Oleh PUTU FAJAR ARCANA
Borobudurlinks, 20 April 2012. OHD Museum, hari
itu, memamerkan karya lima maestro pelukis Indonesia: Affandi S. Soedjojono,
Hendra Gunawan, Widayat, dan Soedibio. Meski memamerkan ratusan karya, itu
hanya 2-3 persen dari koleksi benda seni yang dimiliki dokter Oei Hong Djien
(OHD). Pameran di museum menjadi istimewa tidak saja karena kehadiran begitu
banyak pencinta seni dari sejumlah negara dan kota, tetapi ia juga menyajikan
koleksi-koleksi langka yang jarang dilihat publik. OHD Museum, misalnya,
mengeluarkan puluhan sketsa dan drawing yang dikerjakan Hendra Gunawan selama
berada di penjara. Di sana juga terdapat karya-karya Affandi, Hendra, dan
Widayat yang diburu OHD sampai bertualang seorang ke Rio de Janeiro, Brasil.
Lukisan berjudul “Leda and the An” karya kubistik
Widayat diburu OHD tahun 1994 ke Brasilia. “Waktu itu saya dapat 30 lukisan
dari keluarga seorang duta besar yang pernah tugas di Jakarta, tapi saya cuma
punya uang 20.000 dollar AS, mana cukup. Sisanya saya cicil kemudian,” kata
OHD, Selasa (3/4).
Kami berbincang di teras belakang rumahnya di Jalan
Diponegoro 74, Magelang, di mana terdapat dua bangunan museum lain. Museum
pertama dibangun tahun 1997 untuk menyimpan karya-karya old master dan museum kedua
resmi berdiri tahun 2006 untuk menyimpan karya-karya kontemporer Indonesia.
Mendung yang menggantung langit Magelang mulai turun menjadi gerimis.
Samar-samar Gunung Sumbing di ufuk barat membentuk garis yang jauh.
Banyak orang mengecap Anda
orang yang nekat?
Ya (tertawa sampai
terkekeh-kekeh). Saya pergi seorang diri ke Brasil, bukan untuk pelesiran,
melainkan memburu lukisan Indonesia yang dibawa ke negeri itu. Eh, punya
uangnya cuma 20.000 dollar AS. Mana mungkin bisa beli lukisan 30 biji dengan
uang segitu. Tapi saya malah diberi bonus sketsa drawing. Saya cicil sisanya.
Berapa harga sesungguhnya waktu
itu?
Wah, sudah lupa. Sudah
lama itu tahun 1994.
Konon dulu juga Anda suka
mencicil kalau beli lukisan. Benar?
Ha-ha-ha, Affandi itu
lebih dari seorang bankir. Waktu itu kalau saya pinjam uang dari bank untuk
beli lukisan pasti tidak bisa. Lukisan Affandi bisa saya cicil sampai setahun,
ha-ha-ha. Dan semua uang yang saya belikan lukisan itu dari tembakau. No
tobacco no art, ha-ha-ha.
Sejak meninggalkan studi
spesialis patologi di The Catholic University, Nijmegen, Belanda, karena
orangtuanya meninggal, OHD mengaku mulai belajar berbisnis tembakau. Ia seperti
dipaksa keadaan. Bisnis tembakau adalah bisnis warisan yang sudah dimulai sejak
nenek moyangnya datang dari Xiamen, China ke Magelang pada tahun 1680-an.
“Saya tidak pernah belajar
soal tembakau dari ayah saya. Saya belajar dari para bakul yang sejak dulu
memasok tembakau. Di sini kalau mau hidup makmur harus berbinis tembakau,” kata
OHD.
Karena kemudian dikenal berprofesi sebagai grader
(pencium tembakau), OHD seperti “meninggalkan” profesi dokternya walaupun ia
masih sempat membantu misi Katolik di Temanggung dan sebuah poliklinik. “Tetapi,
saya tidak pernah benar-benar berpraktik sebagai dokter, praktiknya malah
grader dengan ribuan monster atau sampel tembakau,” katanya. Kelak pekerjaan “mencium”
aroma tembakau dan kekuatannya menganalisis saat belajar spesialis patologi
diakui OHD sangat berguna saat dia menimbang sebuah lukisan.
