makanan tradisional lainnya seperti jadah, wajik, apem, pisang goreng, dan singkong tersaji di sejumlah piring keramik di meja ruang tengah rumah itu. Di meja permanen dari batu Merapi yang diletakkan di sudut lain rumah itu tertata beraneka sayuran, lauk-pauk, dan nasi organik; suguhan santap siang para tamu.
Suguhan beberapa gelas isi teh panas dikeluarkan dari dapur oleh dua seniman yang memainkan peran sebagai petani ditandai tutup kepala "iket", tanpa baju, bercelana congklang, dan berbalut kain batik di pinggangnya. Mereka secara santun meletakkan minuman itu di meja ruang tengah lalu menyilakan tamunya untuk sekadar menyeruputnya.
Ismanto bersama tiga seniman berdiri di depan ancak utama menggelar performa doa ditandai dengan mengangkat katupan kedua tangan masing-masing sambil bersiul selama beberapa saat. Ia kemudian tampak menyilakan tamunya menyantap aneka makanan yang tersaji di cobek di atas ancak itu.
"Semua tamu yang datang ke rumah ini hingga penghujung bulan ini, kami terima melalui performa yang kami namai 'Karma Rasa'," kata Ismanto.
Performa "Karma Rasa" sebagai bagian dari sajian seniman petani Komunitas Lima Gunung Magelang (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Pegunungan Menoreh) pada rangkaian Festival Lima Gunung IX, 25 Juli - 1 Agustus, yang mengusung tema "Sudro Satrio (Ngulandoro)". Tema itu untuk menggambarkan perjalanan sembilan tahun terakhir kalangan seniman petani Komunitas Lima Gunung (KLG) Magelang mewarnai secara kuat gerakan kebudayaan Indonesia.

Puluhan ancak dengan sesaji kontemporer yang menjadi properti utama atas performa seni di rumah Ismanto itu sebagai simbolisasi kekuatan kesadaran masyarakat desa dan gunung dalam menangkap berbagai tanda alam.
"Orang desa memasang sesaji di atas ancak. Ancak 'Karma Rasa' adalah antena, menangkap sinyal. Petani dan orang desa memiliki ketajaman lokal dalam menangkap sinyal alam. Tanda-tanda alam adalah petunjuk mereka untuk berolah kehidupan," katanya.
Ia mengatakan, ketajaman nurani sebagian masyarakat berpola pikir modern dan mereka lainnya yang hidup dalam suasana bergaya perkotaan cenderung tumpul. Kegaduhan suasana perkotaan dan persoalan pelik yang setiap hari dihadapi, katanya, membuat mereka kurang peka atas berbagai tanda yang dikumandangkan oleh alam.
"Antena nurani dan pikiran orang kota terkungkung dalam modernisasi, apalagi arus informasi global terus menerjang, dan mereka abai terhadap alam sekitarnya. Perasaan kemanusiaan menjadi tidak peka, kehidupan rusak, dan cinta kasih terasa menjadi barang langka, membuat karma buruk menimpa," katanya.
Kembali kepada kearifan alam, katanya, menjadi kerinduan kuat manusia. Mereka mencari desa dan gunung dengan suara-suara alamnya untuk berkontemplasi, memulihkan kepekaan supaya menjadi kekuatan spiritual, sehingga bisa berpikir jernih menghadapi tantangan peradaban. Sutanto yang juga pemimpin tertinggi KLG itu mengatakan, gerakan kebudayaan oleh seniman petani setempat selama ini bersumber dari inspirasi kehidupan pedesaan dan gunung-gunung mereka.
Mereka yang petani desa dan gunung itu, katanya, juga diterpa oleh asyiknya bermain dengan jejaring sosial modern dan menjalani pergulatan informasi melalui dunia maya. Sebagian besar di antara mereka memang gagap terhadap perkembangan pesat teknologi informasi namun juga melihat hiruk-pikuk persoalan riil masyarakat dengan berbagai isu kemanusiaan yang aktual.
"Tetapi latar belakang sebagai orang desa dan kearifan petani dengan karakter psikososialnya tetap melekat. Saat mereka 'kebablasan' menerjang norma-norma budaya desa, mereka saling mengingatkan sehingga cenderung kembali kepada tanda-tanda alam," katanya.
Hidup menjalankan warisan kearifan seperti sopan santun, keluguan, kerendahan hati, menjaga mata air, menghitung waktu tanam, berolah ritual, katanya, tetap mereka jalani secara eksotik sebagai bagian kuat atas kehidupan personal dan bersama yang melahirkan kesenian tradisional, kontemporer desa, dan gerakan kebudayaan pertanian. Festival yang umumnya mengandalkan kemegahan panggung utama, penonton berjubel, merindukan kehadiran pejabat penting, kegaduhan rapat persiapan, kekuatan proposal kepada sponsor dan donatur, katanya, tak berlaku dalam alam berpikir seniman petani KLG.
Festival Lima Gunung IX telah dibuka oleh mereka melalui prosesi sesaji kontemporer di Suroloyo, puncak tertinggi Pegunungan Menoreh, di perbatasan antara Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dengan Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (25/7). Pada perhelatan seni budaya itu, mereka antara lain menyuguhkan performa "Karma Rasa" di Merapi (26-30 Juli), performa kolaborasi bertajuk "Sungai Malam" pada Rabu (28/7), dari dinihari hingga subuh, dilanjutkan pentas kesenian magis "Jaran Papat" di kawasan Candi Mendut oleh komunitas seniman petani Gunung Andong.
Komunitas seniman petani Gunung Sumbing menggelar tarian "Lengger Lima Gunung" di Dusun Krandegan, Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, pada Jumat (30/7), pukul 16.00-24.00 WIB.Puncak festival berupa pementasan berbagai kesenian tradisional, kontemporer, sastra gunung, dan instalasi seni di kawasan Candi Mendut, Kecamatan Mungkid, Minggu (1/8) pukul 10.00-17.00 WIB.
Ia mengatakan, biaya sosial dan kerinduan berkumpul untuk berbagi kegembiraan menjadi modal mereka berfestival. "Festival ini kebutuhan kultural mereka, entah gagal atau sukses panen. Festival ini bukan panggung pejabat, tidak mengusung nama daerah, atau kepentingan sponsor. Orang butuh makan pasti akan mencarinya dengan menanam, membeli, atau memasak. Kami butuh festival sehingga menggelarnya, tak peduli ditonton atau tidak," katanya.
Festival itu, katanya, telah menjadi tempat mereka berkontemplasi, membangun ruang menuang inspirasi, dan ritus gerakan kebudayaannya. (ANTARA JatengNews).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
  • 1st
  • 2nd
  • 3rd
  • 4th
  • 5th

Home | Mobile Version | Seni dan Budaya | Manusia Kreatif | Acara dan Berita | Festival 5 Gunung | Networking | Wisata
(c) 2013-2016 Modus Getar | Powered by Day Milovich