Perjuangan Romo Kirjito Meraih Maarif Award

Borobudur Links | Juni 22, 2010 | 08.15 wib | Label:


Jejaring Desa untuk Kelestarian Lingkungan Merapi
oleh Sholahuddin al-Ahmed

Borobudurlinks, 22 Juni 2010, Perjuangannya dibidang pluralisme, lingkungan dan kebudayaan itu menjadikan Romo Vincentius Kirjito Pr (57) memetik Maarif Award 2010. Kepala Gereja Katolik Santa Maria Lourdes di Lereng Gunung Merapi, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, dikenal sebagai tokoh yang menjaga kearifan lokal dan alam. Inspirasi dan hikmah apa yang bisa dipetik dari Romo Kirjito berikut laporannya.

Gunung Merapi berketinggian 2.980 mdpl tak hanya kaya akan sumber daya alamnya, tapi juga kaya akan ragam seni budayanya. Namun seiring dengan perkembangan zaman kearifan lokal desa-desa di sana mulai dijajah budaya metropolitan atau orang kota.

Tahun 2000 ketika Romo Kirjito mulai menapakkan kakinya di sana, melihat fenomena sosial tersebut. Dia menganggap itu sebagai ancaman, petani dibodohi orang-orang kota yang memiliki modal besar. Mereka diiming-imingi uang agar merusak alam dengan menambang pasir.

Sebagian petani yang tergiur dengan uang meninggalkan kearifan lokal, ikut-ikutan menambang pasir. Karena uang, budaya gotong-royong, tolong-menolong, sopan santun, tulus dan jujur mulai memudar.

‘’Sebenarnya warga Lereng Merapi umumnya hidup dari mengolah alam sebagai petani, mereka mewarisi tradisi dari nenek moyang. Berpegang teguh pada keseimbangan dan kelestarian alam, memelihara mata air,’’katanya.

Namun ketika modernisasi mulai menyentuh desa, menurutnya, nilai uang mengubah gaya hidup seperti di kota. Petani diajari bagaimana cara-cara cepat mendapatkan uang super cepat akhirnya menambang pasir menggunakan mesin pengeruk (backhoe), pertanian dengan pupuk kimia berlebihan. Perlahan-lahan mereka lalai, atau tidak mementingkan kelestarian jangka panjang.

‘’Ketika eksploitasi pasir dengan mesin-mesin backhoe datang, mereka semua senang dan kagum. Tetapi hanya dalam beberapa bulan saja mereka melihat kerusakan alam Merapi yang membuat mereka sendiri merasa ngeri,’’katanya.

Menurutnya, lereng gunung bolong-bolong, tebing-tebing runtuh, hutan terus terkikis akibat penambangan membabibuta itu. Bagaimana jika itu berlangsung dalam waktu puluhan tahun.

‘’Kearfian lokal warisan nenek moyang itu yang mengetuk kembali masyarakat dan sebagian mulai sadar tentang isu ekologi. Keberadaan saya di Merapi seperti menguatkan kesadaran mereka untuk lebih aktif membangun gerakan penyelamatan alam Merapi,’’katanya.

Kesamaan isu untuk menyelamatkan alam Merapi, menurutnya, justru menjadi alat pemersatu umat lintas agama, itu juga tak lepas dari warisan nenek moyang berupa budaya tulus warga desa yang hidup rukun meski berbeda agama dan keyakinan dalam bahas Jawa ‘’Nyedulur’’.

‘’Mereka semua merasa dipersatukan oleh keberadaannya di Lereng Merapi yang subur tanahnya, melimpah airnya, sejuk udaranya, indah pemandangannya, juga oleh kemungkinan bahaya aktivitas alam Gunung Merapi,’’katanya.

Gunung Merapi, menurutnya, bukan hanya simbol, tapi ekspresi budaya yang mendalam, manusiawi, bahkan religius. Semangat Romo Kirjito membangun jeringan-jaring desa kemudian menggerakkan masyarakat berproses bersama melestarikan lingkungan dan konservasi mata air, menjadi salah satu indikator tim penilaian Maarif Award.

Konsep desa seperti apa yang digagas olehnya, kata Romo Kirjito, dari hasil refrefleksi bersama masyarakat, desa diartikan kultural, bukan hanya teritorial pemerintahan.

‘’Kami menyimbolkan desa sebagai ibu, yaitu ibu yang melahirkan kota. Karena sebelum ada kota, desa lebih dulu ada. Ibu yang bekerja keras menyediakan pangan dan air untuk semua,’’katanya.

Dengan sebutan ibu itu dia berharap anak-anak dan generasi muda desa merasa bangga dengan desanya. Dan orang-orang kota juga bisa menghargai bahkan menimba kearifan lokal masyarakat desa.

Apakah itu berhasil? Menurunya, bisa dilihat sendiri, masyarakat mulai bangkit dan bangga akan desanya. Kemudian orang-orang kota mulai belajar kepada warga desa, melalui program live ini.

Dalam beberapa tahun terakhir saat liburan sekolah banyak siswa dari berbagai kota datang ke lereng Merapi, tinggal di rumah-rumah warga. Mereka ikut bertani, belajar kearifan lokal dan kesenian setempat.

‘’Dari program ini masyarakat mulai sadar ternyata tidak hanya menambang dan bertani saja yang bisa menghasilkan uang. Menjaga kearifan lokal ternyata juga bisa mendatangkan sumber pendapatan,’’katanya.

Keasrian desa, air melimpah, udara dingin dan kelestarian lingkungan di Lereng Merapi terus dipertahankan, bukan dirusak untuk kepentingan sesaat yang tak memikirkan nasib anak cucu mendatang.

Dia bersama tokoh masyarakat dan tokoh pemuda, mengawal misi itu dengan membuat Peraturan Desa (Perdes) tentang Konservasi Lingkungan dan Air di Desa Ngargomulyo, Kecamatan Dukun. Karena itu penghargaan yang diperoleh menurutya, bukan untuk dirinya sendiri tapi seluruh masyarakat Lereng Merapi.

Saat menerima penghargaan itu di Jakarta beberapa waktu lalu, dia mengajak Kepala Desa Ngargomulyo Yatin (45) dan seorang petani muda Gimin (35).

‘’Karena masyarakat lereng Merapi dan kedua orang itu gerakan cinta air dan lingkungan ini menjadi inspirasi. Semoga saja ini akan menjadi pembelajaran masyarakat secara luas,’’katanya.

3 komentar:

  1. Elis Jameela:
    Selamat Buat ROMO KIR..... ! Smg jadi Panutan generasi YAD....@ P Mualim S... Maturnuwun !

    BalasHapus
  2. Donny Eggers:
    Slamat b/ romo Kirjito, tetap berkarya dan berkarya untuk kebaikan bumi. @ P.Mualim Trim, smoga tetap eksis

    BalasHapus
 
  • 1st
  • 2nd
  • 3rd
  • 4th
  • 5th

Home | Mobile Version | Seni dan Budaya | Manusia Kreatif | Acara dan Berita | Festival 5 Gunung | Networking | Wisata
(c) 2013-2016 Modus Getar | Powered by Day Milovich