Pesan Politik Pengantin dari Lereng Merapi

Borobudur Links | Juli 06, 2009 | 11.06 wib | Label: Event and News


Sang Raja turun ke desa di lereng Merapi. Dia bertemu dengan Dewi Sri
sebagai penguasa pertanian di wilayah itu. Dua kekuatan itu bertemu menghias alam dengan kemakmuran.
Konsep itulah yang diangkat dalam prosesi perkawinan Ignatius Eri
Handoyo dan Christina Noviyani yang digelar di Gereja Gubug Selo, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Lokasinya tepat di lereng Gunung Merapi.
Dipandu oleh Romo Vincentius Kirjito Pr peosesi pernikahan ini memadukan kesakralan pernikahan dengan budaya petani di lereng Merapi. Sebagai seorang dewi yang tidak mempunyai keluarga dan teman, Novi diiringi oleh bala tentaranya, yakni Butho Ijo.

Para Butho yang selama ini membantunya menjaga lahan pertanian itu, mengantarkannya menemui sang raja untuk menyatu dalam sebuah ikatan perkawinan. Seperti layaknya prosesi upacara perkawinan, setelah kedua mempelai bertemu, mereka diantar untuk melaksanakan ijab di dalam gereja. Para Butho yang telah mempercayakan Dewi Sri pada sang raja, hanya mengantarkan mereka sampai di depan gereja.

Prosesi pengantin itu mengingatkan pentingnya figur pemimpin nasional yang berjiwa merakyat.

‘’Pemimpin harus selalu merakyat, masuk dan merasakan kehidupan
rakyat kecil,’’ kata koreografer prosesi pengantin Merapi bertajuk
‘’Raja dan Ratu Merapi’’, Susanto, di Magelang.

Prosesi pernikahan yang dikemas dalam nuansa budaya petani itu
ditandai dengan pertemuan mempelai. Eri yang mengenakan pakaian adat Jawa warna putih naik mobil sedan ‘’Volvo’’ berjalan dari ujung timur dusun itu dengan diiringi para penari tarian tradisional ‘’Gangsir Ngenthir’’ dan ‘’Jalantur’’.

Novi yang juga mengenakan pakaian adat Jawa warna putih berjalan
dari ujung barat dusun itu diiringi para penari tradisional "Grasak"
pimpinan seniman Ismanto.

Tabuhan alat musik tradisional berupa gamelan mengiring prosesi
pertemuan pengantin yang disebut ‘’panggih’’ itu. Suasana jalan dusun
itu terlihat semarak oleh properti boneka dari jerami dan masyarakat
yang menyaksikan prosesi pengantin secara kontemporer itu.

Saat tiba di depan GSPi, Susanto yang mengenakan pakaian ala petani dengan membawa keranjang rumput dan bertutup kepala ‘’caping’’, memimpin pertemuan pengantin itu dengan orasi politik petani.

‘’Sang pemimpin datang kepada rakyat memberi kemakmuran, jangan
pernah lupa tugas pemimpin, jangan lupa tanggal 8 Juli, hari pemilihan
(Pemilu Presiden),’’katanya.

Mempelai laki-laki turun dari mobilnya kemudian dia memberikan sesaji berupa buah-buahan dan jajan pasar kepada para penari ‘’Grasak’’ yang menggambarkan raksasa penjaga mempelai putri.

Kedua mempelai saling melempar sirih sebagai tanda pertemuan mereka untuk selanjutnya mempelai perempuan membasuh kaki mempelai laki-laki dengan air dari dalam tempayan yang diletakan di halaman gereja itu.

Misa perkawinan Eri dengan Novi terlihat dikemas secara unik
dengan iringan musik gamelan. Kedua mempelai duduk di pelaminan berupa
‘’lincak’’ atau bangku dari bambu yang diletakkan di dalam tempat khusus
mirip kandang sapi dengan properti jerami, balutan tali, rangkaian
gabah, jagung, dan tanaman hias.

Tempat duduk umat dan bangunan gedung gereja itu berhias antara lain rangkaian gabah dan berbagai hasil bumi Merapi lainya.

Pada kesempatan itu seniman petani lereng Merapi berasal dari Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun
menyuguhkan pentas wayang kontemporer dengan lakon ‘’Dharmacakramudra’’.

‘’Petani mengenal siklus kehidupan, hidup bagaikan putaran roda
yang disikapi secara bijak oleh keluarga-keluarga petani,’’kata
Bambang Santoso, pimpinan Padepokan Tjipto Boedojo.

Romo Kirjito mengatakan, masyarakat setempat mengungkapkan kegembiraan menyambut pilpres melalui pesta perkawinan yang dikemas secara kultur petani.

‘’Sebelum pilpres kita mencari hiburan dalam momentum perkawinan
Eri dengan Novi ini, petani punya cara sendiri untuk mencari
persaudaraan, bergembira bersama, melalui seni, apalagi Eri adalah
seniman penabuh gamelan,’’katanya.

Ia menjelaskan, prosesi perkawinan itu menggambarkan pengantin
laki-laki sebagai seorang raja atau pemimpin yang mencintai rakyatnya
terutama orang desa.

Sang raja, kata Kirjito yang juga budayawan itu, digambarkan meminang gadis desa dan memberikan kemakmuran hidup bagi masyarakatnya.

‘’Ditandai dengan pemberian sesaji, ini peristiwa budaya yang bagi
rakyat kecil tentu menggembirakan,’’katanya.

Pada kesempatan itu Romo Kirjito memberkati pasangan itu dengan
tanda salib dan percikan air suci agar tercapai usaha mereka membangun
hidup berkeluarga yang baik.(Sholahuddin al-Ahmed)


1 komentar:

  1. semua menjadi lebih detail melihat magelang dan sekitarnya terlebih merapi dan borobudur

    BalasHapus
 
  • 1st
  • 2nd
  • 3rd
  • 4th
  • 5th

Home | Mobile Version | Seni dan Budaya | Manusia Kreatif | Acara dan Berita | Festival 5 Gunung | Networking | Wisata
(c) 2013-2016 Modus Getar | Powered by Day Milovich