TOUR de MAGELANG (04): Jogya & Jalur Limpung.

Borobudur Links | November 08, 2009 | 21.44 wib | Label: Tourism


Catatan: Mualim M Sukethi.
Borobudurlinks, 8/11-09.

YOGYAKARTA.

Dari Merapi kami langsung ke Yogyakarta. Sampai di ujung jalan Pasar Kembang seluruh rombongan saya turunkan. Mereka saya persilakan menikmati Malioboro dan Pasar Beringharjo sepuasnya. Saya berjanji akan menjemput mereka sekitar jam 14.00-15.00. Saya sendiri sudah bosan dengan suasana Malioboro.
Tidak banyak yang bisa saya ceritakan tentang Yogya saat itu. Hari ini saya benar-benar memfungsikan diri sebagai sopir keluarga. Untuk menghabiskan waktu, saya mampir ke rumah teman. Seorang pembuat film muda yang pernah menjadi binaan saya, atau lebih tepatnya beberapa kali menimba ilmu dengan mengikuti produksi yang saya lakukan. Sekarang keberadaan Kisno Ardi, nama anak muda itu, cukup eksis karena memenangkan beberapa penghargaan film documenter.
Di rumahnya, saya sempat menonton serta mendiskusikan beberapa karyanya mutakhir, antara lain documenter tentang rehabilitasi Aceh dan pemberdayaan masyarakat Papua yang dilakukan sebuah LSM asing. Dengan istrinya, yang sedang menyelesaikan studi S2 Anthropologi UGM, saya mendiskusikan beberapa aspek pendidikan anak-anak yang sedang dikembangkannya.
Menjelang jam 15.00 saya pamit dan langsung meluncur ke Beringharjo. Setelah sampai di area parkir saya langsung mencari warung makan. Saya menjatuhkan pilihan pada sebuah warung di pojok parkiran. Saya merasa masakan warung ini pasti enak, terlihat dari jumlah pembeli yang cukup banyak. Ternyata dugaan saya tidak salah. Kendati sederhana, sekedar nasi rames yang dilengkapi usus goreng dan telur pindang, saya menikmatinya sajian itu dengan lahap.
Selesai makan saya lihat seluruh anggota rombongan sudah siap di samping mobil. Masing-masing menenteng belanjaan berupa pakaian atau batik yang cukup murah harganya. Ada juga mainan anak-anak tradisional seperti kuda lumping dan angklung kecil.
Sebetulnya saya kepengin membawa mereka ke Parangtritis, menikmati matahari terbenam. Tapi istri saya menolak, dengan alasan seluruh rombongan sudah capek setelah setengah harian berjalan ngubek-ubek pusat belanja Yogyakarta itu. Dari Beringharjo kami mampir di Pathuk, pusat oleh-oleh yang terletak di sebelah timur Malioboro. Setelah membeli beberapa bungkus bakpia dan geplak kami langsung meluncur ke Magelang.

TONGSENG NDAS & GUDEG RUKUN.