Bagaimana Anda
menghubungkan antara bisnis tembakau, grader, dan lukisan?
Oh, sudah jelas, tanpa
tembakau saya tidak bisa beli lukisan. Waktu pertama mengoleksi lukisan tahun
1965 itu, uangnya juga dari tembakau. Bahkan, sekarang gudang tembakau yang
dulu dipakai turun-temurun kini berubah jadi OHD Museum. Kerja sebagai grader
membuat saya memiliki panca indra yang peka. Penciuman dan mata harus tajam. Di
sekitar Magelang ini terdapat tembakau berkualitas baik dan mahal. Sering kali
ada pedagang yang mencampur dengan tembakau luar. Kalau kita cium, aromanya
berbeda. Jadi tidak hanya lukisan, tembakau juga ada yang palsu.
Bagaimana Anda bisa tahu
bahwa sebuah lukisan palsu?
Sekarang banyak sekali
lukisan Affandi, Hendra, Soedjojono, dan Widayat yang dipalsu. Kalau sudah
tahu aslinya pasti tahu lukisan yang palsu. Yang jual lukisan palsu belum tentu
juga tahu kalau lukisan itu palsu karena terkadang mereka dapat dari orang
lain.
Anda dianggap patron oleh
para kolektor yang lebih muda. Jika Anda membeli satu karya seorang pelukis,
lalu ramai-ramai mereka juga membelinya. Benar begitu?
Itu mungkin dahulu sebelum
ada balai lelang, apa yang saya koleksi jadi laku. Sekarang yang tentukan
pasar (lukisan) itu balai lelang. Zaman itu bagi saya sudah lewat. Di balai
lelang bisa terjadi macam-macam. Itu pasar terbuka seni rupa, apa pun bisa
terjadi, penggorengan (juga) bisa terjadi. Saya tidak ada artinya. Misalnya
dalam pameran ini saya kemukakan jago baru Soedibio, padahal orang hanya tahu
sedikit tentang dia. Saya masukkan dalam top five artist mungkin akan
mempengaruhi minat orang terhadap Soedibio. (Saya) bukan mengerek harga. Itu
bentuk apresiasi saja. Tetap penentu harga itu balai lelang, lho.
Dalam soal mengoleksi lukisan ada yang menyamakan
kegilaan Anda dengan Bung Karno. Pendapat Anda?
Bung Karno juga, kan, dekat dengan seniman. Dulu
ada yang ke sini karena menikah (maksudnya jual lukisan karena butuh uang).
Sekarang anaknya sudah delapan. Saya tidak pernah mau memanjakan pelukis. Kalau
jelek tak akan saya beli. Kalau tidak punya yang bagus, tapi butuh uang, saya
pinjami saja atau saya perkenalkan mereka kepada teman-teman kolektor lain.
Mungkin ada yang suka.
Apakah boleh dibilang kini
Anda memiliki koleksi terlengkap seni lukis Indonesia?
Kalau dibilang terlengkap
mungkin tidak, tetapi kalau dipakai untuk mempelajari seni rupa Indonesia
cukuplah. Apalagi sekarang seniman banyak, tidak mungkin mengoleksi karya
mereka semua. Cukup komprehensif dan ada gambaran tentang seni rupa Indonesia.
Ini kan, seharusnya dilakukan oleh negara, tetapi para pejabatnya cuma bilang
biar saja para kolektor yang melakukannya. Kami fasilitasi saja, katanya.
Seharusnya pemerintah itu bangun museum nasional yang lengkap atau beri
insentif pajak kepada para pemilik museum seperti di Singapura. Jangan malah
dipajakin.
Saran Anda kepada negara?
