DESA WISATA CANDIREJO.
Oleh: Fitriani Eka Putri.
Borobudurlinks/18-9-09. Desa Candirejo adalah salah satu desa wisata yang terletak di kawasan Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Lokasinya kira-kira 4 km sebelah tenggara candi Budha terbesar di dunia itu. Tahun 2003, tepatnya pada 19 April, Desa Candirejo diresmikan menjadi Desa Wisata setelah sebelumnya berupa Desa Binaan Wisata. Paket wisata yang diandalkan menitikberatkan pada Eco Tourism, atau wisata lingkungan. Desa Wisata didirikan atas dasar keinginan untuk meningkatkan pendapatan penduduk yang mayoritas bekerja sebagai petani.
“Candi Borobudur sebagai ikon pariwisata kebanggaan dunia ternyata kurang membawa kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Hal ini terbukti pada posisi Kecamatan Borobudur yang menduduki posisi ke 17 dari 21 kecamatan se kabupaten Magelang. Artinya masyarakat Borobudur, khususnya Candirejo, tergolong pra-sejahtera”, kata SERIYAN ADIANTO, salah satu penggagas desa wisata sekaligus mantan Kepala Desa Candirejo, yang kini menduduki kursi DPRD Kabupaten Magelang 2009-2014.
Bagi wisatawan sendiri, Desa Wisata Candirejo menjadi alternatif saat berwisata ke Candi Borobudur. Selain mengagumi keagungan Candi Borobudur, wisatawan asing khususnya, mampu mempelajari budaya dan adat istiadat masyarakat Jawa dengan terjun langsung ke masyarakat Desa Candirejo. Bagi wisatawan domestik, pengalaman tracking akan menjadi kenangan yang tak terlupakan.
Keunikan nama Desa Candirejo hanyalah satu dari sekian daya tarik yang tersedia. Asal kata Candirejo sendiri terdiri dari dua kata, yaitu Candi dan Rejo. Candi berarti batu dan Rejo berarti makmur. Jadi pengertian Candirejo adalah desa berbatu yang makmur. Nilai historis pun sarat mengisi sejarah Desa Candirejo. Pada jaman Mpu Sendok, sekitar abad 9-10, diketahui Desa Candirejo merupakan perkampungan Hindu. Hal ini terbukti dari prasasti dan yoni yang ada di bantaran Sungai Elo. Namun saat pusat pemerintahan berpindah ke Jawa Timur dikarenakan adanya ramalan akan terjadi bencana alam, sejarah Candirejo pun terputus.
Selain itu, Pegunungan Menoreh adalah rute gerilya Pangeran Diponegoro dan pengikutnya menghindari pasukan Belanda. Penduduk asli Desa Candirejo yang eksis sekarang ini diperkirakan adalah pengikut Pangeran Diponegoro yang menetap setelah penangkapan pemimpin mereka.
Pjs.Lurah Desa Candirejo, TATAK S. mengatakan, “Berwisata di Desa Wisata Candirejo dapat dipilih berdasarkan paket wisata yang tersedia. Harga bervariasi. Dan kami juga menitikberatkan pada Eco Tourism ”. Eco Tourisme atau wisata lingkungan menekankan aspek lingkungan (alam, budaya, dan manusia) sebagai asset wisata yang pantas untuk ditawarkan. Sebagai pengelola Koperasi Desa satu-satunya di Desa Candirejo, beliaulah yang pertama kali menerima wisatawan dan pembayaran setelah wisatawan chek out. Pelayanan yang ramah adalah salah satu ciri khas masyarakat Jawa.
Wisata alam, suasana pedesaan, kesenian dan keramahtamahan adalah hidangan utama dari Desa Wisata Candirejo. Begitu tiba di lokasi, wisatawan asing yang berbeda kebudayaan dan wisatawan perkotaan akan merasa takjub. Selain menambah wawasan tentang kebudayaan Jawa, pelepas penat dari suasana kota akan menjadi pelipur yang bersifat positif.
“Kami menawarkan keunikan alam, lingkungan, dan budaya. Alam dan lingkungan meliputi lingkungan
desa yang asri dengan rumah-rumah penduduk berarsirektur Jawa tradisi (joglo/limasan). Kebun dan sawah tadah hujan, dengan system pertanian tumpang sari. Alamnya meliputi pegunungan Menoreh dan sungai Progro. Sedangkan budaya dan kesenian berupa tradisi ritual, tari tradisi, karawitan, kerajinan bambu dan pandan, dll “, jelas Seriyan panjang lebar. Sedangkan ritual yang masih dipelihara adalah Saparan, Perti Desa, lalu Jumat kliwonan berupa ngirim doa untuk mantan lurah, dan tradisi untuk menyerahkan anak yang lahir jumat kliwon kepada pimpinan desa.
Desa Candirejo memiliki pesona alam yang unik yakni Pegunungan Menoreh, serta pertemuan 3 sungai besar yang mengaliri tlatah Magelang, yakni Progo, Sileng, dan mBelan. Di puncak Menoreh terletak Watu Kendil, batu besar menyerupai kendil yang posisinya unik, mingklik-mingklik (hampir jatuh) di atas tebing pegunungan itu. Watu Kendil bisa dicapai dengan berjalan kaki dari Desa Candirejo didampingi oleh seorang local guide.
Melelahkan memang, tapi hasilnya akan terbayar lebih begitu tiba di lokasi. Apabila berangkat pada pagi hari selepas sholat shubuh, maka wisatawan dapat melihat sunrise, matahari terbit, dengan panorama gunung Merapi dan Merbabu di kejauhan. Saat sore hari, maka sunset, matahari terbenam pun terlihat dengan view candi Borobudur di kejauhan. Keindahan alam ini tidak kalah bagus dari sunset dan sunrise di atas gunung Bromo, Jawa Timur, yang terkenal itu.
Saat pulang dari Watu Kendil kita bisa mampir mengunjungi Banyu Asin, yakni mata air yang airnya terasa asin. Mata air itu terletak di antara batuan yang berserakan di lembah sungai Sileng. Seharian itu kami juga menikmati suasana desa sehari-hari. Melihat ibu-ibu berangkat ke pasar dengan dagangannya berupa daun pandan kering, sayur-mayur, dan hasil kebun lainnya. Melihat para petani mengolah ladangnya yang berupa ladang kering dengan system pertanian tumpangsari. Jenis tanaman yang ditanam antara lain singkong, cabe, kacang-kacangan, papaya, dan rambutan.
Namun musim kemarau saat ini, kondisi ladang dan persawahan di desa Candirejo kurang kondusif untuk diolah. Ladang-ladang terlihat kering, berbagai jenis tanaman nampak kurus meranggas. Bahkan banyak pohon rambutan yang tidak berbuah maksimal. Hal itu menyebabkan kami agak kesulitan menemukan sudut pengambilan foto yang bagus, untuk menampilkan ragam olah tani warga desa itu.
“Beginilah kondisi nyata desa kami. Kalau musim kemarau selalu kesusahan air. Tak banyak yang bias kami lakukan,” kata seorang warga yang kami temui sedang mengumpulkan kayu dan dahan kering yang akan digunakan sebagai bahan bakar. “Kenapa masalah kesulitan air ini tak pernah bisa teratasi, bahkan sejak negeri ini merdeka,” tambah warga itu dengan nada ngenes.
Saat pulang, kami juga mampir menikmati pengrajin bambu wulung (hitam) di rumahnya. Bambu berwarna hitam itu ‘diukir’ membentuk pemandangan candi Borobudur, kaligrafi, dan ornament hias lainnya. Sayang, penampilan hasil kerajinan bambu itu nampak seadanya. Hamper tidak ada pembaruan sejak puluhan tahun lalu, baik kemasannya maupun ragam ornament yang ditampilkannya. Siang itu kami juga tidak bisa menikmati ketrampilan pengrajin pandan karena hari itu tidak ada produksi.
Lelah menempuh perjalanan selama satu hari, Desa Wisata Candirejo juga menyediakan homestay yang nyaman dengan berbagai macam harga. Pilihan homestay yang tersedia saat ini ada 35 buah. Pilihan ditentukan saat berada di Koperasi Desa Candirejo. Saat menginap, wisatawan seraya di rumah sendiri. Dimanjakan oleh keramahan tuan rumah, dan kenikmatan makanan khas Jawa, menjadi pengalaman yang menyenangkan.
Dengan kondisi yang “apa adanya”, artinya hampir tidak ada yang istimewa dibandingkan desa-desa lainnya di wilayah Magelang, Candirejo sebagai desa wisata, ternyata mampu meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan penduduk setempat. Semula hidup pas-pasan sebagai petani, kini mayoritas penduduk mempunyai penghasilan tambahan sebagai pemilik homestay, local guide, kusir andhong, dan pengrajin.
Tentang peningkatan kesejahteraan penduduk ini Seriyan memberikan gambaran: “Dulu kusir andong itu hanya dapat hasil 15-20 ribu rupiah sehari. Kini selain penghasilan mereka meningkat, mereka juga bisa memperoleh SHU dari koperasi. Tahun 2008, 16 pemilik andong itu berhasil mengumpulkan SHU sebesar 30 juta rupiah”.
Mungkin pertumbuhan koperasi desa juga bisa menggambarkan peningkatan kesejahteraan warga. Tahun 2003 koperasi memiliki kas sebesar 18 juta rupiah. Tahun 2004 meningkat menjadi 29 juta. Tahun 2005 jadi 42 juta. Tahun 2006 jadi 80 juta. Tahun 2007 jadi 121 juta. Dan tahun 2008 lalu berkembang menjadi 210 juta. Itu dari segi angka. Sedangkan tahun ini Candirejo dijadikan pilot-projet desa wisata secara nasional. Itu semacam pengakuan terhadap keberhasilan desa Candirejo.
Namun kenyamanan menikmati desa wisata ini cukup terganggu oleh tarip jasa layanan yang dikenakan pada pengunjung dan wisatawan yang menginap. Ada kesimpang-siuran informasi tentang tarip ini. Awalnya kami mendapat informasi dari staf kantor Dinas Budaya dan Pariwisata (Budpar) Kabupaten Magelang, kalau taripnya Rp 120,000,- satu rumah/2 kamar/malam. Harga itu sudah termasuk makan 2 kali. Di majalah Candi edisi Juli 2009, yang diterbitkan kanwil Budpar Jawa Tengah, tercantum taripnya Rp 30,000,-/kamar/malam. Ternyata kami mendapat tagihan dari koperasi desa yang mengelola desa wisata itu sebesar Rp 50,000,-/kepala/malam. Plus Rp 15,000,- sekali makan/kepala. Hampir 3X lipat dari informasi awal yang kami dapat.
Yang tak kurang mahalnya adalah jasa pemandu wisata. Awalnya kami tak ingin memakai jasa pemandu, karena ingin menggali informasi yang lebih jujur dari warga secara langsung. Namun karena niat kami untuk menikmati sunrise di Watu Kendil, mengharuskan kami harus berangkat pagi buta dan jalanan masih gelap, maka terpaksa kami memanfaatkan jasa pemandu. Ternyata untuk jasa itu kami dikenakan biaya Rp 50,000,-/kepala. Jadi untuk kami berempat harus merogoh kantong sebesar Rp 200,000,- Bandingkan dengan jasa pemandu di Taman Wisata Borobudur, yang hanya Rp 50,000,-/rombongan, berapa pun jumlah orangnya.
Kami sempat menanyakan masalah ini pada Pak Tatak, apakah tarip ini sama dikenakan terhadap wisatawan asing. Pejabat Lurah itu mengiyakan, tanpa menjelaskan alasannya. Untung kami tak jadi naik andhong keliling desa, karena sudah kesorean dan kami harus ke tujuan wisata lain. Kalau jadi naik andhong maka kita akan dikenakan biaya Rp 75,000,-/kepala. Bisa bangkrut kami ini, yang notabene adalah mahasiswa.
Masalah ini juga sempat kami sampaikan kepada Sudhief Hartasa SE, Kasi Obyek Wisata Dinas Budpar Kabupaten Magelang. Pembina desa wisata itu nampak kaget mendengar informasi ini. Pendapat yang lebih tegas disampaikan Arisworo Sutomo. “Hal-hal semacam itu bisa jadi boomerang, bisa mematikan desa wisata itu sendiri. Jangan berpikir bahwa karena pariwisata terus kita bisa mematok tarif seenaknya sendiri “, kata pemerhati budaya dan pelaku bisnis pariwisata di Borobudur itu. “Atau dibedakan antara turis asing dan turis local, “ tambahnya.
Ya, keramahan warga desa Candirejo, ternyata kurang ramah bagi kantong kami, sekelompok wisatawan lokal yang kantongnya terbatas. (Editing: Mualim M Sukethi/Bolinks 2009).
Anda bisa posting-ulang artikel ini atau dengan mencantumkan link ini:
http://borobudurlinks.blogspot.com/2009/09/desa-wisata-candirejo.html
http://borobudurlinks.blogspot.com/2009/09/desa-wisata-candirejo.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar