WISATA DI MAGELANG (Catatan Perjalanan).

Borobudur Links | Juli 03, 2009 | 14.27 wib | Label: Tourism

Oleh: Mualim M Sukethi.

(01)

(Catatan perjalanan ini merupakan sebuah upaya dari penulis untuk memperkenalkan atau mengingatkan kembali segenap potensi wisata di Magelang dan sekitarnya. Catatan ini dibuat ketika penulis dan keluarga mudik antara tgl. 6-13 Mei 2009. Disajikan secara bersambung. Awalnya dimuat di Grup Magelang Kota Harapan, dimaksudkan untuk menyemangati anggota grup lain agar menuliskan catatan dalam setiap kegiatannya, yang mungkin bermanfaat bagi orang lain.


Bagi penulis sendiri, upaya ini merupakan pembelajaran kembali kemampuan menulis yang cukup lama tidak terasah. Kalau ada info yang kurang lengkap, atau sidang pembaca memiliki info untuk melengkapinya, kami persilakan untuk melengkapinya, agar suatu ketika tulisan ini bisa lebih disempurnakan. SELAMAT MENIKMATI.)

Antara tgl. 6-13 Mei 2009 lalu, kami sekeluarga melakukan perjalanan wisata ke kampung halaman Magelang dan sekitarnya. Keputusan melakukan perjalanan wisata di waktu yang tak lazim (bukan musim liburan), itu didasari oleh keinginan untuk ikutserta dalam perayaan Waisak yang jatuh tgl 9 Mei 2009, serta cuti tahunan yang didapat ipar saya. Ipar saya sekeluarga (istri dan 1 anak) memang asli Jakarta dan belum pernah ke Magelang. Sementara hampir setiap Waisak saya pribadi menyempatkan diri mengikutinya, sekedar recharge secara spiritual...
Kami berangkat dari Jakarta (Griya Pipit Bintaro Sektor XI, Tangerang) tgl. 6 Mei 2009, tepat pukul 09.00 WIB. Mobil GrandLivina 15 XV yang saya kendarai berisi 7 penumpang: saya sbg sopir, istri, anak saya Asa (3,5 th), mertua perempuan, ipar beserta istri dan anaknya (5 th).Dengan segala tetek bengek bawaan, bisa dikatakan MPV mungil ini terisi full.
Sejak memasuki gerbang tol Bintaro hingga Cikampek perjalanan cukup lancar, hanya sedikit tersendat di sekitar Krawang Timur karena ada pelebaran jalur tol, dari 2 menjadi 3 jalur. Saya tidak tahu kapan pelebaran jalan ini akan beres, sebab setahuku sejak lebaran tahun lalu sudah dimulai di KM 25.
Sepanjang pantura, dari Cikampek hingga Alas Roban, perjalanan diwarnai oleh kondisi jalan yang rusak. Ada yang sekedar bergelombang, tapi banyak sekali yang sedang dalam kondisi diperbaiki. Sebagian besar upaya perbaikan jalan itu dilakukan dengan menutup separo jalur. Artinya, satu jalur diperbaiki, sementara lalu lintas dilimpahkan ke jalur satunya. Karena jalur pantura selalu dipenuhi bus dan truk, maka pemanfaatan satu jalur itu jelas menjadi sedemikian padat, bahkan seringkali mengakibatkan kemacetan yang cukup panjang.
Hambatan yang lain muncul dari kondisi kesehatan anak dan keponakan saya. Kedua anak kecil itu mabuk sepanjang jalan. Seringkali saya berhenti di pinggir jalan untuk memberi kesegaran pada mereka setelah muntah-muntah. Di tambah istirahat makan siang dan buang air di SPBU, tak kurang 15 kali saya terpaksa menghentikan kendaraan.
Yang mengherankan adalah kondisi anak saya. Sejak lahir ia sudah sering saya ajak naik mobil melakukan perjalanan jauh. Paling tidak setiap tahun mudik, dan melakukan perjalanan dari satu kota ke kota lain di sekitar Jateng dan Jabar. Hingga umur 2,5 tahun relatif tidak pernah mabuk. Tapi setahun terakhir ini setiap kali naik mobil, bahkan untuk jarak kurang dari 50 km, ia selalu mabuk. Padahal ibunya selalu memberi minum antimo setiap menjelang berangkat. Mohon saran bagi dari para sohib tentang hal ini.
Selepas Gringsing saya memutuskan belok melewati jalur Weleri-Sukorejo-Parakan-Temanggung. Jalur naik turun berkelok-kelok ini bisa berubah menjadi jalur maut kalau kita tidak hati-hati. Saya memasuki jalur ini selepas Isya, ketika bus-bus malam memenuhi jalur ini dari arah sebaliknya. Akibatnya beberapa kali mobil saya yang relatif kecil ini hampir bersenggolan dengan mereka. Terutama di beberapa tikungan, mengingat badan bus-bus itu yang cukup besar, panjang, dan memakan badan jalan.
Setelah menyadari kondisi membahayakan itu, dan mengingat saya membawa seluruh keluarga, saya memutuskan untuk lebih berhati-hati. Alhamdulillah, sekitar jam 21.00 saya sampai di Magelang. Sebelum njujuk ke rumah tujuan, kami memutuskan makan malam di warung bakmi perempatan pasar Rejowinangun (pojok shooping). Kami terkesan dengan masakan bakmi godhog yang kami rasakan ketika mudik lebaran tahun lalu. Perjalanan sepanjang 565 KM itu memakan waktu sekitar 12 jam, termasuk berbagai hambatan yang dialami sepanjang perjalanan.


