Oleh Myasa Poetika.
Borobudurlinks, 21 April 2012.
Siang itu saya melintas di daerah Kopeng, dataran tinggi antara Salatiga dan Magelang. Setelah menikmati pemandangan yang cukup menawan sepanjang lereng Merbabu itu, saya memutuskan untuk mampir ke dusun Gejayan, Banyusidi, Pakis, Kabupaten Magelang. Di dusun ini tinggal seorang teman, aktivis kebudayaan sekaligus Lurah Desa bernama Riyadi.
Sesampainya di dusun yang permai itu, ternyata sedang berlangsung hajatan budaya. Siang itu, warga dusun yang tergabung dalam ‘Komunitas Lima Gunung’ (KLG), sedang menjamu tetamu istimewa.
Para tamu yang jumlahnya puluhan orang itu ternyata adalah para penyair yang datang dari dalam dan luar negeri. Rombongan yang menaiki 3 bus ukuran sedang itu dipimpin oleh Silke Behl, penggiat budaya berasal dari Jerman. Saya sendiri cukup mengenal Silke dan suaminya Duddy, ketika sering berkumpul di Bengkel Teater Rendra, di Depok Jawa Barat, hampir 30 tahun lalu.
Para penyair itu berkumpul di Magelang dalam rangka pembacaan puisi bertajuk ‘Forum Penyair Internasional-Indonesia (FPII) 2012’. Magelang adalah salah satu kota yang dikunjungi para penyair itu, selain Pekalongan, Malang, dan Surabaya. ‘Rumah Buku Dunia Tera’ pimpinan Dorothea Rosa Herliany (Rosa), penyair asli Magelang, bertindak selaku tuan rumah selama 42 penyair itu di Magelang.
Dari 42 penyair itu, 17 penyair berasal dari manca Negara, yaitu dari Jerman, India, Amerika Serikat, Afrika Selatan, Zimbabwe, Belanda, Denmark, Islandia, Australia, Selandia Baru, dan Makedonia. Sisanya dari dalam negeri yaitu dari Bali, Madura, Bekasi, Yogyakarta, Surabaya, Ngawi, Jakarta, Rembang, Malang, Tangerang, Depok, Makassar, Bandung, dan Papua.
Selama di Magelang, para penyair itu sempat mengadakan pembacaan puisi dan bertemu berbagai lapisan masyarakat Magelang. Pembacaan puisinya secara resmi berlangsung 2 malam, bertempat di Taman Lumbini, komplek Candi Borobudur, Kabupaten Magelang. Selain itu mereka juga mengunjungi Museum OHD (Oei Hong Djien), Seminari Mertoyudan, membaca puisi di Toko Emas Mustika, serta bertemu komunitas santri di pesantren API Tegalrejo. Kunjungan ke dusun Banyusidi adalah acara terakhir sebelum meneruskan perjalanan menuju Pekalongan.
Ketika saya tiba acara baru saja dimulai.
Di sebuah pelataran yang cukup lebar, berdiri sebuah panggung yang terbuat dari bambu berhias dedaunan dan batang pohon cabe yang dirangkai sedemikian rupa. Rangkaian serupa juga menghiasi gazebo di sisi pelataran tempat para tamu berteduh dari sengatan matahari.
Kesadaran dan ketrampilan warga dusun memanfaatkan materi untuk mendirikan bangunan yang berkaitan dengan hajatan seni pantas diacungi jempol. Sesungguhnya warga desa lain, khususnya yang tergabung di KLG telah banyak melakukan hal itu. Mereka juga banyak menciptakan kostum yang berasal dari hasil olah pertanian mereka. Mungkin inilah embrio dari kecenderungan ‘seni kembali ke alam’ alias eco-art. Ini bisa menjadi ciri khas yang unik, sekaligus menjadi branding bagi kesenian Magelang.
Sebuah tarian menyambut para tamu itu. Saya lupa nama tarian itu. Yang pasti tarian tradisional itu dimainkan oleh delapan pemuda menggunakan kostum loreng hitam putih dengan topeng butho dan rambut panjang berjuntai. Musik perkusif, karena memang berasal dari instrument tabuhan, mengiringi gerak-gerak dinamis bahkan garang dari tubuh kekar para penari itu.
Tepuk tangan meriah menimpali berakhirnya tarian itu. Setelah diseling sambutan dari Rosa, para tamu pun unjuk kebolehan. Seorang penyair dari Afrika Selatan membacakan puisinya dengan gaya penyanyi rap. Ia juga menari dengan menggerakan kakinya ke kanan ke kiri mengikuti irama soreng yang ditabuh warga dusun.
Demikianlah selama sekitar 2,5 jam para penyair dan warga dusun secara selang seling menyajikan puisi dan tari karya mereka. Beberapa nomor tarian tradisional yang menjadi unggulan dusun Gejayan disajikan secara apik, antara lain Soreng, Kipas Mego, Gupolo, dan Geculan Bocah. Sementara para penyair itu, selain membaca puisi dengan berbagai gaya, juga menyajikan performens yang mengundang decak kagum.
Seorang penyair berkulit hitam berbadan kekar mirip petinju kelas berat, menari dengan penuh gairah. Tubuhnya yang kekar tak mengurangi gerakan lentur dan liat dalam merespon irama soreng yang penuh tenaga. Sesudahnya, penyair dari Makedonia membacakan puisinya sembari menabuh bass-drum menimpali music perkusi yang ditabuh warga dusun.
Kekaguman tak habis-habis dilontarkan para penyair melihat kefasihan warga dusun menampilkan tari dan music yang berasal dari khasanah tradisi mereka. Mereka terpesona menyaksikan anak-anak berusia 5-10 tahun menampilkan gerak-gerak penuh tenaga bak warok jawara dalam ‘Geculan Bocah’. Tubuh mereka yang relative kecil menjadi lucu ketika mereka harus menampilkan gerak berotot seorang warok.
Para penyair itu juga seakan tak percaya, ketika menyaksikan tari ‘Kipas Mego’. Ternyata para perempuan cantik itu adalah ibu-ibu warga dusun yang beberapa waktu lalu memasak masakan dan menyajikannya sebagai makan siang mereka.
Penyair dari dalam negeri pun tak kalah mempesona. Seorang penyair dari Bali membacakan puisi diawali dengan teriakan melolong bak serigala memecah malam. Ia didampingi penyair lain yang menarikan gerakan abstrak penuh tenaga seiring music trunthung yang ditabuh warga dusun. Penyair Madura Zawawi Imron mengungkapkan kesannya lewat puisi pendek yang tak kalah indahnya. “Banyusidi cintaku, Banyusidi senyummu. Jejak kutinggalkan di sini, tapi senyummu kubawa pergi," demikian Zawawi mengungkapkan kesannya.
Di antara kegembiraan para penyair dan warga dusun, saya pun larut dalam kegembiraan serupa. hususnya ketika bertemu teman lama penyair Afrizal Malna, teman lama yang bersama-sama ikut menggerakan dialog budaya di ibukota antara tahun 80-90an. “Gimana kesehatanmu kamerad ?”, sapanya seperti biasa. Padahal cukup lama kami tak bertemu, mungkin sekitar 10 tahun.
Kami lalu larut dalam nostalgia masa lalu. Selain berkesenian, bersama dengannya dan beberapa seniman lain, kami sempat turun ke jalan dan menggalang dukungan ketika reformasi tahun 1998 berlangsung. Kami bersama menggelar mimbar rakyat di Taman Ismail Marzuki, ketika mahasiswa tergusur dari Senayan. Mimbar rakyat yang berlangsung sekitar 6 bulan itu cukup memiliki pengaruh signifikan dalam arus perubahan politik social ketika itu.
Kegembiraan yang mewarnai hajat silang budaya sore itu berubah menjadi kesedihan, ketika acara berakhir dan mereka harus berpisah satu sama lain.
Setelah menari bersama, para penyair dan warga dusun saling berpelukan. Beberapa penyair itu nampak meneteskan airmata.
Menyaksikan silang budaya dan relasi social yang terjadi antara para penyair internasional itu dengan warga dusun sungguh pengalaman yang tak terlupakan. Warga dusun alias petani sederhana itu tentu berbeda kelas social ekonomi budayanya dibanding para tamu yang sebagian besar berasal dari Negara mapan Eropa, Australia, dan Afrika. Namun mereka tak terkesan minder atau berjarak oleh perbedaan itu.
Mereka bergaul lepas tanpa beban. Bahasa yang berbeda tak menjadi kendala. Tentu, kesenian dan kebudayaan yang menyatukan mereka. Pepatah ‘seperti katak di bawah tempurung’ sepertinya tak berlaku bagi warga dusun Gejayan. Tidak seperti saudara-saudara mereka yang berada di kota. Yang seringkali enggan masuk dalam pergaulan nasional/internasional yang banyak berlangsung di Magelang dan sekitarnya (bolinks@com).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar