Foto Loko/Jam: Mas Jati.
Catatan: Mualim M Sukethi.
Borobudurlinks, 8/11-09.
(Catatan perjalanan ini merupakan upaya penulis untuk memperkenalkan atau mengingatkan kembali segenap potensi wisata di Magelang dan sekitarnya. Catatan ini dibuat ketika penulis dan keluarga mudik antara tgl. 6-13 Mei 2009. Awalnya, disajikan secara bersambung di Grup ‘Magelang Kota Harapan’, dimaksudkan untuk menyemangati anggota grup lain agar menuliskan catatan dalam setiap kegiatannya, yang mungkin bermanfaat bagi orang lain).
Antara tgl. 6-13 Mei 2009 lalu, kami sekeluarga melakukan perjalanan wisata ke kampung halaman, Magelang dan sekitarnya. Keputusan melakukan perjalanan wisata di waktu yang tak lazim (bukan musim liburan), itu didasari oleh keinginan untuk ikutserta dalam perayaan Waisak yang jatuh tgl 9 Mei 2009, serta cuti tahunan yang didapat ipar saya. Ipar saya sekeluarga (istri dan 1 anak) memang asli Jakarta dan belum pernah ke Magelang. Sementara hampir setiap Waisak saya pribadi menyempatkan diri mengikutinya, sekedar recharge secara spiritual...
Kami berangkat dari Bintaro, Jakarta Selatan, tgl. 6 Mei 2009, tepat pukul 09.00 WIB. Mobil GrandLivina 15 XV yang saya kendarai berisi 7 penumpang: saya sbg sopir, istri, anak saya Asa (3,5 th), mertua perempuan, ipar beserta istri dan anaknya (5 th).Dengan segala tetek bengek bawaan, bisa dikatakan MPV mungil ini terisi full.
Sepanjang pantura, dari Cikampek hingga Alas Roban, perjalanan diwarnai oleh kondisi jalan yang rusak. Ada yang sekedar bergelombang, tapi banyak sekali yang sedang dalam kondisi diperbaiki. Perbaikan ini seringkali mengakibatkan kemacetan yang cukup panjang. Hambatan yang lain muncul dari kondisi kesehatan anak dan keponakan saya. Kedua anak kecil itu mabuk sepanjang jalan. Seringkali saya berhenti di pinggir jalan untuk memberi kesegaran pada mereka setelah muntah-muntah. Di tambah istirahat makan siang dan buang air di SPBU, tak kurang 15 kali saya terpaksa menghentikan kendaraan.
Selepas Gringsing saya memutuskan belok melewati jalur Weleri-Sukorejo-Parakan-Temanggung. Jalur naik turun berkelok-kelok ini bisa berubah menjadi jalur maut kalau kita tidak hati-hati. Saya memasuki jalur ini selepas Isya, ketika bus-bus malam memenuhi jalur ini dari arah sebaliknya. Akibatnya beberapa kali mobil saya yang relatif kecil ini hampir bersenggolan dengan mereka. Terutama di beberapa tikungan, mengingat badan bus-bus itu yang cukup besar, panjang, dan memakan badan jalan.
Setelah menyadari kondisi membahayakan itu, dan mengingat saya membawa seluruh keluarga, saya memutuskan untuk lebih berhati-hati. Alhamdulillah, sekitar jam 21.00 saya sampai di Magelang. Sebelum njujuk ke rumah tujuan, kami memutuskan makan malam di warung bakmi perempatan pasar Rejowinangun (pojok shooping). Kami terkesan dengan masakan bakmi godhog yang kami rasakan ketika mudik lebaran tahun lalu. Perjalanan sepanjang 565 KM itu memakan waktu sekitar 12 jam, termasuk berbagai hambatan yang dialami sepanjang perjalanan.
KERETA API, KOPI, DAN AIR TERJUN TAK BEGITU TINGGI.
Keesokan harinya kami bangun agak siangan. Hari itu kami manfaatkan untuk istirahat, terutama bagi saya yang kemarin mengemudi seharian. Oh ya..di Magelang kami bermalam di rumah keluarga, yang kini ditempati adik kandung saya sekeluarga, di kampung Magersari Kodya Magelang (belakang Giant Supermarket).