Malam harinya kami makan di warung Sate dan Tongseng “Pak Min”, yang menempati emperan shooping centre. Saya juga mengajak keluarga adik Magelang. Malam itu kami memesan 5 porsi tongseng ndas (kepala kambing) dan 30 tusuk sate. Cukup untuk 9 orang dewasa. Sementara untuk anak-anak kami belikan bakso dari warung tenda sebelah.
Warung Pak Min ini sudah ada di shooping centre sejak pusat pertokoan ini masih menjadi lokasi terminal bus. Dengan gerobak yang sama, Pak Min cikal bakal warung, melayani pembelinya di emplacement terminal. Saya mengenal Pak Min mulai dari awal tahun 70-an. Sekarang sudah berganti generasi. Pak Min sudah almarhum, dan yang menggantikan adalah anaknya perempuan, dibantu seorang remaja pria.
Yang istimewa dari masakan warung ini adalah tongsengnya yang berbahan dasar ndas kambing. Di Magelang warung inilah satu-satunya yang menyajikan menu ndas kambing. Bagian kepala kambing seperti lidah, kuping (tulang muda), cingur (daging sekitar mulut), otak, hingga mata kambing, diolah dengan bumbu oseng-oseng dicampur kuah gule. Rasa gurih rempah-rempah dicampur dengan kelembutan kuah gule berbahan santan, menjadikan bagian kepala yang kita gigit berasa kenyal-kenyal nikmat. Citarasa yang tiada duanya itulah yang terasa ngangeni, dan menjadi santapan wajib setiap pulang kampung ke Magelang.
Pagi harinya, Selasa tgl. 12 Mei 2009, kami membuka hari dengan sarapan gudeg toko Rukun. Sebenarnya di dekat rumah kami ada dua warung gudeg yang sama terkenalnya. Selain gudeg toko Rukun ada lagi yang tak kalah lezatnya adalah gudeg mbak Heti. Tapi pagi itu kami memilih gudeg Rukun atas rekomendasi adik saya. Katanya sekarang enak gudeg Rukun. Saya tidak menanyakan alasannya apa.
Menurut saya, gudeg Rukun kuahnya lebih cair dan terasa lebih gurih. Sementara masakan mbak Heti lebih kental, terutama arehnya, dan lebih manis. Kuahnya juga lebih kering, tapi tak sekering gudeg Tugu Yogya. Saya sendiri lebih suka masakan mbak Heti, karena bumbu opornya lebih meresap pada daging ayam mau pun telor pindangnya.
Sisa pagi hari itu dimanfaatkan oleh istri dan mertua untuk belanja oleh-oleh khas Magelang di pasar penampungan sementara yang ada di belakang rumah keluarga saya. Oh ya… pasar ini disebut pasar sementara, karena pasar besar Rejowinangun tahun lalu terbakar habis. Menunggu pembangunan kembali para pedagang itu ditempatkan di pasar sementara ini.
Banyak juga oleh-oleh yang mereka beli. Ada slondhok, pothel, rambak, emping mlinjo, tempe keripik, dan tak lupa ikan wader goreng kering kesukaan saya. Sorenya bahkan ditambah dengan gethuk Trio dan wajik Nyonya Week, oleh-oleh khas Magelang yang legendaries.
Ikan wader adalah ikan kecil-kecil segede kelingking. Kami membeli dalam kondisi setengah matang, sekedar digoreng agar tidak membusuk dalam tempo cepat. Sampai di Jakarta kami goreng lagi, dengan dibumbui bawang garam secukupnya. Rasanya gurih, renyah, dan bergizi tinggi. Di Bogor atau Bandung ikan ini disebut ikan Balita, kendati tidak sama persis karena ikan Balita adalah ikan mas atau nila yang dipanen ketika masih berukuran kecil, dan berusia 20-25 hr. Di Bogor ada 2 resto yang popular dengan menu istimewa ini, De Leuyt dan Karuhun.

BOROBUDUR.

Siang harinya kami memutuskan ke candi Borobudur. Kunjungan ini merupakan pengganti kunjungan kami yang gagal kemarin. Saya kembali hanya bertindak sebagai sopir. Saya drop mereka di pelataran parkir, dengan janji kalau mereka sudah puas menikmati candi itu, mereka tinggal telepon dan saya akan siap kembali di tempat itu. Kali ini saya menghabiskan waktu dengan mengunjungi Sutanto Mendut, seorang aktivis kebudayaan yang tinggal tak jauh dari candi Mendut.

Dalam dinamika kebudayaan nasional, posisi Sutanto Mendut terbilang penting. Sesungguhnya latar belakangnya adalah musisi atau komponis. Setelah memenangkan penghargaan komposisi music di dalam dan luar negeri, Tanto beserta keluarganya menetap di jalan raya Mendut, Mungkid, Kabupaten Magelang. Sekitar 200 m dari candi yang terkenal itu.
Selanjutnya ia membuka studio seni dan galeri yang dikenal sebagai Studio Mendut. Sasana seni ini dikelola bersama istrinya Mami Kato – seorang warga Negara Jepang. Sejak saat itulah, Sutanto mentahbiskan dirinya menjadi aktivis kebudayaan. Ia menyelenggarakan berbagai pertunjukan seni di studionya itu. Beragam kesenian ditampilkan, yang berkelas local, nasional, mau pun internasional. Berbagai seniman dari segala penjuru dunia berdatangan. Pendek kata, Studio Mendut menjadi salah satu ikon kesenian penting di Indonesia.
Tanto juga menjadi motor bangkitnya kesenian rakyat di sekitar Magelang, yang sekarang ini berkembang gegap gempita. Sebelum Tanto berkiprah, kesenian itu relative mati suri. Dengan kerja keras dan kreativitasnya sebagai aktivis, Tanto berhasil menghidupkan kembali (revitalisasi) kesenian rakyat di sekitar Magelang, dan mendudukannya sejajar dengan kesenian kontemporer yang kini berkembang di Indonesia. “Festival 5 Gunung” adalah salah satu buah kerja keras Tanto Mendut.
Dengan “Begawan” ini saya berdiskusi ngalor ngidul tentang berbagai isu terkini. Tentang pileg dan pilpres, tentang Akademi Kesenian Magelang yang akan dideklarasikan tgl 20 Mei ini, tentang penyakit masa tua, dan tentang ide untuk membuat Koran-online di Magelang. Salah satu hasilnya…ya tulisan ini, yang saya tulis karena dorongan semangat yang tumbuh dari diskusi itu. Di tengah asyiknya berdiskusi, istri saya menelpon agar dijemput. Saya langsung cabut meninggalkan teman yang dulu menjadi mentor kesenian saya itu.
Kami bergerak meninggalkan candi tepat jam 16.00. Kami sempatkan mampir di warung Kupat Tahu Dompleng, yang terletak di jalan raya Mertoyudan, tak jauh dari pabrik karoseri New Armada. Warung ini adalah warung kupat tahu yang terkenal, selain Warung Pojok, dan warung Pak Pangat.
Saya pribadi lebih menyukai masakan warung ini, karena sayur dan tahunya terasa lebih segar dibanding kedua warung lainnya itu. Selain porsinya juga lebih banyak, sementara harganya justru lebih murah. Saat itu satu porsi dihargai 5000 rupiah. Sementara di Warung Pojok dan Pak Pangat berharga 6000-7000 rupiah/porsi.

