LEBARAN DI TUTUP NGISOR.

Borobudur Links | September 30, 2009 | 17.02 wib | Label: art and culture


Oleh: Mualim M Sukethi.

Borobudurlinks, 25/9-09. Setiap pulang mudik lebaran ke Magelang, saya selalu menyempatkan diri ke Tutup Ngisor. Dusun yang terletak di Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, ini menyimpan kenangan khusus dalam hidup saya. Kesadaran tentang banyak hal menyangkut kehidupan saya temukan di sini. Perkawinan saya, pada tahun 2005, juga dirayakan secara adat dengan ritual kuno di dusun sederhana ini. Bagi saya pribadi ada romantisme tersendiri setiap mengingat dusun yang terletak di lereng Gunung Merapi bagian barat ini.
Pada lebaran ke lima, tgl 24 September 2009, selepas dhuhur motor saya tancap meninggalkan Magelang. Sengaja saya menghindari jalur Magelang-Jogya lewat Mertoyudan-Palbapang. Karena jalur sepanjang 10 km itu tergolong sempit. Sehingga kemacetan panjang selalu terjadi di jalur ini. Apalagi musim lebaran kali ini belum usai, di mana kepadatan lalu lintas meningkat drastis.


Padahal ini jalan Negara yang sangat vital, yang menjadi akses ekonomi dan pariwisata antara Semarang, Magelang, Jogyakarta. Di jalur ini terletak dua obyek unggulan Jateng-DIY, yakni Candi Borobudur dan lereng Merapi dengan ikonnya Ketep-Pass. Saya tidak bisa memahami, kenapa pemerintah daerah dan pusat membiarkan kondisi ini berlarut-larut hingga bertahun-tahun tak teruraikan.
Saya mengambil jalur Desa Tampir, Sawangan, Talun, lalu naik ke Tutup Ngisor. Jalan desa sepanjang 20 KM ini lebih sempit, namun lalu lintas relatif sepi, dan kondisi jalan yang beraspal hotmix sangat mulus. Sementara pemandangan di sepanjang jalan sangat indah, memanjakan mata. Lembah dengan sungai besar kecil berair jernih, sawah ladang menghijau sejauh mata memandang, dan rangkaian gunung di kaki langit, adalah pemandangan yang dengan mudah dijumpai sepanjang jalan.
Saya sempatkan mengambil gambar dengan kamera saku yang selalu saya bawa. Sayang depth of field (bidang tajam) kamera jenis ini kurang panjang, sehingga gunung-gunung di kejauhan itu terlihat samar. Bahkan Merapi dan Merbabu, dua gunung yang menjadi latar utama wilayah ini kurang terlihat sempurna karena tertutup awan.
Menjelang ashar saya sampai di Tutup Ngisor. Saya langsung menuju rumah Bambang Tri Santosa di pojok dusun. Mas Bambang (53), demikian saya memanggilnya, adalah wali perkawinan saya, karena ketika peristiwa itu berlangsung kedua orang tua saya sudah meninggal dunia. Bambang adalah anak ke enam dari Romo Yoso, sesepuh dan tokoh spiritual yang menjadi panutan warga dusun. Romo Yoso, yang pengaruhnya sangat terasa di hampir seluruh wilayah barat Merapi, sudah meninggal tahun 1990 yang lalu.

Paradoks Merapi.