Sebenarnya keliru kalau
sekarang diprioritaskan untuk stabilitas politik dan ekonomi. Nah, akhirnya
malah politik kita tidak stabil, ekonomi juga banyak korupsi, kan? Kalau kebudayaan
digerakkan dalam membangun sendi-sendi moralitas mungkin hasilnya bisa berbeda.
Pada awalnya para seniman bekerja bukan untuk duit. Pak Widayat kalau sudah
suka orang, dia bisa berikan begitu saja lukisannya.
KOLEKSI.
Oei Hong Djien mulai
mengoleksi lukisan sekitar 30 tahun lalu. Kini di tiga museum dan gudangnya di
Magelang setidaknya telah terkumpul lebih dari 2.000 karya seni berupa lukisan,
patung dan karya instalasi. Selain mengoleks karya-karya Affandi, Soedjojono,
Hendra Gunawan, Widayat, dan Soedibio OHD juga memiliki karya Raden Saleh,
Walter Spies, Rudolf Bonnet, Theo Mier, Lee Man Fong, Nyoman Gunarsa, Hans Snel,
Made Wianta, dan Popo Iskandar. Ia juga mengoleksi karya-karya kontemporer,
seperti karya Entang Wiharso, Nasirun, Heri Dono, Eddie Hara, Agus Suwage, Ugo
Untoro, Tisna Sanjaya, Masriadi, Rudi Mantofani, Handiwirman, serta banyak
pelukis lain. Sebagian dari karya itu diburu OHD di sejumlah lelang dunia.
Anda banyak membeli karya
mahasiswa. Bagaimana Anda tahu satu lukisan pantas dikoleksi?
Ini kan soal rasa, tidak
pakai rasio. Memang ada hal yang subyektif. Karakter seniman itu pegang peranan
penting, tak hanya talenta. Yang paling berperan itu intuisi. Ini lahir karena pengalaman.
Apa yakin lukisan yang Anda koleksi nanti
pelukisnya jadi besar?
Dalam mengoleksi ada unsur avon turir,
nyerempet-nyerempet bahaya, tapi tidak ngawur. Kita harus punya pendirian,
tidak ikut-ikutan. Bahwa keliru itu manusiawi, jangan disesalkan. Kalau kita
keliru, oh itu uang kuliah, pelajarannya itu dari kesalahan-kesalahan. Kalau
ada yang mengaku tidak mengalami ini, bohong. Mengoleksi itu bukan nama,
melainkan karya. Prinsipnya, daripada mengoleksi karya Affandi yang jelek
lebih baik mengoleksi karya pelukis muda yang bagus. Kalau mengoleksi nama itu
artinya kita ikut-ikutan, lama-lama jadi kolekdol (istilah pelesetan dari kata
kolektor dan bahasa jawa didol atau dijual—membeli untuk dijual lagi).
Kenapa Anda tidak jatuh
jadi kolekdol?
Karena saya senang, jangan
sesekali melepas karya terbaik. Kita yang tentukan mana yang terbaik, harus yakin.
Ujiannya saat kita pamerkan. Saya punya guest book selama 30 tahun. Itu diisi oleh
orang-orang yang saya anggap mengerti. Itu juga jadi rahasia belajar. Kalau
segala sesuatu kita jalankan dengan senang dan ada passion, segalanya akan
berbuah. Umur saya sudah 73 tahun, di dunia seni sudah termasuk yang paling
senior, tetapi tetap sehat. Sekarang semua orang menoleh ke Magelang, kan?
Bagaimana Anda melihat dunia
seni rupa kita sekarang ini?
Sekarang ada koreksi
pasar. Dulu boom seni rupa era 2007-2009 dipacu oleh boom seni rupa kontemporer
China, lalu sini ikut-ikutan. Banyak yang kemudian melukis ala China dan laku tinggi.
Balai lelang gila, banyak pelukis muda laku, pelukis tua dilupakan. Balai lelang
memang orientasinya uang. Tetapi begitu terjadi krisis di Amerika dan Eropa,
semua berguguran. Korban banyak, seniman
dan para kolektor yang dulu beli mahal. Nah, sekarang ada koreksi kembali ke
old master. Maka, pameran ini saya beri judul “Back Basic”.
Situasinya saat koreksi
itu seperti apa, sih?
Tak ada yang percaya
bubble itu akan pecah. Pengertian terhadap uang saat itu sudah tidak benar.
Uang Rp 20 juta itu besar. Kemarin itu seniman muda hargai karyanya segitu,
dulu karyanya cuma puluhan-ratusan ribu saja. Itu yang kemudian jadi
malapetaka. Sejarah kariernya saja belum ada. Kendalanya kalau telanjur mahal
di pasar akan sulit masuk museum internasional. Seharusnya masuk museum itu,
kan, target berkarya. Ini juga kadang kesalahan galeri, yang penting harga
mahal.
Tumbuhnya banyak galeri tahun
1990-an, ada atau tidak perannya seni rupa kita?
Galeri tumbuh luar biasa.
Dulu Affandi kalau pameran urus sendiri di Balai Budaya Jakarta. Setiap boom muncul
galeri baru. Sekarang semua pakai kurator. Akibatnya, biaya jadi tinggi. Dunia
seni rupa jadi terdiri dari berbagai elemen, seperti seniman, kolektor, art dealer,
balai lelang, pengontrol, art critic, penerbit buku, dan kurator. Semua punya
fungsi sendiri. Kalau semua dijalankan dengan benar, itu bagus. Tapi, kan,
banyak yang overlapping. pekerjaan galeri diambil balai lelang, banyak kurator
jadi pemilik galeri. Kalau sudah begitu, kan, susah.
Konon karya-karya kita bagus,
kok tidak bisa menginternasional seperti pelukis China?
(OHD mohon izin menerima telepon.
Suaranya melengking dan keras. Rupanya ia sedang mengurus pengiriman buku dari
Jakarta yang akan diluncurkan pada saat pembukaan OHD Museum. Kira-kira 10
menit kemudian menutup teleponnya).
Ya, karya-karya
kontemporer China lebih dulu diapresiasi oleh kolektor-kolektor luar daripada
di dalam negerinya. Itu apa sebabnya? Sudah sejak dulu pewacanaan tentang
lukisan China kontemporer dilakukan oleh para tual China yang duduk sebagai board
member (anggota dewan) museum-museum internasional. Nah, kita tidak ada itu.
Kalau kita mau maju, celah-celah harus direbut.
OHD kemudian menawari kami
untuk berkeliling museum. Ia disertai menantunya yang kini duduk sebagai Direktur
OHD Museum, Letty Surjo, memandu kami untuk menyusuri lintasan sejarah seni
rupa Tanah Air. Setiap karya punya cerita, terutama ikhwal yang menyangkut
lika-liku perburuannya. OHD memang gila!(KOMPAS).
OEI HONG DJIEN
·
Lahir: Magelang, 5 April 1939
·
Pendidikan:
- 1964 lulus dokter
Universitas Indonesia, Jakarta
- 1966-1968 Spesialisasi
Patologi Anatomi di The Catholic University, Nijmegen, Belanda
·
Pekerjaan:
- 1964-1966 dan 1968-1992
Relawan pelayanan medis Katolik di Temanggung, Parakan, dan Magelang (Jawa
Tengah).
- 1968 Mewarisi bisnis
tembakau dan menjadi “grader”.
- 1994-2009 Menjadi kurator Museum
H. Widayat, Magelang.
- 2001-2005 Honorary Advisor Singapore
Art Museum.
- 2005-2009 Board Member Singapore
Art Museum
- 2010-sekarang Advisor The
National Art Gallery Singapore
- 2011-sekarang Pembina
Yayasan Biennale Yogyakarta
Terimakasih Informainya Obat Radang Pita Suara
BalasHapusObat Luka Di Anus