TOUR de MAGELANG (03): Suzanna & Live-in di Merapi.

Borobudur Links | November 08, 2009 | 21.57 wib | Label: Tourism


Catatan: Mualim M Sukethi.
Borobudurlinks, 8-11-09.

MAKAM SUZANNA.

Menjelang siang kami berangkat menuju Merapi. Sebelumnya kami putuskan untuk ziarah ke makam orangtua kami di Giriloyo. Selesai membersihkan makam dan berdoa secukupnya, kami sempatkan mampir ke makam Suzanna -- bintang film legendaris kelahiran Magelang, yang makamnya juga ada di kompleks penguburan ini. Ide untuk mengunjungi makam Suzanna muncul spontan dari eyang mertua. Rupa-rupanya ia mengidolakan bintang yang semasa jayanya banyak membintangi film-film genre horor-seks ini.
Keberadaan makam Suzanna yang dikuburkan bersama anak laki-lakinya (Arie) dan kakak perempuannya, ternyata sederhana dan biasa saja. Tidak terlihat mewah atau seram seperti terkesan dalam pemberitaan infotainment. Itulah tipuan kamera dan pembesaran yang dilakukan media. Barang biasa menjadi luar biasa.
Rasa penasaran itu rupanya tidak hanya menghinggapi kami sekeluarga. Saat bersamaan ada sepasang suami istri dengan dua anaknya yang juga sedang mengunjungi makam itu. Mereka mengaku warga Semarang, dan sengaja mampir ke makam Suzanna karena tertarik oleh pemberitaan media massa. Mereka ingin membuktikan dan melihat dengan mata kepala sendiri gosip seputar makam ini.
Kami sendiri tidak tertarik untuk mempersoalkan kebenaran gosip yang hingga kini gencar ditayangkan media infotainment tanah air. Tapi satu hal yang pasti, dalam benak saya, muncul suatu ide bahwa 'fenomena' Suzanna ini bisa dikemas sedemikian rupa menjadi aset wisata 'spiritual' kota Magelang. Sebab selain kami, dan keluarga dari Semarang itu, pasti banyak warga lain, baik dari Magelang mau pun dari kota-kota lain yang penasaran dan tertarik mengunjungi makam bintang seksi ini. Info ini saya peroleh dari para pembersih makam yang hari itu berkeliaran di seputar Giriloyo.
Kami mesti buru-buru meninggalkan Giriloyo karena tiba-tiba langit gelap disertai angin kencang yang mengguncang pohon-pohon besar di sekitar makam. Benar juga, ketika mobil kami meninggalkan makam, hujan deras menyertai kami menuju Merapi. Firasat apa pula ini ?


LIVE IN DI MERAPI.

Dari Giriloyo kami menuju Merapi melewati jalur alternatif Mertoyudan-Tampir-Sawangan-Talun. Sebelum sampai di Mertoyudan, hujan deras yang tadi mengiringi berhenti total. Tapi mendung masih menggayut. Jalur alternatif ini relatif sepi. Pemandangan khas pedesaan, menjadi santapan mata sepanjang jalan. Sawah, kebun, sungai, lanskap pegunungan, tersaji dengan segala keindahannya.

