IKRANEGARA BER-DRAMATIC-READING DI MAGELANG.

Borobudur Links | Oktober 12, 2010 | 15.16 wib | Label: Event and News


Oleh: Mualim M Sukethi.

Borobudurlinks, 11 Oktober 2010.
Setelah Desember tahun lalu memukau public Magelang bersama Putu Wijaya dan Niniek L Karim, actor dan dramawan senior Ikranegara kembali unjuk kebolehannya di Magelang. Kalau dulu mereka mementaskan naskah ‘Kereta Kencana’, saduran Rendra, kini Ikranegara memainkan naskah Putu Wijaya bertajuk ‘Nyaris’.
Selain Ikra, pementasan bertempat di Studio Mendut, itu juga dimeriahkan oleh pemain-pemain ‘Teater Saja’ Jakarta, seperti Mamok Pratomo, Winda Daniel, dan pemusik Iran Baduy. Naskah yang sedianya dimainkan dalam bentuk ‘drama pendek’ itu, di Magelang, berubah menjadi ‘dramatic reading’.
“Saya terpaksa merubah format penampilan kami, soalnya set yang tersedia kurang tepat untuk pementasan teater sesuai dengan yang kami inginkan, “ kilah Ikra sebelum pementasan dimulai. Yefta Tandio dari Komunitas Teplok, penyelenggara acara, memang tidak menyediakan set khusus untuk pementasan ini. Set yang ada berbentuk instalasi batang-batang dan kandang bambu, dedaunan, hingga tali berukuran besar adalah kreasi Bambang Bro dari Gufi (Guyub Fotografi Indonesia). Komunitas fotografi yang baru berdiri di Magelang, sore itu juga mengadakan klinik fotografi dengan sesi pemotretan body-painting model di tempat yang sama.
Maka malam itu, Minggu 10 Oktober 2010, sekitar jam 20.30, Ikra bersama 3 rekannya memulai pertunjukannya dengan hanya duduk di kursi yang berada di tengah arena atau halaman belakang studio milik Sutanto Mendut itu. Ikra, Mamok, dan Winda, duduk di tengah arena. Sementara Iran agak di belakang ditemani perkusi yang ditepuknya pelahan sebagai ilustrasi adegan. Praktis selama pertunjukan mereka berempat tak beranjak dari tempat duduknya.

Mati Lampu.

Pertunjukan dimulai oleh suara erangan Ikra yang memerankan Putu Dia, lelaki tua yang sedang sekarat mendekati ajalnya. Dilanjutkan dengan semacam monolog tentang banyak hal. Mempertanyakan segala perbuatannya semasa hidup, fenomena social saat ini, hingga menawar agar diberi kesempatan memperpanjang hidupnya.
Monolog panjang Putu Dia itu kemudian disambut dialog seru ketika ketika dua tokoh yang berada di samping Ikra, Mamok sebagai Avatar Macan, dan Winda yang memerankan Avatar Gagak, meresponnya. Perbincangan berat, cenderung filosofis, yang berlangsung unlinier itu menunjukkan kualitas keaktoran mereka. Lenguhan, erangan, bahkan teriakan dan bentakan mewarnai dialog sepanjang hampir 1,5 jam itu. Sementara ketukan perkusi yang pelan dan lambat secara ritmis mengiringi dialog ketiganya.
Dialog yang mengalir lancar, serta kualitas vocal yang prima, menunjukan bahwa Ikra dkk adalah actor/aktris handal yang telah malang melintang hampir 50 tahun di jagad teater Indonesia. Dalam hal diksi, karena ini seni pembacaan, mereka telah teruji. Penonton pun cukup jernih mencerna isi pementasan.
Bahkan ketika lampu beberapa kali mati, hanya menyisakan satu lampu halogen kecil di belakang Ikra, mereka bertiga tetap bisa menjaga kelangsungan pertunjukan. “Kami tak terganggu oleh matinya lampu. Mungkin bagi penonton bermasalah. Sebenarnya untuk dramatic-reading yang dijadikan sasaran adalah telinga penonton. Padamnya lampu tidak mengganggu telinga, mestinya. Karena itulah kami masih bisa jalan terus melanjutkannya, “ kata Ikra mengomentari hambatan teknis yang banyak dikeluhkan penonton.
Namun kelancaran yang tidak memberikan jeda sepanjang pertunjukan, justru merupakan titik lemah pertunjukan ini. Irama dan tempo yang tak tergarap menyebabkan situasi dramatic tak terbangun dengan baik. Mestinya hal teknis semacam itu tak terjadi pada Ikra dkk. Mungkin hal ini terjadi karena mereka secara mendadak terpaksa memindahkan format teater menjadi dramatic reading. “Kami tak bisa memainkan adegan atau properties seperti teater biasa, “ kilah Winda, dalam dialog yang berlangsung sesudah pertunjukan usai.
Sementara Sutanto Mendut, pemilik tempat, sempat menyayangkan persiapan panitia yang dianggap kurang professional, sehingga banyak kekurangan selama pertunjukan. Mati lampu dan ketiadaan set hanya sebagian dari ketidaksiapan panitia. Secara khusus Tanto mengkritik Yefta, yang kali ini bertindak ‘one man show’, semua ditangani sendiri sehingga banyak hal terbengkelai. Bahkan Tanto sendiri yang terpaksa turun tangan mengatur parkir mobil dan motor para tamu.
“Ini adalah gambaran khas manajemen ala seniman kota Magelang, bukan seniman gunung. Kerja melibatkan banyak pihak, kok ndak pernah rapat sama sekali, “ kritik Tanto. Sedangkan tentang pementasannya sendiri Tanto berpendapat, penampilan pemain kurang maksimal karena kurang didasari rasa gembira dalam hatinya. “Basis kesenian adalah kebahagiaan jiwa,” imbuhnya.
Terlepas dari berbagai kekurangan itu, kehadiran Ikranegara dkk ini pantas diapresiasi kalangan seniman Magelang. Bagaimana pun, masyarakat Magelang pantas berterimakasih kepada Yefta Tandio dan Komunitas Teplok-nya yang mampu menghadirkan seniman-seniman papan atas seperti Ikranegara, Putu Wijaya, Niniek L Karim, Teater Koma, Ananda Sukarlan, Jubing Kristanto, Punakawan (Jaya Suprana dkk), dll. Selain Tanto Mendut, orang-orang seperti Yefta-lah yang mampu menghidupkan gairah senibudaya di kota tercinta ini. BRAVO !!! (bolinks@2010).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
  • 1st
  • 2nd
  • 3rd
  • 4th
  • 5th

Home | Mobile Version | Seni dan Budaya | Manusia Kreatif | Acara dan Berita | Festival 5 Gunung | Networking | Wisata
(c) 2013-2016 Modus Getar | Powered by Day Milovich