Di tengah istirahat, saya sempatkan mencuci mobil di bengkel yang juga merupakan kantor Pemadam Kebakaran (brandweer). Sebab selain kotor, kondisi mobil juga diwarnai aroma bekas muntahan. Servis yang diberikan bengkel itu lumayan OK. Taripnya juga murah. Cuci komplit plus vacum Rp 20 rb.
Jumat, 8 Mei 2009, saya putuskan untuk membawa rombongan ke Ambarawa mengunjungi musium Kereta Api (KA). Berangkat dari Magelang sekitar jam 09.00, dalam kondisi cuaca yang cerah. Setelah sempat mampir beli serabi di Pringsurat, kami tiba jam 10.00 di musium itu. Dengan tiket masuk museum yang cukup murah Rp 3 rb per orang, kami dengan leluasa menikmati isi musium.
Gedung musium itu merupakan bekas stasiun KA Ambarawa. Arsitektur kolonial yang eksotik menjadi kekuatan bangunan kuno itu. Selain kondisi bangunan yang masih kokoh dan terawat dengan baik, kami juga menikmati berbagai barang peninggalan yang merupakan sarana perjalanan KA jaman baheula, antara lain: asesoris sinyal KA, telepon engkol, mesin tik dan telegraph kuno, lampu KA berbagai jenis, catatan perjalanan KA, dll. Yang menakjubkan adalah peninggalan berbagai lokomotif dari mulai abad 19, yang digunakan ketika perjalanan KA mulai dirintis di pulau Jawa. Loko-loko berwarna hitam pekat itu teronggok berderet di samping kiri stasiun/musium.
Melihat ‘barang aneh’ di depan mata, anak-anak kami langsung berhamburan dengan bebas bermain di atas loko-loko itu, bergabung dengan anak-anak kecil lainnya. Mereka dengan riang berfoto di antara roda-rodanya, berdiri di bordes, atau di hidung loko yang memiliki ruang terbuka untuk bergaya.
Setelah puas menikmati warisan budaya kolonial itu, kami berniat menikmati perjalanan KA yang ada. Tadinya kami ingin mencoba KA bergerigi yang melayani rute Ambarawa-Pringsurat, yang menjadi primadona museum ini. Tapi tarip KA legendaris itu terlampau mahal bagi kami, Rp 3,25 jt sekali jalan/charter. Hari itu, sebelum kami datang, ada rombongan 2 bus besar wisatawan yang mencarter KA itu.
Kami memutuskan untuk menikmati kereta disel yang melayani rute Ambarawa-Tuntang PP. Kereta yang mirip mainan odong-odong itu hanya melayani atau berangkat apabila penumpang genap 20 orang. Kami yang hanya ber 5 (2 anak tdk dihitung) terpaksa menunggu. Setelah menunggu hampir 1 jam penumpang tak bertambah, kami memutuskan membatalkan niat naik kereta "mainan" itu. Sebetulnya sayang juga......
Meninggalkan musium KA sekitar jam 12.00, kami menuju Salatiga. Setelah pertigaan Bawen kami sampai di perkebunan kopi Banaran. Kami berhenti di Kedai Kopi Banaran untuk makan siang. Kedai atau cafe yang mempunyai view kebun kopi dan dikejauhan terlihat sayup-sayup Rawapening itu cukup mengasyikan sebagai tempat istirahat.
Sesuai rekomendasi dari pelayan, kami memesan menu ayam goreng komplit yang menjadi keistimewaan kedai kopi ini. Kami juga mengiyakan ketika ditawari tahu goreng khas Bandungan. Dua porsi tahu dengan cepat tandas, berpindah ke perut kami. Entah karena lapar atau rasa tahu itu yang terasa kenyal, gurih, dan enak. Demikian pula ketika ayam gorengnya siap di atas meja. Ayam kampung beserta lalap dan sambal terasi yang disajikan dalam wadah anyaman bambu itu juga dengan lahap kami sikat.
Saya sendiri tak melewatkan kesempatan menikmati kopi khas Banaran. Sebagai penikmat kopi sejati...ceilee, kopi Banaran cukup joss rasanya. Apalagi disajikan tanpa gula, sesuai kegemaran saya. Wah....