Yang kembali harus saya puji adalah kondisi jalanan yang mulus, kendati tak terlalu lebar. Mobil kami bisa bergerak dengan lincah. Padahal jumlah penumpangnya nambah, menjadi 7 orang dewasa, dan dua anak-anak. Ipar saya dan anaknya yang masih remaja, siang itu ikut menemani wisata desa ini. GrandLivina yang katanya kurang gesit menempuh jalan tanjakan, ternyata tidak berlaku siang itu.Kami menggunakan gigi persneling 2-3 untuk menaklukan medan naik-turun itu. Hanya sekali-kali kami oper ke gigi 1 ketika mendadak berpapasan dengan kendaraan lain, pas di tikungan dan tanjakan, yang mengharuskan kami memperlambat laju mobil.
Tadinya kami berniat ke Ketep Pass siang itu juga. Tapi melihat mendung menggayut, ipar saya menganjurkan untuk langsung ke rumahnya di desa. Dalam cuaca semacam ini, Merapi dan Merbabu tak akan terlihat. Besok pagi saja, katanya. Setelah menikung sebelum pasar Talun, kami belok kiri menuju ke atas. Tak lama kemudian sampailah kami di dusun Gondang, desa Paten, kecamatan Dukun, kabupaten Magelang. Di dusun yang berada di bawah pos pengamatan (Merapi) Babadan, ini tinggal Biyung-- nama panggilan ibu ipar saya. Di rumah nenek inilah kami menginap malam ini.
Rumah Biyung tergolong besar untuk ukuran rumah desa. Maklum almarhum suaminya adalah mantan pejabat desa. Di rumah sebesar ini ia tinggal sendirian. Untuk mengurusi kebutuhan rumahnya, serta kebun dan sawahnya, ia dibantu seorang lelaki yang agak cacat mental. Lelaki yang sejak kecil ikut keluarga Biyung itu tinggal di rumah kecil di belakang rumah utama. Anak satu-satunya tinggal di Magelang bersama suami dan anak-anaknyanya, di rumah keluargaku.
Biyung menyambut kami dengan senyuman khasnya. Nenek yang sudah berusia lebih 70 tahun itu masih nampak sehat. Kami langsung berkumpul di dapur, duduk di 2 amben bambu dekat perapian. Seperti itulah suasana rumah desa. Dapur sekaligus berfungsi menjadi ruang keluarga (living room). Mungkin di daerah pegunungan semacam Gondang Merapi yang relatif dingin, dapur lebih menyajikan kehangatan oleh keberadaan tungku besar dengan api dari kayu bakar yang senantiasa mengepul.
Saat itu Biyung sudah menyiapkan seekor ayam yang baru saja dipotong untuk lauk makan siang. Selain itu ada beberapa potong tahu-tempe yang masih dibungkus daun. Melihat hal itu istri dan mertua saya, yang memang berhobi masak, langsung turun tangan. Ipar saya juga langsung ke kebun, memetik cabe dan beberapa sayuran lain: kacang panjang, kobis, kemangi, dll. Siang itu kami makan dengan menu nasi putih mengepul, ayam goreng, tahu goreng, sambal tempe penyet, dan lalapan berbagai sayur segar karena langsung dipetik dari kebun. Oh ya, nasinya juga berasal dari beras hasil panen sendiri. Nikmat...beneran lho.