KERETA API, KOPI, DAN AIR TERJUN TAK BEGITU TINGGI.

Keesokan harinya kami bangun agak siangan. Selain capek, semalam juga saya sempatkan nonton semifinal Liga Champions antara Barcelona melawan Chelsea. Sebagai penggemar Barcelona tentu saya tak mau melewatkan momen dramatis itu, khususnya ketika Iniesta melesakkan satu-satunya gol yang mengantarkan tim Catalan itu menuju final di Roma.
Di tengah istirahat seharian, saya sempatkan mencuci mobil di bengkel yang juga merupakan kantor Pemadam Kebakaran (brandweer). Sebab selain kotor, kondisi mobil juga diwarnai aroma bekas muntahan. Servis yang diberikan bengkel itu lumayan OK. Taripnya juga murah. Cuci komplit plus vacum Rp 20 rb. Oh ya..di Magelang kami bermalam di rumah keluarga, yang kini ditempati adik kandung saya sekeluarga, di kampung Magersari Kodya Magelang (belakang Giant Supermarket).
Jumat, 8 Mei 2009, saya putuskan untuk membawa rombongan ke Ambarawa mengunjungi musium Kereta Api (KA). Berangkat dari Magelang sekitar jam 09.00, dalam kondisi cuaca yang cerah. Setelah sempat mampir beli serabi di Pringsurat, kami tiba jam 10.00 di musium itu. Dengan tiket masuk museum yang cukup murah Rp 3 rb per orang, kami dengan leluasa menikmati isi musium.
Gedung musium itu merupakan bekas stasiun KA Ambarawa. Arsitektur kolonial yang eksotik menjadi kekuatan bangunan kuno itu. Selain kondisi bangunan yang masih kokoh dan terawat dengan baik, kami juga menikmati berbagai barang peninggalan yang merupakan sarana perjalanan KA jaman baheula, antara lain: asesoris sinyal KA, telepon engkol, mesin tik dan telegraph kuno, lampu KA berbagai jenis, catatan perjalanan KA, dll. Yang menakjubkan adalah peninggalan berbagai lokomotif dari mulai abad 19, yang digunakan ketika perjalanan KA mulai dirintis di pulau Jawa. Loko-loko berwarna hitam pekat itu teronggok berderet di samping kiri stasiun/musium.
Melihat ‘barang aneh’ di depan mata, anak-anak kami langsung berhamburan dengan bebas bermain di atas loko-loko itu, bergabung dengan anak-anak kecil lainnya. Mereka dengan riang berfoto di antara roda-rodanya, berdiri di bordes, atau di hidung loko yang memiliki ruang terbuka untuk bergaya.
Setelah puas menikmati warisan budaya kolonial itu, kami berniat menikmati perjalanan KA yang ada. Tadinya kami ingin mencoba KA bergerigi yang melayani rute Ambarawa-Pringsurat, yang menjadi primadona museum ini. Tapi tarip KA legendaris itu terlampau mahal bagi kami, Rp 3,25 jt sekali jalan/charter. Hari itu, sebelum kami datang, ada rombongan 2 bus besar wisatawan yang mencarter KA itu.
Kami memutuskan untuk menikmati kereta disel yang melayani rute Ambarawa-Tuntang PP. Kereta yang mirip mainan odong-odong itu hanya melayani atau berangkat apabila penumpang genap 20 orang. Kami yang hanya ber 5 (2 anak tdk dihitung) terpaksa menunggu. Setelah menunggu hampir 1 jam penumpang tak bertambah, kami memutuskan membatalkan niat naik kereta "mainan" itu. Sebetulnya sayang juga......
Meninggalkan musium KA sekitar jam 12.00, kami menuju Salatiga. Setelah pertigaan Bawen kami sampai di perkebunan kopi Banaran. Kami berhenti di Kedai Kopi Banaran untuk makan siang. Kedai atau cafe yang mempunyai view kebun kopi dan dikejauhan terlihat sayup-sayup Rawapening itu cukup mengasyikan sebagai tempat istirahat. Kami memesan beberapa mangkuk soto ayam dan sop buntut. Tentu dilengkapi dengan udang goreng plus tahu tempe. Rasanya cukup enak dan menyegarkan. Sementara bagi saya tak kelewatan menikmati kopi khas Banaran. Sebagai penikmat kopi sejati...ceilee, kopi Banaran cukup joss rasanya. Apalagi disajikan tanpa gula, sesuai kegemaran saya. Wah....
Dari Banaran kami melewati Salatiga langsung menuju Kopeng. Matahari yang menyengat hampir tak terasa sepanjang perjalanan menuju tempat wisata itu. Perjalanan berkelok-kelok ke dataran yang lebih tinggi cukup menyajikan kesejukan dan dinikmati oleh segenap rombongan. Celetukan 'mirip puncak' mewarnai obrolan di dalam mobil.
Sampai di Kopeng kami tak menyinggahi tempat wisata itu. Sebagian besar rombongan sudah pernah menikmatinya 2 tahun lalu.Dan menurut mereka tidak terlalu menarik. Saya mengiyakan, dan berpikir kenapa pemda tak berusaha menambah atau mengembangkan sarana wisata di area wisata ini. Dari dulu hanya itu ke itu saja.
Kami berhenti di kebun strawberry yang bertebaran di sekitar Kopeng. Selain berfoto di tengah agrowisata yang kini jadi primadona itu, kami juga sempat membeli 1 kg buah yang disenangi anak-anak itu. Harganya murah, hanya Rp 40 rb/kg, langsung petik di pohonnya. Setelah puas, kami melanjutkan perjanan menuju Grabag, belok ke kanan setelah pasar Ngablak.
Perjalanan membelah Gunung Andong dan Telomoyo ini terasa mengasyikkan. Jalanan yang berkelok, naik-turun, menyusuri deretan kebun sayur (kobis, tomat, kentang dll) dan gerumbul hutan pinus atau sengon memberikan sensasi keindahan tersendiri. Tak puas rasanya kami hanya melewatinya. Dalam hati kami berjanji, suatu ketika kami harus berhenti di sini. Bermalam barang sehari dua, atau live-in, di desa yang nampak menemtramkan ini.
Yang pantas untuk diberi credit-point adalah kondisi jalan di sepanjang perjalanan ini yang relatif mulus. Dari Magelang-Ambarawa-Salatiga-Kopeng-Grabag-hingga balik Magelang hampir tidak saya jumpai lubang atau jalanan bergelombang. Sehingga mobil MPV yang bersuspensi sedan ini sangat nyaman dikendarai. Salut untuk pemda di semua daerah itu.
Sebelum memasuki Grabag kami berhenti di Sekarlangit, sebuah area wisata alam dengan air terjun sebagai sajian utamanya. Saya sendiri , lebih 30 tahun lalu, pernah mengunjungi tempat ini. Tak banyak yang berubah, kecuali penataan pintu gerbang dan jalan setapak yang dikonblok, dan jembatan gantung yang digunakan melintasi sungai mendekati air terjun. Konblock itu juga hanya sekitar 50 meter. Selebihnya masih dibiarkan alami, yang tentunya cukup membahayakan apabila hujan. Karena jalan setapak itu menjadi licin, dan tebing-tebingnya yang curam memungkinkan terjadinya longsor.
Saya sempat berpikir, apa yang telah dilakukan pemda dan masyarakat sekitar terhadap aset wisata yang berharga ini ? Mungkin kalau beberapa arena bermain dibangun melengkapi area wisata ini tentu akan lebih menarik bagi pengunjung. Mungkin arena bermain anak-anak seperti yang ada di kota-kota besar (ayunan, prosotan, dll), tapi dimodifikasi menjadi khas pedesaan. Bisa juga dikembangkan sarana out-bond, yang teknik dan biayanya tidak harus mahal. Tentu semuanya itu akan lebih menarik wisatawan untuk tinggal (life stay) lebih lama. Dan tentunya memberikan manfaat ekonomi bagi pemda dan warga sekitarnya.

(BERSAMBUNG).

2 komentar:

  1. faktor manusia itu paling utama. bukan hanya "berterima kasih" kepada nenek moyang yang telah memberikan candi, lalu menarik retribusi, atau mengabadikannya dalam buku sejarah. artinya, setiap manusia yang memiliki komitmen untuk menciptakan "ramah" (tanpa bermental "inlander") di "rumah" yang boleh disinggahi semua orang. seandainya sebuah kota tidak memiliki aset yang dibanggakan pun tetap saja bisa ramai dikunjungi. apalagi yang se'kaya magelang, dengan benteng pegunungan, kekayaan kesenian asli, penduduknya yang sangat ramah, dan keajaiban-keajaiban lain yang belum terkuak, tentu "komitmen" yang hendak dijalankan kawan-kawan "borobudurlinks" pastilah akan mendapatkan jalan-Nya. salut, bang mualim. kita akan mendukung visi misi blog anda.

    BalasHapus
  2. kalau ada kabar tentang pertemuan lima gunung, mohon agar sedulur2 di magelang bersedia kontak seniman semarang. saya pribadi ingin sekali meliput acara itu dan di'posting lewat website, agar tidak hanya dinikmati para pembaca koran. boleh tahu bagaimana caranya ikutan mengirimkan tulisan di blog ini?

    BalasHapus
 
  • 1st
  • 2nd
  • 3rd
  • 4th
  • 5th

Home | Mobile Version | Seni dan Budaya | Manusia Kreatif | Acara dan Berita | Festival 5 Gunung | Networking | Wisata
(c) 2013-2016 Modus Getar | Powered by Day Milovich