Saat saya tiba, bapak 3 anak, itu tak ada di rumah. “Sedang di kebun,” kata istrinya. Setelah bersilaturahmi sejenak dengan keluarga, saya menyusul Bambang di kebun, yang letaknya tak jauh dari rumah, terletak di belakang dusun di atas tebing sungai Senowo. Sungai yang berhulu di lereng Merapi ini merupakan salah satu sungai pengangkut lahar dingin, yang dikirim dari puncak Merapi.
Memang, dusun Tutup Ngisor sesungguhnya terletak di wilayah ‘sabuk Merapi’. Wilayah beresiko terkena aliran lahar dingin, atau sapuan ‘wedhus gembel’, sebutan masyarakat sekitar bagi awan panas bergulung-gulung bersamaan turunnya lahar panas/dingin, ketika gunung teraktif di dunia itu meletus.
Ketika hal ini ditanyakan pada Bambang, dengan enteng menjawab: “Itu kan resiko hidup. Di sini bisa mati kesapu lahar, tapi di tempat lain bisa mati kejatuhan pesawat, padahal baru enak-enak tidur di rumah yang katanya aman ”. Sembari berbincang, tangan lelaki berperawakan kecil ini tak henti-hentinya mencabuti rumput dan gulma yang tumbuh di sela-sela tanaman cabe.
Kebun yang tak begitu luas untuk ukuran petani desa, sekitar 2000 m2, ditanami berbagai tanaman hortikultura secara tumpangsari. Selain cabe, juga tampak tanaman buncis, kacang, kobis, singkong, dll. Di pinggiran kebun, menjadi semacam pembatas dengan kebun lainnya, tumbuh subur rumput gajah yang dimanfaatkan sebagai makanan pokok bagi ternak-ternak mereka. Semua tanaman itu tampak berdaun hijau gemuk. Buah-buahnya terlihat segar dengan ukuran yang tergolong besar. Menandakan tingkat kesuburan tanah yang tinggi.
Saya jadi teringat seorang pakar pertanian yang mengatakan bahwa tanah di sekitar Merapi tergolong paling subur di dunia. Pernyataan di suatu talkshow televisi itu bukan sesuatu yang berlebihan. Tanah di sekitar Merapi secara rutin disirami oleh lava dalam bentuk partikel debu yang disemburkan gunung itu ketika meletus, yang terjadi hampir setiap tahun. Lava yang kaya berbagai mineral itu menjadi semacam pupuk yang sangat efektif bagi kesuburan tanah.
Selain itu, Merapi juga mengirimkan lahar dingin berbentuk pasir halus. Pasir yang dikenal sebagai bahan bangunan berkualitas terbaik itu kemudian menjadi mata pencaharian tambahan bagi penduduk. Biasanya disela-sela bercocok tanam, mereka juga menambang pasir dan menjualnya ke pengepul. Selain menambang pasir, banyak juga penduduk yang memanfaatkan batu-batu besar yang ikut digelontorkan sebagai bagian dari lahar dingin. Namun berbeda dengan pasir yang dijual begitu saja sebagai bahan bangunan, batu-batu itu kemudian dipahat dan dijual dalam bentuk patung-patung batu yang harganya cukup mahal. Anda bisa menjumpai kerajinan pahat batu ini di sepanjang jalur Prumpung, Muntilan, hingga desa-desa di lereng Merapi.
Inilah paradoks Merapi. Di satu sisi, kehadirannya membawa bencana. Saat meletus lahar dan awan panasnya memporak-porandakan wilayah sekitar, dan menimbulkan korban manusia yang tak sedikit. Namun di sisi lain, batu, pasir, dan debu yang disemburkannya, telah membawa manfaat bagi kehidupan dan kesejahteraan penduduk.
Bambang sendiri tidak ikut menggali pasir atau memahat batu. Ia menambah penghasilan dengan mengajar tari di berbagai desa lain. Oh ya, dusun Tutup Ngisor sejak puluhan tahun lalu dikenal sebagai dusun kesenian. Hampir seluruh penduduknya mengisi waktu senggangnya dengan berolah seni. Ini juga berkah tersendiri dari keakraban Merapi dengan penduduk sekitarnya. Bersatunya manusia dan alam, sebagai wujud ‘manunggaling kawulo gusti’, sesuai pemahaman manusia Jawa pada umumnya.
“Dalam doa yang kami panjatkan, dua hal itu selalu kami utamakan. Berterimakasih telah diberi keselamatan dan dilindungi dari bencana, dan bersyukur karena dikaruniai Merapi yang membawa berkah kesejahteraan bagi kami, “ ujar Bambang dalam perjalanan pulang menuju rumah.
Namun, keseimbangan hubungan manusia dan alam di Merapi itu, kini, mulai terganggu. Para pemodal kuat dari kota-kota besar ikut tergiur berkah Merapi ini. Berbeda dengan penduduk setempat yang menambang pasir dengan peralatan sederhana, para pemodal itu mengerahkan berbagai peralatan berat semacam back-hoe untuk mengeruk kekayaan alam Merapi. Tak hanya di sungai-sungai, yang secara alami menjadi jalur lahar, bahkan kini para pemodal itu juga merambah lahan pertanian dan halaman rumah penduduk yang mereka beli atau sewa sekedar untuk dikeruk pasirnya.
Kehadiran para pemodal itu kini menimbulkan berbagai masalah. Lahan pertanian menyusut, serta berubah manjadi lahan kritis yang mengganggu kelestarian alam. Truk-truk besar yang mereka gunakan juga membawa masalah tersendiri. Selain bising dan menimbulkan polusi, karena dioperasikan 24 jam sehari, truk-truk itu ikut serta merusak jalan-jalan desa yang telah dibangun warga dan pemerintah daerah.

Wayangan.