Selesai makan siang kami istirahat sejenak, sembari ngobrol dengan sanak keluarga lainnya yang bergabung melihat kedatangan kami. Semua nampak polos dan ramah, dan tak lupa meminta agar kami mampir ke masing-masing rumahnya. Keramahan khas masyarakat desa yang sudah jarang kami temui di kota besar semacam Jakarta.
Sementara di halaman yang cukup luas, kami membiarkan anak-anak kami bermain. Halaman rumah di desa yang berada di ketinggian antara 1000-1500 dpl, ini nampak khas. Hampir semua ditumbuhi sejenis rumput yang lembut dan tebal. Tak ada perawatan khusus, tapi rumput ini tumbuh sendiri dengan rapi. Sehingga nyaman untuk bermain-main atau sekedar untuk duduk-duduk menikmati segarnya udara pegunungan.
Anak-anak, terutama Asa anak saya, terlihat gembira bermain dengan sesama anak-anak lainnya. Mereka adalah anak-anak tetangga Biyung yang masih terikat saudara. Mereka bermain bola, memancing di kolam dengan sebatang bambu tanpa kail. Sekedar mengganggu ikan-ikan di kolam yang kurang terawat itu. Kali lain mereka memainkan berbagai alat pertanian yang teronggok di dekat gudang padi. Bahkan tiba-tiba anak saya mengayun-ayunkan sabit atau kampak. Wah...kegembiraan yang harus diwaspadai.
Anak saya juga bersemangat ketika diajak sepupunya memberi makan sapi piaraan Biyung. Hanya ada 3 ekor sapi di kandang yang berada di samping rumah. Sapi itu tergolong jenis Benggala yang ukuran badannya cukup besar. Saat anak saya mau memberikan seonggok rumput kering, kepala sapi yang cukup besar itu nongol ke luar kandang, sembari mengeluarkan lenguhan yang cukup keras. Karena kaget, anak saya langsung menangis tak kurang kerasnya dari lenguhan sapi itu. Kami semua tertawa menyasikan kecengengan anak kecil itu. Kami harus merayunya cukup lama, agar anak itu kembali berani mendekati sang sapi.
Setelah agak teduh, kami membawa rombongan ke kebun dan sawah. Menyusuri jalan desa kami kembali menemui keramahan penduduknya. Semua menyapa dan mempersilakan kami mampir. Sesampainya di kebun, kami berkeliling mengamati beberapa tanaman yang terlihat subur memenuhi kebun milik keluarga Biyung.
Saat itu tanaman cabe keriting mulai terlihat merah. Cabe Bangkok juga menampakkan buahnya yang berukuran agak besar, tapi masih berwarna hijau muda. Tanaman cabe saat itu kurang bagus tumbuhnya, karena tertimpa hujan yang hingga bulan Mei ini masih sering turun, kata beberapa petani yang kami jumpai sedang menyiangi tanaman. Kami menyaksikan banyak tumpukan cabe yang mulai membusuk dibiarkan teronggok di pinggir pematang.
Selain cabe, kami sempat memetik buncis, tomat, dan kacang panjang. Kami juga menerangkan secara panjang lebar kepada ipar kami yang asli Jakarta. Ternyata mereka belum pernah melihat tanaman aslinya, padahal komoditas itu setiap hari mereka temui di Jakarta. Inilah ironi masyarakat modern kota, yang tak pernah tahu atau semakin jauh dari asal-usul kehidupan, termasuk jatidiri mereka.
Setelah puas bermain di kebun, kami menuju sungai kecil yang terletak di belakang rumah Biyung. Sebenarnya tak tepat benar kalau sungai itu di belakang rumah Biyung. Kami harus melewati beberapa rumah dan tebing yang cukup curam menuju sungai itu. Karena terdorong oleh rasa penasaran terhadap kejernihan airnya, kami nekat menuruni tebing itu.
Sesampainya di bawah, benar juga sungai kecil yang langsung mengalir dari sumbernya itu menyajikan air yang sangat jernih dan menyegarkan. Kami tak bisa menahan diri, termasuk eyang mertua, semua nyebur dan bermain di sekitar dua pancuran dan grojogan kecil yang menghiasi sungai itu. Kami juga tak peduli ketika semua menjadi basah kuyub. Setelah puas bermain air kami kembali ke rumah Biyung. Banyak warga desa yang tersenyum geli melihat rombongan yang basah kuyub jendhidhil kedinginan lewat di depan rumah mereka.
