Pak Purwo, POTRET PKL ALUN-ALUN MAGELANG.

Borobudur Links | April 25, 2010 | 20.47 wib | Label: creative people


Borobudurlinks, 25 April 2010. Hari Ulang Tahun (HUT) Kota Magelang, selain bermakna hiburan bagi masyarakat luas, juga bermakna ekonomi bagi sebagian kecil warga. Di dalamnya termasuk Pak Purwo, lengkapnya Purwo Wiyanto (65), pedagang kaki lima (PKL) yang saat perhelatan itu berdagang rokok, gorengan, minuman ringan, dan es sirup.
Sehari-hari Pak Purwo membuka warung PKL-nya di pinggir jalan dekat rumahnya di Kiringan, Magelang Selatan. Tapi khusus saat HUT Kota Magelang ini, ia dibantu istrinya membuka warungnya di sekitar alun-alun. “Lumayan mas. Kalau sehari-hari hanya dapat 50 ribu rupiah. Saat rame-rame seperti ini bisa bawa pulang 350 ribu rupiah, “ ujar kakek berperawakan kekar itu sembari tertawa lebar.
Selain di alun-alun, Pak Purwo juga membuka lapaknya setiap ada keramaian di tempat lain, baik itu di sekitar kota mau pun di kabupaten Magelang. Misalnya ada pertunjukan wayang kulit di Dumpoh, dangdutan di Bandongan, hingga pameran pembangunan di Mungkid.
“Kata orang itu namanya jemput bola..he he. Kalau ndak gitu dapur ndak ngebul mas, “ kata kakek yang dikaruniai dua anak dan lima cucu ini. Kalau dua anaknya relative tak bisa mengenyam sekolah tinggi seperti juga dirinya, kini cucunya ada yang kuliah di sebuah akademi keperawatan di Purworejo.
“Bahasa Inggrisnya juga bagus lho. Soalnya mau dikirim ke luar negeri kalau lulus nanti, “ kata Pak Purwo dengan nada bangga. Untuk membantu cucunya itulah di usia tuanya Pak Purwo tetap bersemangat berdagang, kendati harus berjibaku setiap saat.
Bagaimana tidak berjibaku, kalau di usia yang tidak muda lagi ia harus ‘ngalor ngidul’ membawa-bawa dagangannya ke berbagai tempat bermodal gerobak dan sebuah motor bebek tua. Itupun seringkali harus kucing-kucingan dengan petugas Tibum (Ketertiban Umum) setiap kali berdagang.
Contohnya saat HUT kemarin, Pak Purwo dan istrinya harus memindahkan lapaknya sebanyak dua kali. Paginya ia sudah menata dagangannya di areal trotoar alun-alun. Namun kemudian dilarang oleh petugas yang menganggap para PKL sebagai ‘pengganggu lingkungan’.
Mereka kemudian memindahkan dagangannya ke area parkir bioskop Magelang Theatre. Baru kemudian memindahkan kembali ke tengah area alun-alun, tepatnya di sekitar plaza beringin, setelah upacara HUT dimulai. Kali ini petugas tidak mengusik mereka. Apakah karena jumlah PKL yang cukup banyak, atau memang ada kebijakan khusus.
“Kalau tidak begini kami tidak kebagian rejeki tahunan ini, “ kata Bu Purwo sembari melayani pembeli yang menyerbu warungnya. Pernyataan bu Purwo itu diamini oleh rekan-rekan pedagang lain yang ada di sekitar mereka.
Persoalan PKL di sekitar alun-alun Magelang adalah persoalan laten, seperti halnya terjadi pada ‘public area’ lainnya. Pada umumnya keberadaan PKL ini dianggap mengganggu lingkungan. Karena memang kenyataannya lingkungan sekitar alun-alun nampak kumuh oleh banyaknya PKL ini.
Namun harus diakui, PKL yang merupakan ujung tombak UKM (Usaha Kecil Menengah), adalah pelaku ekonomi yang tahan banting. Terbukti ketika krisis ekonomi menghantam Indonesia, ketika ekonomi konglomerasi bertumbangan, PKL dan UKM lah yang mampu bertahan. Bahkan dari PKL dan UKM, yang menjadi tempat bergantung jutaan rakyat kecil, itulah ekonomi Indonesia terselamatkan.
Dilematis, memang. Namun tidak berarti tidak ada jalan keluar sama sekali. Pemkot Magelang harus arif dan cerdas menghadapi persoalan ini. Yang palking mudah, mungkin pemkot bisa belajar dari pemerintah daerah lain. Dari pemkot Solo, misalnya, yang berhasil mengatasi persoalan PKL ini dengan menciptakan cluster-cluster ekonomi baru. Yang mampu menampung PKL sekaligus mengembangkan ekonomi lingkungan.
Masalahnya, apakah Pemkot Magelang mau belajar ? Lha wong mengatasi masalah Pasar Rejowinangun yang sudah tiga tahun ini terkatung-katung hingga kini tak mampu. Nah lho ? (Mualim M Sukethi/bolinks@2010).

5 komentar:

  1. SusanaFahry:
    Tulisan sederhana tapi menarik. Mestinya mmg PKL Mgl itu diperhatikan, tidak dibiarkan.Beda lho diperhatikan dan dibiarkan. Diperhatikan mungkin dibina dan diberi tempat yg layak. Dibiarkan...ya dibiarkan merajalela, hidup silakan mati pun siapa peduli?

    BalasHapus
  2. Sutan O'hare:
    Alun-alun Mgl mmg tergolong yg paling kumuh di Indonesia. Dan PKL mmg merajalela, apalagi sejak Pasar Rejowinangun terbakar dan tdk jelas kpn mau dibangun. Pemkotnya tdk bertanggungjawab.

    BalasHapus
  3. Andry Svensko:
    Alun2nya pasangin wifi dunk. kaya' alun2 di kota lain. Temanggung aja udah. Mosok Mgl ketinggalan.

    BalasHapus
  4. Juliana S:
    Mestinya PKL kuliner bisa dikluster. Mungkin bisa manfaatkan jalan2 yg kurang hidup. Seperti jalan di dpn gedung Kyai Sepanjang itu, kan bisa dikumpulin di situ tapi yg tertib dan rapi. Mereka boleh dagang malam hari, dan paginya hrs bisa menjamin rapi kembali.

    BalasHapus
  5. Marhen Mgl:
    Hidup Pak Purwo ! Hidup PKL ! Rakyat bersatu tak bisa dikalahkan !!

    BalasHapus
 
  • 1st
  • 2nd
  • 3rd
  • 4th
  • 5th

Home | Mobile Version | Seni dan Budaya | Manusia Kreatif | Acara dan Berita | Festival 5 Gunung | Networking | Wisata
(c) 2013-2016 Modus Getar | Powered by Day Milovich