TOUR de MAGELANG (02): Waisyak Anti Klimaks.

Borobudur Links | November 08, 2009 | 22.18 wib | Label: Tourism


Catatan: Mualim M Sukethi.
Borobudurlinks, 8/11-09.

WAISYAK ANTI KLIMAKS.
Esok harinya, Sabtu tgl 9 Mei 2009, kami berniat ke candi Mendut-Borobudur untuk menikmati Waisyak. Kami sengaja berangkat agak siang karena sesuai jadwal rangkaian acara baru akan dimulai jam 11.00 WIB. Pagi itu kami sempatkan jalan-jalan di lereng Gunung Tidar yang terletak di belakang rumah kami. Gunung yang lebih tepat disebut bukit karena ukurannya yang relative kecil ini, kini semakin asri dan lebat oleh pepohonan berbagai jenis. Kendati kecil, gunung ini memiliki arti penting bagi khasanah spiritual masyarakat Jawa. Gunung ini dianggap pusar atau pusatnya pulau Jawa.
Setahu saya, di atas gunung ini terdapat beberapa kuburan para pepunden yang masih menarik minat para peziarah. Salah seorang peziarah yang pernah mewarnai sejarah politik tanah air adalah Soewito Kartodirdjo. Tahun 70-an, ia merasa mendapat wahyu menjadi raja Jawa ketika bersemedi di gunung ini. Pulang ke Jakarta Soewito mengumpulkan beberapa tokoh nasional, antara lain Bung Hatta, Buya Hamka, Kardinal Dharmohusodo, dll, menandatangani naskah yang menuntut Soeharto mundur sebagai pimpinan nasional. Upaya ini dianggap makar. Soewito pun ditangkap dan dijebloskan ke penjara.
Pagi itu kami juga sempat sarapan di warung kampung langganan masa kecil saya dulu. Saya menikmati menu bubur gurih, yang terdiri bubur polos dengan topping kuah opor dilengkapi sepotong kecil tahu tempe dan setengah potong telor rebus. Karena merasa belum kenyang, atau berpikir besok tidak ada waktu lagi, saya menambah dengan bubur ketan kincau, yaitu bubur polos dengan campuran ketan dan dihiasi kincau atau kuah gula merah. Nikmat. Sebuah nostalgia rasa yang murah meriah.
Tepat jam 10.00 kami berangkat menuju Mendut. Kami perkirakan perjalanan makan waktu tak lebih 1/2 jam, karena letak candi itu tak terlalu jauh dari rumah keluarga kami. Kami menuju Mendut mengambili jalur barat. Melewati Akmil, SMA Taruna Nusantara, dan perumahan Kalinegoro. Hingga kompleks kantor Pemda Kabupaten Magelang di desa Mungkid semuanya berjalan lancar. Namun setelah lampu merah, belok kanan, kemacetan parah terjadi.
Sumber kemacetan itu terjadi di pertigaan Mendut, tepat di depan Musium Senirupa Widayat. Jalan yang menuju candi Mendut ditutup. Pengunjung disarankan untuk jalan kaki, atau berganti andhong yang nampak leluasa berseliweran mengangkut penumpang. Yang sangat disayangkan, pihak panitia atau polantas tidak mempersiapkan sarana parkir yang memadai. Para pemuda setempat yang melihat melubernya mobil itu memanfaatkan keadaan, dengan membuka sarana parkir di pinggir jalan.
Parkir yang menumpuk hingga memakan dua jalur di kanan kiri jalan hanya menyisakan dua jalur mobil. Ditambah oleh lalu lalang ribuan orang, motor, becak, andhong, dan mobil yang berputar, menyebabkan kemacetan yang sangat parah. Semua kendaraan diarahkan menuju Borobudur. Untuk menempuh jarak sekitar 1 km dibutuhkan waktu lebih dari satu jam.
Di tengah kemacetan itu saya sempat berpapasan dengan Wardah Hafidz, seorang aktivis pemimpin Urban Poor Consortium (UPC), LSM yang giat mengadvokasi rakyat miskin kota. Ia juga terpaksa menumpang becak untuk menembus kemacetan itu. Kami berjanji untuk ketemu di rumah Sutanto Mendut, aktivis kebudayaan setempat, yang tinggal tidak jauh dari candi Mendut.