Setelah mengeringkan diri dan berganti pakaian, kami semua ngeriung di sekitar tungku perapian. Sisa dingin air sungai ditambah udara yang memang mulai dingin berusaha kami usir lewat tungku yang menyebarkan udara hangat. Sembari menghangatkan diri, istri dan mertuaku menyiapkan makan malam.
Kali ini kami cukup puas menikmati makan malam berupa nasi goreng, dengan lauk goreng ayam sisa tadi siang, tahu tempe, dan keripik belut yang sempat kami bawa dari Magelang. Soal rasa, nasi goreng itu tidak kalah oleh nasi goreng kebanyakan yang dijual di Magelang atau Jakarta. Karena mertua saya terkenal sebagai juru masak, yang tenaganya sering dimanfaatkan untuk memasak pada hajatan besar di Jakarta.
Selesai makan kami kembali berbincang dengan beberapa tamu yang datang berkunjung. Sementara anak-anak kembali bermain di halaman. Saat itu bulan sedang purnama penuh, sehingga tanpa penerangan tambahan suasana nampak terang temaram. Bahkan sosok gunung Merapi dan Merbabu terlihat dalam warna gelap siluet di kejauhan. Selain bermain petak-umpet, anak-anak kami juga diperkenalkan dengan beberapa permainan anak desa, seperti cublak-cublak suweng.
Sekitar jam 21.00 malam kami kembali berkumpul di dapur. Malam itu kami memutuskan tidur di amben dapur. Tidak di kamar yang sudah disediakan. Agar kehangatan tungku masih bisa kami rasakan, sedikit membantu mengatasi rasa dingin yang mulai menusuk tulang. Kasur-kasur kami pindahkan, kami tata di dua amben yang ada. Benar juga, rasa dingin itu tidak begitu terasa. Mungkin karena hawa hangat dari tungku, tapi mungkin juga kehangatan itu muncul dari posisi tidur kami yang agak berdesakan.
Esok harinya kami terbangun oleh hawa dingin yang menyergap tiba-tiba. Selain hawa dingin yang meningkat di pagi hari, kehangatan dari tungku juga sudah terkikis karena bakaran kayunya sudah lama mati. Kebetulan waktu salat Subuh juga sudah tiba. Biyung sudah bangun duluan, bahkan sudah selesai menunaikan salat subuh.
Setelah salat berjamaah di mesjid desa, kami berjalan-jalan menuju hutan dan 'mbulak' yang lebih tinggi dari dusun. Pagi itu langit terlihat bersih, sehingga di kejauhan gunung Sumbing, Sindoro, dan Menoreh terlihat jelas. Namun karena sekedar di jalanan desa, posisi menikmati pemandangan itu terasa kurang sempurna. Terhalang oleh pepohonan yang tumbuh di tepi jalan desa.
Setelah mandi dan sarapan pagi sederhana, indomi goreng plus telor dadar, kami berpamitan dengan Biyung dan keluarga lainnya. Ada rasa berat menggelayut berpisah dengan nenek ramah itu. Sikapnya yang hangat dan tulus membekas di hati kami. "Biyung, kami tidak akan melupakanmu", minimal itulah janjiku dalam hati. Sebagai pimpinan rombongan hatiku merasa puas, karena mampu memberikan hiburan keluarga yang berarti. Sederhana, murah, meriah...tapi berisi dan dan tentu bergizi dalam arti rohani.
Kehidupan di antara suasana desa ini juga memberi inspirasi bagiku, untuk suatu ketika bisa mengembangkan wisata desa (live in) semacam ini. Di Magelang, desa wisata setahuku belum dikembangkan oleh pemangku kepentingan pariwisata, kendati potensinya sangat luar biasa. Alamnya indah, kehidupan budayanya kaya, beragam komoditas pertanian tumbuh subur, dan penduduknya relatif ramah dan terbuka (open mind). Apalagi... ?
Sayang pemda belum melihat potensi ini. Di propinsi sebelah, Yogyakarta, yang kesadaran wisatanya cukup tinggi, cukup banyak desa yang dikembangkan menjadi desa wisata. Dan terbukti mampu menarik wisatawan serta meningkatkan pendapatan masyarakat desa.

KETEP PASS.

Jam 07.30 kami meninggalkan dusun Paten, langsung menuju Ketep Pass. Karena jaraknya tak begitu jauh, tidak sampai setengah jam kami sampai di lokasi wisata itu. Hari itu kami menjadi pengunjung pertama, hal itu terlihat dari kosongnya area parkir. Bahkan ketika mobil kami memasuki area parkir petugasnya belum siap. Setelah semua penumpang turun baru petugas parkir mendatangi dan menarik retribusi.
Pagi itu langit betul-betul bersih. Suasana segar, kendati udara tipis karena posisi tempat itu yang berada di ketinggian, tak menyurutkan kami untuk sepuasnya menghirup udara segar ini. Sajian utama lokasi wisata ini, yakni deretan gunung gemunung yang mengitari lembah Magelang tersaji dengan sempurna.

Gunung Merapi dan Merbabu yang paling dekat posisinya dengan tempat kami mengamati, terlihat utuh. Detailnya, seperti gerumbul hutan, aliran lahar, hingga lautan pasir di tebing-tebingnya, bisa kami saksikan tanpa halangan suatu apa pun. Sementara agak jauh di belakang Merbabu, tegak Gunung Telomoyo dalam warna hijau kebiruan.
Untuk memperjelas pengamatan kami menyewa teropong yang banyak disewakan penduduk setempat. Dengan alat bantu itu kami bisa melihat kedua gunung itu lebih detail lagi. Bahkan, dusun Paten di mana kami semalam bermalam, terlihat jelas di kejauhan lembah. Kami kemudian bergerak menuju tempat yang lebih tinggi, yang disebut puncak Panca Arga (lima gunung).
Kami harus melewati deretan tangga yang dibuat mengitari komplek wisata itu. Pemandangan sepanjang tangga demikian indah, karena tak terhalang apa pun hingga ke lembah-lembah. Di bawah tangga deretan warung terlihat cukup rapi. Tapi baru satu-dua warung yang menyediakan berbagai makanan ringan itu yang sudah membuka diri.
Sampai di puncak Panca Arga, pemandangan yang menakjubkan menyambut kami. Kalau di sebelah timur berdiri kokoh Merapi, Merbabu, dan Telomoyo. Di sebelah barat tampak Gunung Sumbing, Sindoro, dan Perahu membentuk formasi saling membelakangi yang nampak serasi. Sementara di sisi yang agak ke selatan pegunungan Menoreh terlihat memanjang hingga ke batas Yogyakarta. Di antara gunung-gunung itu sederetan awan tampak menghiasi, menambah keindahan lukisan alam itu.
Karena kondisi cuaca yang bersih juga menolong kami untuk menikmati lembah yang mengalun di bawah Gunung Sumbing dan Menoreh. Di lembah itu terlihat kota Magelang. Rumah-rumah atau gedung-gedungnya terlihat putih seperti kotak-kotak sabun mengitari gerumbul hitam kebiruan yang ternyata Gunung Tidar. Luar biasa.
Pemandangan ini sangat menakjubkkan. Salah satu yang terindah dari beberapa tempat yang saya jumpai dalam pengalaman perjalanan saya menjelajah seluruh pelosok tanah air. Mungkin setara dengan sensasi yang saya rasakan ketika berada di puncak Bromo, atau Dieng. Dalam hati saya mengucapkan terimakasih karena diberi kesempatan menikmati anugerah Illahi ini. Allahuakbar.
Sekitar satu jam kami diberi kesempatan menikmati segala keindahan itu. Setelah itu gerombolan awan mulai berdatangan menghalangi pemandangan menakjubkan itu. Kami memutuskan turun dan memasuki Museum Merapi. Di wahana ilmu pengetahuan ini kami memperoleh informasi lewat foto-foto, narasi (teks), dan contoh batuan, yang terbentuk sepanjang sejarah Merapi. Kami juga melihat deretan foto-foto koleksi yang memperlihatkan para pemimpin republik ini yang memiliki perhatian terhadap keberadaan Merapi. Soekarno, Hatta,Sultan HB IX, terlihat akrab bercengkerama dengan penduduk desa yang sederhana.
Tapi yang aneh tak nampak pemimpin atau elit politik masa kini. Bahkan Soeharto, yang notabene berasal dari Yogyakarta, hanya satu wajahnya menghiasi deretan foto itu. Sosok presiden RI ke 2 itu nampak dalam seragam kolonel ketika mengawal para pemimpin yang saat itu berkunjung ke lereng Merapi.
Kami tak sempat menikmati Teater Volcano, bioskop yang memutar film tentang Merapi. Karena masih punya agenda untuk membawa rombongan ke Yogya. Setelah berputar sebentar menikmati beberapa kebun strawberry yang banyak bermunculan di sekitar Ketep Pass, kami meluncur turun menuju Yogyakarta. (BERSAMBUNG/bolinks@2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
  • 1st
  • 2nd
  • 3rd
  • 4th
  • 5th

Home | Mobile Version | Seni dan Budaya | Manusia Kreatif | Acara dan Berita | Festival 5 Gunung | Networking | Wisata
(c) 2013-2016 Modus Getar | Powered by Day Milovich