PENGEMBANGAN DESA WISATA DI MAGELANG.

Borobudur Links | September 20, 2009 | 14.49 wib | Label: Tourism

Oleh: Mualim M Sukethi.
Lembah Progo dari belakang Kalibening (Foto: Haryo Muslim).

Borobudurlinks/20-9-09. MAGELANG, adalah suatu wilayah yang memiliki potensi wisata luar biasa. Keindahan alam, peninggalan sejarah, kekayaan tradisi budaya, dan keunikan kehidupan masyarakat agraris, menjadi keunggulan yang tak banyak dimiliki daerah lain. Namun selama ini pengembangan wisata di Magelang hanya terkonsentrasi di rangkaian candi Borobudur, Mendut, dan Pawon. Hanya tiga situs sejarah itulah yang relative dikenal sebagai ikon wisata Magelang.
Tahun lalu, Candi Borobudur dikunjungi lebih 3 juta wisatawan. Tapi mereka hanya menghabiskan waktu 3-4 jam di situ, lalu melanjutkan perjalanan ke tujuan wisata lain, khususnya ke Jogya. Karena hanya sebentar, wisatawan itu tidak banyak membelanjakan uangnya di daerah Magelang. Atau dengan kata lain, masyarakat di sekitar Borobudur, atau lebih jauh lagi di sekitar wilayah Magelang, kurang mendapatkan manfaat ekonomi dari kekayaan wisata yang dimilikinya. Tingkat kesejahteraan masyarakat relative tidak beranjak dari tahun ke tahun.


Untuk menahan wisatawan itu di sekitar Magelang, memasuki tahun 2009, ini Dinas Pariwitasa & Budaya Kabupaten Magelang mencanangkan program pengembangan desa wisata. Kenapa desa wisata ? “Karena untuk mengembangkan desa wisata, tidak banyak biaya yang dibutuhkan. Hanya pembenahan yang diperlukan,” kata Sudhief Hartasa SE, Kasi Obyek Wisata Dinas Pariwisata & Budaya Kabupaten Magelang.

Basis Komunitas.

Desa wisata selama ini dikembangkan berdasarkan konsep Community Based Tourism (CBT-Pariwisata Berbasis Komunitas). Melalui CBT, masyarakat sendiri yang memegang peran utama dalam pengembangan wisata di komunitasnya. Masyarakat bisa memberdayakan kekayaan wisata yang dimilikinya, serta mengelolanya sendiri demi kesejahteraan mereka.

Sedangkan program wisata yang ditawarkan juga bersumber dari potensi yang dimiliki komunitas itu sendiri. Desa-desa di wilayah Magelang pada umumnya memiliki potensi wisata berupa keindahan alam, situs sejarah, budaya agro, tradisi/ritual, dan kesenian rakyat. Potensi itulah yang berusaha ‘dijual’. Tidak perlu ‘mengada-ada’, atau menciptakan program baru yang membutuhkan biaya besar. Misalnya, membangun semacam Ancol di tengah desa-desa itu.
“Bagi wisatawan yang umumnya berasal dari perkotaan, kehidupan dan budaya desa memiliki daya tarik tersendiri. Mereka memiliki keunikan, dan keunikan itulah yang bisa dijual,” tegas Sudhief, yang memiliki pengalaman melakukan studi perbandingan di Jabar dan Jatim. Dari pengamatannya, Sudhief menilai potensi yang dimiliki desa-desa di Magelang, tidak kalah, bahkan lebih bagus dan lebih kaya di bandingkan desa-desa di Jatim dan Jabar.
Salah satu kelebihannya adalah keberadaan situs-situs sejarah berupa puluhan candi yang tersebar di seluruh wilayah kabupaten Magelang. Hampir seluruh kecamatan di Magelang memiliki candi, sesuatu yang tidak dimiliki daerah lain di Indonesia ini. Selain itu tradisi pertanian yang berkembang di Magelang sangat beragam. Sehingga budaya atau kesenian yang lahir dari tradisi pertanian dari satu desa akan berbeda dengan desa lainnya.

Menurut Sutanto Mendut, penggerak budaya dari Magelang, bentuk ritual dan kesenian
itu bisa berbeda menurut kondisi alam, interaksi masyarakat, dan bahkan jenis tanaman yang ditanam di daerah tertentu. "Kesenian tradisi di desa yang menanam padi dengan desa yang menanam vanili, misalnya, bisa berbeda bentuk," tuturnya.

20 Desa.

Dalam program yang dimulai tahun 2009 ini sebanyak 20 desa ditetapkan sebagai desa binaan dan desa wisata. Desa binaan adalah tahapan sebelum diresmikan menjadi desa wisata. Desa-desa itu terletak di jalur ‘segi tiga emas’ pariwisata Magelang, yakni Jogyakarta, Borobudur, Merapi.
Desa-desa itu adalah desa Borobudur, Candirejo, Wanurejo, Mendut, Salam, Gulon, Kemiren, Kaliurang (Srumbung), Ngablak (Srumbung), Mranggen, Ngargosoka, Keningar, Wonolelo, Ketep, Paten (Dukun), Krinjing, Keningar, Tegal Randu, dll. Beberapa desa sudah eksis sebagai desa wisata, misalnya, desa Candirejo di Kecamatan Borobudur, bahkan menjadi pilot-project desa wisata secara nasional.
Apa persyaratan menjadi desa wisata ? “Setidaknya ada delapan persyaratan dasar untuk menjadi desa wisata, “ papar Sudhief. Delapan syarat itu adalah keunikan local yang tak dimiliki desa lain, membentuk badan pengelola (koperasi), menyusun RIP (Rencana Induk Pengembangan) desa wisata, kerjasama dengan biro wisata, memiliki program (pendek, menengah, panjang), pembenahan fisik/nonfisik, dokumentasi, dan berpedoman Sapta Pesona (aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah, kenangan).
Agar persyaratan itu bisa diwujudkan secara optimal, pemerintah telah melakukan beberapa upaya pembinaan, antara lain: pelatihan SDM, penguatan lembaga, pembangunan sarana, dll. “Bantuan pemerintah sendiri belum banyak. Untuk pelatihan dan penguatan lembaga baru dianggarkan dana sebesar 7,5 juta rupiah, “ urai Sudhief lebih lanjut. Prasarana yang dibenahi antara lain pembangunan jalan lingkungan, kamar mandi, dll. Tahun ini pemerintah pusat telah menurunkan dana dalam bentuk PNPM Pariwisata sebesar 50 juta rupiah. Di Magelang ada 4 desa dan 1 dusun yang telah memperoleh bantuan itu.

Promosi & Investasi.

Dalam pengembangan pariwisata, selain potensi, yang tak kalah pentingnya adalah upaya promosi. Indonesia memiliki potensi wisata yang luar biasa, tapi ternyata angka kunjungan wisatanya tidak terlalu signifikan dibandingkan negara-negara lain yang relative tidak banyak memiliki keunggulan wisata, seperti Malaysia atau Singapura. Kedua negara itu melakukan promosi wisata yang gencar, dengan anggaran yang jauh melebihi anggaran promosi Indonesia.
Jogyakarta yang lebih dahulu mengembang desa wisata dibanding Magelang, juga mengalami kendala dalam hal promosi ini. Dari puluhan desa wisata di Jogya, banyak yang tidak berkembang sebagaimana yang diharapkan karena minimnya promosi itu.
Tentang masalah promosi, Tatak S, Pjs. Kades Candirejo, memiliki kiat tersendiri. “Kami lebih mengandalkan promosi gethok tular, dari mulut ke mulut, “ katanya. Dan promosi gethok tular itu lebih efektif dilakukan bekerjasama dengan kalangan biro wisata dan jaringan hotel. Di Borobudur, yang sering mengirimkan wisatawan mengunjungi Candirejo adalah hotel Saraswati.
Belajar dari pengalaman desa Candirejo, Pemkab Magelang menetapkan kerjasama dengan biro wisata menjadi syarat khusus bagi desa yang ingin dibina menjadi desa wisata. Karena lewat biro wisata itulah upaya promosi dilakukan. Merekalah yang akan menjual asset dan program wisata yang dimiliki desa-desa itu. Tentu dalam konteks simbiose mutualistis, saling menguntungkan.
Dalam kaitan promosi (dan investasi), Pemkab Magelang akan membangun rest-area (pemberhentian sementara) di sekitar desa Salam. “Wisatawan dari Jogya akan kita tangkap di situ, dan kemudian kita salurkan ke desa-desa wisata. Baik yang menuju Borobudur mau pun yang menuju Merapi, “ papar Sudhief menguraikan rencana kantornya. Di rest-area itu akan dibangun pusat informasi wisata, restoran, panggung pertunjukan, dll. Namun rencana itu masih terkendala, karena belum tersedia dana untuk pembebasan lahan.
Pemkab juga menawarkan kesempatan untuk mengembangkan desa wisata kepada para investor. Peluang apa yang bisa ditangkap para investor itu akan dipikirkan dan dirumuskan lebih lanjut. Namun yang pasti pemkab berharap kehadiran investor nantinya tidak merusak keaslian lingkungan dan budaya desa yang menjadi keistimewaan desa wisata. Pemkab Magelang tentu telah belajar dari kasus Bali, yang kini kerepotan menata ruang dan lingkungannya karena kehadiran investor yang kurang terkendali.
“Kalau kehadiran investor itu mengganggu keaslian lingkungan desa dan kesejahteraan warga… ya akan saya tentang. Selama saya masih ada tak akan saya biarkan hal-hal itu terjadi, ” tegas Seriyan Adianto, mantan kades Candirejo, yang kini duduk sebagai anggota DPRD kabupaten Magelang.
Tentu kita berharap semangat dan tekad Seriyan, ini akan menulari dan mendasari aktivis, praktisi, dan pemangku kepentingan pariwisata di Magelang. Sehingga pembangunan pariwisata yang berkelanjutan bisa terwujud, dan kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan tanpa mengganggu kelestarian lingkungan, baik fisik mau pun budaya. (@bolinks 2009).

4 komentar:

  1. Banyak tempat wisata di Magelang yang saat ini berkembang dengan pesat dan ramai oleh wisatawan. Seperti puthuk setumbu, Gereja Ayam dan hutan pinus yang ada di Kragilan, Pakis, Magelang. Dengan hal seperti ini semoga bisa mendorong Magelang menjadi kota Wisata tentunya.

    BalasHapus
  2. Assalamualaikum.Wr.Wb. Didaerah Salam saya kira memungkinkan untuk dijadikan rest-area dan desa wisata karena didukung oleh alam yg masih alami dan kesenian seperti kobro,jatilan pun masih sering ditampilkan oleh masyarakat lokal dan durasi waktu pertunjukan memungkinkan dapat menahan wisatawan untuk tinggal lebih lama.dan pusat oleh-oleh bakpia kencana pun telah berjalan karena adanya kerjasama dengan biro perjalan wisata. Sekian pandangan pribadi saya. Trimakasih

    BalasHapus
  3. Assalamualaikum.Wr.Wb. Didaerah Salam saya kira memungkinkan untuk dijadikan rest-area dan desa wisata karena didukung oleh alam yg masih alami dan kesenian seperti kobro,jatilan pun masih sering ditampilkan oleh masyarakat lokal dan durasi waktu pertunjukan memungkinkan dapat menahan wisatawan untuk tinggal lebih lama.dan pusat oleh-oleh bakpia kencana pun telah berjalan karena adanya kerjasama dengan biro perjalan wisata. Sekian pandangan pribadi saya. Trimakasih

    BalasHapus
 
  • 1st
  • 2nd
  • 3rd
  • 4th
  • 5th

Home | Mobile Version | Seni dan Budaya | Manusia Kreatif | Acara dan Berita | Festival 5 Gunung | Networking | Wisata
(c) 2013-2016 Modus Getar | Powered by Day Milovich