Selepas dari kemacetan parah itu, saya mengarahkan mobil langsung ke candi Borobudur. Saya kira tidak ada salahnya memberi kesempatan keluarga ipar saya untuk menikmati candi tersesar di dunia ini, karena memang mereka belum pernah menikmatinya. Sesampainya di pelataran parkir candi, saya memutuskan untuk istirahat, tidak ikut masuk dan mendaki candi. Karena saya memang sudah terlalu sering naik turun legenda dunia ini.
Tak lama istirahat di area parkir, saya melihat rombongan kami yang berniat menikmati candi balik lagi. Ternyata hari itu candi ditutup mulai jam 11.00, karena kawasan candi akan disterilkan menjelang kedatangan Presiden SBY nanti malam. Apa boleh buat, kami terpaksa meninggalkan candi dengan rasa kecewa. Terbayang kemacetan yang kami hadapi untuk menuju candi Mendut.
Dari Borobudur, kembali lewat jalur alternatif, menembus Mungkid hingga pertigaan Blondo. Saya berpikir untuk mencoba jalur Blondo ini, nanti akan menerobos jalur alternatif lain di pertigaan di depan pabrik kerta Blabak yang bisa menembus lewat jalan desa hingga Mendut.
Namun keputusan ini ternyata berbuah fatal. Jalur Blondo hingga Palbapang macet total, demikian juga arah sebaliknya. Untuk menempuh jarak antara pertigaan Blondo hingga jembatan kali Elo, sekitar 2 KM, dibutuhkan waktu hampir dua jam. Karena tidak tahan lagi, ditambah perut anggota rombongan mulai keroncongan, kami memutuskan balik kanan. Sesampainya di pertigaan Blondo kembali saya tetap kembali memakai jalur Mungkid-Kalinegoro. Karena saya lihat jalur Mertoyudan juga tak terbebas dari kemacetan.
Di sepanjang jalan ke Magelang saya sempat berpikir, mestinya kemacetan itu tak perlu terjadi kalau panitia dan polantas menyiapkan antisipasinya. Toh banyak jalan atau jalur alternatif yang menghubungkan Magelang-Yogyakarta. Jalur Mertoyudan-Tampir-Blabak-Sawangan-Muntilan bisa dijadikan jalur alternatif bagi lalu lintas yang tidak bertujuan ke Mendut/Borobudur. Beban jalan yang memang sempit antara Mertoyudan-Palbapang akan terkurangi secara signifikan apabila jalur alternatif itu dimanfaatkan.
Atau jalur itu memang sudah waktunya dilebarkan. Tidak usah ada perayaan besar semacam Waisyak, setiap harinya jalur itu memang rawan macet, karena memang jalur wisata dan ekonomi yang penting. Terlalu sempit bagi arus lalu lintas Magelang-Yogyakarta yang semakin hari semakin padat. Gimana Pak Bupati ?
Sesampainya di Magelang, saya memutuskan untuk makan siang (menjelang sore) di warung Senerek bu Atmo yang legendaries. Karena memang sudah agak sore, sekitar jam 15.00, maka masakan senerek yang ada tinggal sisa-sisanya. Rasanya kurang segar, dan bumbu-bumbunya terlalu tajam, kurang pas. Mungkin karena sisa, bumbu yang mengendap jadi terlalu banyak tercampur dalam kuah.
Sore itu kami istirahat di rumah, dengan harapan nanti malam bisa ikut serta di puncak acara (pujabakti) Waisyak. Saya sempatkan tidur sebentar untuk mengembalikan stamina yang tadi sempat terkuras. Namun ternyata setelah bangun sekitar magrib, badan bukannya segar tapi malahan lemas bahkan ada tanda-tanda meriang/panas. Wah gawat nih.
Setelah saya tunggu hingga jam 19.00 kondisi tubuh tidak berangsur membaik, saya putuskan untuk batal ke Borobudur. Akhirnya saya menikmati puncak Waisyak di depan TV saja. Tapi kekecewaan juga muncul dari kotak ajaib ini. Metro TV yang sempat gencar beriklan akan menyiarkan acara waisyak ternyata mengubah acara tanpa pemberitahuan sebelumnya. Mereka justru menyiarkan acara penutupan pertemuan ADB di Bali.
Acara yang menampilkan artis-artis penyanyi/penari papan atas itu memang cukup bagus. Apalagi aransemen Dwiki Dharmawan yang menggabungkan musik popo dengan musik ethnik Nusantara, cukup memikat.Namun semua itu tak mengurangi kekecewaan kami yang gagal menikmati Waisyak. Sungguh hari itu kekecewaan kami berlipat-lipat. Belakangan baru ada pemberitahuan kalau acara sendratari Waisyak baru akan ditayangkan Sabtu, 16 Mei 2009. Sebuah anti-klimaks….sontoloyo.