Malam harinya, selepas magrib, saya mengunjungi Sitras Anjilin, adik mas Bambang. Sitras, anak bungsu Romo Yoso, dipercaya memimpin Padepokan Cipto Budoyo, wadah bagi olah kreasi seni warga Tutup Ngisor. Malam itu Sitras menemui para tamunya berbalut busana Jawa, dengan kain surjan serta blangkon berwarna gelap. Ia menerima kedatangan saya dengan kehangatan dan keramahan khas penduduk desa di Jawa. Senyum tipisnya selalu tersirat setiap menyalami tamu. Penampilan pemimpin padepokan ini mengesankan aura wibawa yang memancar dari tindak tanduknya.
“Duduk sini mas. Saya juga kangen, lama tidak ketemu mas Mualim, “ kata Sitras menyilakan saya duduk di sampingnya. Kami lalu terlibat dalam obrolan akrab. “Waktu parade budaya di Jakarta kemarin, saya sekilas lihat mas Mualim. Tapi tak tunggu-tunggu di parkiran kok ndak nongol mas ?” tanya bapak 2 anak, itu mengingatkan acara budaya yang diadakan setiap 18 Agustus di sekitar Monas Jakarta.
“Iya, maaf mas. Waktu itu saya juga nunggu di parkiran, setelah cape keliling mengikuti kontingen berparade. Tapi rupanya kita saling tunggu di parkiran yang berbeda, “ jawab saya, sembari menyebutkan kalau saya menunggu di parkiran IRTI, sementara kontingen Jawa Tengah yang diwakili grup Cipto Budoyo menunggu di parkiran dalam lapangan Monas.
Ruang tamu rumah Sitras tergandeng langsung dengan pendopo dan panggung prosenikum tempat berbagai pementasan berlangsung. Sehingga selain tamu-tamu yang datang untuk bersilaturahmi lebaran, ada beberapa tamu dan warga setempat yang mondar-mandir ke arah belakang panggung sembari menenteng kostum atau peralatan pentas lainnya. Mereka adalah para pemain wayang yang akan pentas malam ini.
Oh ya, setiap lebaran warga dusun Tutup Ngisor memiliki acara tetap, yakni pementasan wayang wong (wayang orang). Acara ini merupakan salah satu acara yang menjadi tradisi warga dusun, selain 17-an (Agustus), Maulud, dan Suran. Rangkaian acara regular tahunan ini merupakan bentuk kompromi budaya yang bersifat sinkretis antara budaya Islam, Jawa, dan nasional. Yang paling meriah dan sakral tentulah acara Suran, yang jatuh di bulan Suro (penanggalan Jawa). Pada acara yang berlangsung 4-5 hari itu berbagai macam acara seni-budaya digelar, termasuk yang paling sacral yakni kirab budaya, dan tari ‘Kembar Mayang’ ciptaan Romo Yoso.
Di antara tamu-tamu yang berdatangan malam itu antara lain Sutanto Mendut dan Mami Kato (pasangan penggerak budaya, pemilik Studio Mendut), Romo Kirjito (rohaniwan Katholik), Waskito dan Wenti (pasangan penari, dosen di UNY). Selain itu ada rombongan dari Universitas Indonesia (UI) yang sedang membuat film documenter tentang Tutup Ngisor, rombongan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang dipimpin Fendi Siregar (fotografer senior), dan Barbara (peneliti dari Swis).
“Malam ini kita mementaskan lakon ‘Wahyu Mangliawan’, bagian dari babad Ramayana,” kata mas Sitras menjelaskan pada Eko Wahyu, dosen ISI Surakarta, yang malam itu akan memerankan tokoh Anolo. Eko yang malam itu baru tiba di Tutup Ngisor, mendadak didapuk (di-casting) memerankan tokoh Brahmana Kera yang bijaksana, yang menjadi figure utama lakon ini. Namun sebagai pencinta dan pemain wayang, Eko tanpa sungkan langsung menyanggupi. Tentu kemudian ia banyak bertanya tentang cerita dan filosofi lakon yang malam itu dipentaskan.
“Pada intinya cerita ini menggambarkan bersatunya kekuatan: sastra yang dibawa Anolo, kekuatan yang dimiliki Anoman, dan semangat pantang menyerah seorang Rama,” kata Sitras, khususnya ditujukan pada Eko, namun disimak para tamu lainnya dengan takzim. “Dengan bersinerginya kekuatan itulah yang akan mampu mengalahkan Rahwana, symbol angkara murka, “ lanjut Sitras yang malam itu akan bertindak sebagai dalang.
Sebagai tuan rumah Sitras juga tak lupa mempersilakan para tamunya untuk menyantap hidangan. Baik snack dan klethikan yang terhampar di meja tamu, maupun nasi dan lauk pauknya yang tersedia di ruang makan. Karena banyaknya tamu, kami terpaksa antre untuk mengambil makanan. Tito, mahasiswa S2 UI, yang sudah beberapa hari menginap di Tutup untuk membikin film, nyelethuk: “Setiap hari tamu tak berhenti mengalir. Semua ditawari makan. Tapi persediaan makanan kok nggak habis-habis ya… ?”.
Pertanyaan semacam itu adalah khas masyarakat kota, yang terbiasa hidup individualis. Bagi masyarakat desa, khususnya di Magelang dan sekitarnya, menjamu tamu adalah keistimewaan. Mereka boleh hidup sederhana, tapi saat menerima tamu semua yang mereka miliki disuguhkan. Apalagi saat-saat khusus seperti lebaran ini, yang tidak ada menjadi (harus) ada.
Saya teringat pernyataan seorang seniman Jogya, pada diskusi di suatu ketika, tentang kehidupan masyarakat Tutup Ngisor. Menurut seniman itu, warga Tutup patut dikasihani. Di matanya mereka adalah masyarakat miskin dan tertinggal. "Lihat rumah2 mereka sempit, dan banyak yang hanya dari kayu dan bilik," katanya.
Kami yang cukup lama bergaul dengan masyarakat Tutup tersenyum mendengar pernyataan itu. Saya tergelitik menjawab, "Ukuran kaya-miskin yang Anda sampaikan itu keliru. Apakah ketika kesana, Anda disuguhi makanan di setiap rumah ? Apakah Anda pernah mendengar grup kesenian CiptoBudoyo mengedarkan proposal minta sumbangan untuk kegiatan mereka, seperti yang banyak dilakukan seniman kota ? ". Mendengar pertanyaan itu seniman Jogya itu terdiam, sadar atas penilaiannya yang keliru.
Menurut saya, masyarakat Tutup dan desa-desa di sekitar Magelang, cukup kaya. Secara ekonomi mereka berkecukupan, bukan berlebihan. Secara kebudayaan mereka bahkan berkelimpahan. Mungkin mereka bukan kaya harta, tapi memiliki budaya kaya. Sehingga mereka biasa memberi, bukan meminta atau menerima.
Saat menikmati makan malam, suara gamelan yang memainkan gendhing pembuka terdengar dari arah pendopo, pertanda pertunjukan wayang dimulai. Kami bergegas menyelesaikan makan, dan secepatnya menuju pendopo. Pendopo berukuran 15x12 m2 itu nampak dipenuhi penonton. Sebagian duduk lesehan, sebagian duduk di kursi yang disediakan. Tapi ada juga yang duduk di pagar pendopo yang lebih tinggi.
Sitras Anjilin sudah menempati posisi sebagai dalang. Ia duduk lesehan paling depan menghadap panggung. Di belakangnya puluhan nayaga (pemain gamelan) duduk takzim di depan gamelan masing-masing. “Hong wilaheng langit kelap-kelap….Oooo. Ono padhang nanging dudu ratri, ono petheng nanging dudu raino, “ kata sang dalang membuka pertunjukan. Kaki dan tangannya tak henti mengethuk kotak dan crek-crek sebagai pengiring narasi yang ia sampaikan.
Pertunjukan terus bergulir. Adegan demi adegan mengalir dengan lancar. Diawali lewat kesalahpahaman antara Anoman dengan Sugriwa, paman Anoman yang cenderung memilih Anggodo sebagai panglima perang. Namun setelah semua bersatu padu, pasukan Prabu Rama itu berhasil mengalahkan pasukan Rahwana. Kebaikan mengalahkan kejahatan, seperti lazimnya cerita klasik pewayangan.
Sekitar jam 01.00 dini hari rasa kantuk tak tertahankan. Pertunjukan belum usai, tapi saya memutuskan mengundurkan diri, karena pagi harinya mesti ke Parakan menghadiri silaturahmi keluarga. Dibekap dingin malam yang menusuk tulang, motor saya jalankan pelahan meninggalkan Tutup Ngisor. Namun rasa dingin itu menjadi tak begitu terasa, mengingat kehangatan yang disajikan warga dusun kenangan itu (bolinks@2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
  • 1st
  • 2nd
  • 3rd
  • 4th
  • 5th

Home | Mobile Version | Seni dan Budaya | Manusia Kreatif | Acara dan Berita | Festival 5 Gunung | Networking | Wisata
(c) 2013-2016 Modus Getar | Powered by Day Milovich