JALUR LIMPUNG.

Keesokannya, setelah sarapan seadanya, tepat jam 07.00 pagi, kami meninggalkan Magelang menuju Jakarta. Kami kembali mengambil jalur Parakan-Sukorejo-Weleri. Sesampainya di Sukorejo kami berhenti, karena melihat tumpukan pete di pinggir jalan. Istri saya yang doyan pete langsung turun menawar. Harganya cukup murah. Istri saya membeli beberapa ikat, menambah muatan mobil yang sebetulnya sudah cukup penuh.

Keluar dari Sukorejo mobil saya arahkan ke kiri mengambil jalur Limpung, karena teringat tulisan ini juga ada di suatu pertigaan di sekitar Batang. Saya berinisiatif mengambil jalur itu juga karena didorong rasa penasaran terhadap keberadaan Gunung Perahu yang baru saya ketahui ketika melihat sosoknya dari puncak Ketep Pass. Sejak sebelum memasuki Sukorejo sosok gunung ini sudah mengiringi perjalanan kami, menjadi lanskap keindahan di sepanjang kiri jalan.
Benar juga, jalan yang kami lalui walaupun sempit cukup mulus. Medannya yang berkelak-kelok naik turun, menyebabkan laju mobil tak bisa berlari kencang. Waktu yang tersita lebih banyak terbayar oleh keindahan yang tersaji sepanjang jalan. Sawah, kebun, hutan, rumah desa, sungai, dan di kejauhan punggung gunung Perahu, memanjakan mata kami. Sebelum memasuki kepadatan kota sepanjang Pantura yang seringkali membuat mata capek, karena dipenuhi ruko atau bangunan ekonomi lainnya.
Setelah itu perjalanan berlangsung biasa saja, tak ada yang istimewa sepanjang pantura. Jalanan rusak atau kemacetan akibat rusaknya jalan itu, jalanan melambat karena dominasi truk-truk besar, adalah cerita yang tak pernah berubah tentang pantura.
Kami memutuskan istirahat makan siang di restoran Kalijaga II, yang terletak di Losari. Kami pilih restoran itu karena tertulis menyediakan sarana lesehan untuk memberi kesempatan bagi rombongan sekedar istirahat. Bisa melonjorkan kaki, setelah dipaksa tertekuk lebih 5 jam. Anak-anak juga menyenangi sarana lesehan ini. Mereka bisa bermain sembari disuapi masing-masing ibunya.
Kendati lesehannya tak seindah bayangan, tapi menunya cukup istimewa. Siang itu kami memilih menu seafood: cumi goreng tepung, udang saus padang, bawal bakar, sop sapi, dan kangkung cah polos. Minumnya teh tawar/manis, jus melon, es jeruk, dan kopi pahit panas. Semua sajian kami sikat dengan tandas karena rasanya sesuai standard lidah kami.
Perjalanan selanjutnya relative lebih lancar dibanding ketika berangkat dari Jakarta. Kami juga tak terhambat kondisi kesehatan anak-anak. Sepanjang perjalanan pulang ini mereka tak muntah-muntah lagi. Resepnya ternyata, selain minum 2 sachet antimo anak-anak, juga diberi keleluasaan melihat pemandangan dengan membuka jendela selebarnya. Jadi jendela kaca depan tertutup rapat karena AC menyala, di baris kedua jendela salah satu sisinya terpaksa dibuka. Entah karena menghirup udara atau melihat pemandangan yang menyebabkan mereka tidak muntah-muntah. Dasar….
Sekitar jam 19.00 malam kami sampai di Bintaro. Kami langsung makan malam di restoran Putra Minang langganan kami, dengan pertimbangan rasanya cukup enak dan praktis karena kami memang sudah kepayahan. Jam 20.00 kami sampai di rumah. Argometer menunjukkan angka 1.592 km, itulah panjang perjalanan yang kami tempuh selama 8 hari ini. Melelahkan sekaligus membahagiakan. Alhamdulillah.

Tangerang, 18 Mei 2009 (bolinks@2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
  • 1st
  • 2nd
  • 3rd
  • 4th
  • 5th

Home | Mobile Version | Seni dan Budaya | Manusia Kreatif | Acara dan Berita | Festival 5 Gunung | Networking | Wisata
(c) 2013-2016 Modus Getar | Powered by Day Milovich