ALUN-ALUN.

Kekecewaan semalam tidak jadi berlarut-larut. Saya mengingat ajaran Budha, lewat 'jalan tengah' kita harus mampu menimba hikmah positif dari setiap kejadian. Mungkin dengan cara itulah saya diminta mengistirahatkan raga, agar bisa memperpanjang niatan liburan ini hingga tuntas.
Minggu pagi, 10 Mei 2009, saya putuskan untuk jalan-jalan di sekitar alun-alun Magelang. Seluruh rombongan saya bangunkan. Sekitar jam 05.00 pagi kami sudah berada di alun-alun yang merupakan jantung sekaligus landmark kota Magelang itu. Suasana masih sepi, hanya ada kami dan beberapa warga yang melakukan aktivitas olahraga pagi. Ada yang jalan atau berlari pagi, ada juga yang sekedar duduk ngobrol menjemput mentari. Di beberapa sudut terlihat satu-dua orang yang masih tertidur lelap, entah gelandangan atau pengembara.
Kami juga berjalan-jalan mengelilingi ruang terbuka hijau (RTH) yang menjadi area publik terpenting di kota Magelang ini beberapa kali. Karena membawa anak kecil, kami terpikir untuk mengajak mereka bermain-main. Sayang di area sebesar itu tidak tersedia sarana bermain buat anak-anak kecil yang cukup memadai. Memang terlihat beberapa mobil mainan yang bisa dinaiki anak-anak, tapi pagi itu belum dioperasikan.
Mestinya pemda sebagai pemilik dan pengelola alun-alun memikirkan hal ini, untuk memberi dan membangun sarana bermain yang murah meriah, khususnya buat anak-anak. Di tengah-tengah kehidupan masyarakat modern yang semakin individualis saat ini, sarana bermain yang rekreatif-edukatif itu kiranya sangat penting mengisi area publik semacam alun-alun. Atau ketiadaan sarana bermain itu memang sengaja dilakukan, agar warga tergiring untuk mengunjungi Taman Kyai Langgeng yang juga dikelola pemda ? Tentu dengan membayar tiket masuk dan karcis di setiap wahana yang relatif tidak murah untuk warga sekitar Magelang ?
Mengingat masalah RTH, saya seperti diingatkan kembali, bahwa sesungguhnya Magelang sebagai kota modern tergolong miskin RTH. Sangat sedikit RTH yang bisa diakses publik secara bebas di kota berhawa sejuk ini. Saya hanya bisa menghitung, selain alun-alun, RTH yang masih eksis adalah Taman Badaan dan A.Yani, Lap. Basket Cacaban, dan Lap. Bola Abubakrin.
Selebihnya adalah fasilitas milik instansi pemerintah dan militer: Eks. Kompleks Karesidenan, Lap. Rindam, dan Lap Golf Akmil, dll. Hingga sekarang fasilitas itu masih bisa diakses public, tapi ke depan siapa tahu ? Untung kota kecil ini masih memiliki Gunung Tidar, bukit kecil tapi memiliki arting penting dalam konteks kehidupan spiritual masyarakat Jawa, sekaligus berfungsi sebagai paru-paru kota Magelang.
Saya juga menyempatkan diri mengamati kondisi sekitar alun-alun. Beberapa gedung lama di sekitar alun-alun yang merupakan heritage kota Magelang masih terjaga keberadaannya dengan baik. Menara air (watertorn) masih berdiri megah sebagai landmark utama kota Magelang. Menara air tertua dan terbesar di Indonesia itu juga masih berfungsi dengan baik sebagai penampung air ledeng PDAM Magelang.
Patung Dinegoro, kendati usianya belum tua benar, masih berdiri dengan megah menantang langit. Sayang beringin besar yang ada di tengah-tengah alun-alun kelihatan kerdil, mungkin dipangkas, entah apa alasannya. Padahal pohon raksasa yang identik dengan keberadaan alun-alun itu ditanam langsung oleh Ratu Wilhelmina, nenek Ratu Beatrice yang kini berkuasa di negeri Belanda.
Gedung Kapolres yang dulu merupakan gedung Musvia (sekolah calon pamong praja jaman Belanda, mungkin IPDN sekarang) masih berfungsi dengan baik, tentu dengan polesan di beberapa bagian. Mesjid besar masih nampak megah, dan terlihat moncer dengan hiasan di sana-sini.
Di sisi utara alun-aluh Gereja GPIB masih menampakkan keindahannya, meski secara lanskap agak terganggu dengan pusat belanja yang berdiri di sebelahnya. Gereja Katholik, panti Madala, Eks SMA Pendowo, dan eks kantor Kabupaten masih terjaga. Di gereja Katholik itu dulu Romo Zoetmulder dan Romo Mangunwidjaja pernah berkiprah. Saya tidak tahu kondisi bangunan lama yang ada di kompleks Dept. Keuangan, karena tidak sempat memasukinya.
Di sisi timur, eks SMKK dan SMP Tarakanita masih eksis dan semakin asri. Lembaga pendidikan ini sudah eksis sejak jaman penjajahan Belanda. Sayang kantor PLN sudah berubah total, tanpa menyisakan jejak sebagai bangunan kolonial. Eks bioskop Abadi sejak lama berubah jadi pusat belanja Gardena. Tapi sebagai bangunan modern, seperti halnya Magelang Theatre dan Tidar Theatre yang sama-sama menghiasi sisi timur alun-alun, tampak kurang terawat.
Kantor pos masih terlihat berfungsi dengan baik. Tampak luarnya terlihat masih asli. Interiornya tentu sudah disesuaikan dengan fungsi kantor pos masa kini, yang lebih banyak melayani jasa-jasa di luar pengiriman surat konvesional. Perlu saya informasikan, bahwa keluarga Garin Nugroho -- sutradara film kondang, pernah menghuni rumah dinas kantor pos. Karena ibunya pernah memimpin kantor tua ini. Kelenteng di ujung jalan Pemuda juga tampil lebih semarak, terutama sejak reformasi, ketika etnis Tionghoa kembali dibebaskan berekspresi.
Yang nampak berantakan adalah eks bioskop Kresna. Gedungnya nampak luar masih utuh. Tapi halamannya nampak diselimuti tenda plastik besar warna biru. Ternyata di dalam tenda itu difungsikan untuk menampung pedagang kaki lima. Sayang upaya mulia untuk menampung pelaku UKM itu harus mengorbankan keindahan lingkungan. Kalau ditata dengan baik, hal ini juga berlaku bagi tenda2 makanan di jalan sisi bioskop, tentu kehadiran pedagang kecil itu tidak akan mengganggu keindahan lingkungan alun-alun yang merupakan heritage penting kota Magelang ini.
Rasa lapar yang mulai menggerogoti perut kami sekeluarga, memaksa kami untuk mampir di warung soto di depan bekas hotel (Majapahit ?) di sisi timur alun-alun. Seingat saya warung soto ini sempat direkomendasikan oleh anggota grup Magelang Kota Harapan. Namun ternyata rasanya biasa saja, tak seistimewa rekomendasi itu. Entah karena lidah atau selera kami yang berbeda, yang sudah terbiasa menikmati berbagai variasi soto di seluruh nusantara.
Ketika pulang saya sempatkan untuk berjalan kaki menelusuri sungai di atas kota (fly river, istilah yang mengacu pada fly over) di sekitar kampung Kemirikerep. Kondisi sungai kecil ini masih berfungsi dengan baik. Terlihat bersih dan airnya mengalir lancar. Plengkungnya masih nampak kokoh dan terawatt. Sempadan di kiri kanan sungai sudah ditata dengan konblok, sehingga nyaman bagi warga yang berjalan kaki menyusurinya. Sayang, mendekati ujung, banyak bangunan liar permanen yang didirikan mengokupasi sempadan sungai.
Mestinya hal ini bisa ditertibkan, karena sungai ini merupakan heritage penting, satu-satunya sungai di atas kota di Indonesia, sekaligus bukti keandalan bangsa Belanda dalam hal bangunan air. Sayang saya tidak sempat mengamati jalur sungai yang lain, yang membelah kota dari alun-alun ke utara.
(BERSAMBUNG/bolinks@2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
  • 1st
  • 2nd
  • 3rd
  • 4th
  • 5th

Home | Mobile Version | Seni dan Budaya | Manusia Kreatif | Acara dan Berita | Festival 5 Gunung | Networking | Wisata
(c) 2013-2016 Modus Getar | Powered by Day Milovich