Kami tak sempat memanfaatkan sarana out-bond atau berkeliling menikmati keindahan kebun kopi, karena saya ingin membawa rombongan itu menikmati perjalanan pegunungan antara Salatiga-Magelang. Dari Banaran kami melewati Salatiga langsung menuju Kopeng. Matahari yang menyengat hampir tak terasa sepanjang perjalanan menuju tempat wisata itu. Perjalanan berkelok-kelok ke dataran yang lebih tinggi cukup menyajikan kesejukan dan dinikmati oleh segenap rombongan. Celetukan 'mirip puncak' mewarnai obrolan di dalam mobil.
Sampai di Kopeng kami tak menyinggahi tempat wisata itu. Sebagian besar rombongan sudah pernah menikmatinya 2 tahun lalu.Dan menurut mereka tidak terlalu menarik. Saya mengiyakan, dan berpikir kenapa pemda tak berusaha menambah atau mengembangkan sarana wisata di area wisata ini. Dari dulu hanya itu ke itu saja.
Kami berhenti di kebun strawberry yang bertebaran di sekitar Kopeng. Selain berfoto di tengah agrowisata yang kini jadi primadona itu, kami juga sempat membeli 1 kg buah yang disenangi anak-anak itu. Harganya murah, hanya Rp 40 rb/kg, langsung petik di pohonnya. Setelah puas, kami melanjutkan perjanan menuju Grabag, belok ke kanan setelah pasar Ngablak.
Perjalanan membelah Gunung Andong dan Telomoyo ini terasa mengasyikkan. Jalanan yang berkelok, naik-turun, menyusuri deretan kebun sayur (kobis, tomat, kentang dll) dan gerumbul hutan pinus atau sengon memberikan sensasi keindahan tersendiri. Tak puas rasanya kami hanya melewatinya. Dalam hati kami berjanji, suatu ketika kami harus berhenti di sini. Bermalam barang sehari dua, atau live-in, di desa yang nampak menemtramkan ini.
Yang pantas untuk diberi credit-point adalah kondisi jalan di sepanjang perjalanan ini yang relatif mulus. Dari Magelang-Ambarawa-Salatiga-Kopeng-Grabag-hingga balik Magelang hampir tidak saya jumpai lubang atau jalanan bergelombang. Sehingga mobil MPV yang bersuspensi sedan ini sangat nyaman dikendarai. Salut untuk pemda di semua daerah itu.
Sebelum memasuki Grabag kami berhenti di Sekarlangit, sebuah area wisata alam dengan air terjun sebagai sajian utamanya. Saya sendiri , lebih 30 tahun lalu, pernah mengunjungi tempat ini. Tak banyak yang berubah, kecuali penataan pintu gerbang dan jalan setapak yang dikonblok, dan jembatan gantung yang digunakan melintasi sungai mendekati air terjun. Konblock itu juga hanya sekitar 50 meter. Selebihnya masih dibiarkan alami, yang tentunya cukup membahayakan apabila hujan. Karena jalan setapak itu menjadi licin, dan tebing-tebingnya yang curam memungkinkan terjadinya longsor.
Saya sempat berpikir, apa yang telah dilakukan pemda dan masyarakat sekitar terhadap aset wisata yang berharga ini ? Mungkin kalau beberapa arena bermain dibangun melengkapi area wisata ini tentu akan lebih menarik bagi pengunjung. Mungkin arena bermain anak-anak seperti yang ada di kota-kota besar (ayunan, prosotan, dll), tapi dimodifikasi menjadi khas pedesaan. Bisa juga dikembangkan sarana out-bond, yang teknik dan biayanya tidak harus mahal. Tentu semuanya itu akan lebih menarik wisatawan untuk tinggal (life stay) lebih lama. Dan tentunya memberikan manfaat ekonomi bagi pemda dan warga sekitarnya.
Setelah cukup jauh berjalan menuruni lereng bukit, lewat jalan setapak, tertatih-tatih karena harus menggendong anak kecil, akhirnya sampai di air terjun itu. Kami duduk-duduk sebentar di sela-sela batuan yang agak landai dg menggelar tikar yang kami bawa.
Tidak jauh dari tempat kami duduk, nampak beberapa anak muda kongko. Asap rokok tak henti mengepul dari mulut mereka, sementara minuman keras murahan sesekali mereka tenggak dari beberapa botol yang terserak di antara batuan tempat duduk mereka. Kendati mereka mengaku bertugas mengawasi obyek wisata itu, timbul rasa was-was juga melihat penampilan anak-anak muda itu. Apalagi tempat itu sangat sepi, hanya rombongan kami dan para pemuda itu yang nampak.
Setelah pulih dari rasa lelah, beberapa dari kami menuruni tebing dan mencoba bermain di bawah air terjun, atau sekedar membersihkan diri. Saya sendiri tak ikut bermain air, karena harus menemani anak saya yang ketakutan melihat tebing yang cukup curam. Kesempatan bermain air itu tak berlangsung lama. Mendung yang menggayut mulai menitikkan tetes-tetes gerimis. Membaca peringatan tanda bahaya apabila hujan turun, kami menyudahi permainan itu.
Bagi rombongan kami, air terjun ini tak begitu mengesankan. Selain pendek dan airnya kurang deras, dataran tempat tumpahan air di bawahnya juga kurang luas. Kurang leluasa sebagai tempat bermain.
Saat pulang kami bertemu dengan rombongan kecil yang melakukan pemotretan pre-wedding. Sepasang calon mempelai itu berpose mesra di antara bebatuan sungai. Mereka kurang peduli terhadap cuaca yang gelap karena mendung. Itulah dampak negatif teknologi digital di dunia fotografi. Pencahayaan tidak menjadi faktor penting lagi, karena merasa semuanya bisa direkayasa (touching) lewat teknologi digital imaging.
Kembali ke area parkir yang tak begitu luas kami memutuskan ke warung sebentar, sekedar beli minum dan kue-kue kecil bagi anak-anak. Di antara kami juga ada yang numpang ke kamar kecil di warung itu, karena toilet yang terletak di dekat pintu gerbang terkunci tanpa ada yang menjaga.
Dalam perjalanan pulang, istri saya mengingatkan untuk makan malam, karena waktu saat itu sudah mendekati magrib. Sesampainya di perempatan Secang, saya memutuskan belok kiri menuju Pucang. Saya ingat pernah membaca di internet tentang keberadaan warung opor enthog yang terkenal di desa ini. Saya sempat dua kali berhenti untuk bertanya pada penduduk tentang warung yang kami maksud. Mereka menjawab kurang tahu. Aneh juga, warung yang sudah banyak ditulis media itu kurang populer bagi warga di sekitarnya.
Didorong rasa penasaran, kami tetap menuju pusat desa Pucang. Toh nanti bisa menuju Magelang lewat jalan alternatif ini. Sesampainya di pertigaan Pucang, sekali lagi kami bertanya pada seorang ibu yang sedang duduk-duduk di depan rumahnya. Ibu itu dengan yakin menunjukan letak warung yang kami maksud. Ia juga menambahkan informasi tentang warung yang asli (pioner) dan yang ikut-ikutan jualan opor enthog.
Warung yang dimaksud berdiri di pinggir jalan desa. Warung merangkap rumah tinggal itu cukup besar untuk ukuran warung desa. Halamannya cukup untuk parkir 3-4 mobil. Selain ruang utama tempat penyajian dan beberapa meja tamu, di samping kirinya juga terdapat ruang lesehan yang cukup luas.
Kami memutuskan membeli 12 potong enthog, tediri 6 enthog opor dan 6 enthog goreng. Harga per potong cukup murah, Rp 8500,- termasuk sambal dan lalapan tanpa nasi. Semuanya kami bungkus, karena akan kami makan rame-rame di rumah bersama keluarga adik saya.
Sampai di rumah kami memakan masakan enthog itu bersama nasi yang masih mengepul, karena baru selesai ditanak. Selain karena memang sudah lapar, rasa enthog opor itu yang sangat nikmat, membuat kami semua makan dengan lahap. Menurutku yang berpengalaman merasakan berbagai masakan bebek dan enthog di berbagai daerah, rasa enthog Pucang ini tergolong istimewa. (BERSAMBUNG/bolinks @2009).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar