BOROBUDUR DALAM LOGIKA KEKUASAAN.

Borobudur Links | Oktober 14, 2010 | 07.06 wib | Label: art and culture


Oleh: Purnawan Andra.

Borobudurlinks, 14 Oktober 2010.
Hari Sabtu (25/9/10) lalu Kompas menurunkan artikel mengenai Candi Borobudur sebagai salah satu bagian penting dari sejarah peradaban kebudayaan Indonesia. Borobudur, bangunan batu yang dibuat dengan perhitungan arsitektur matang dan ragam hiasan seni tingkat tinggi itu menjadi representasi kemajuan teknologi, tingginya pencapaian ekspresi seni budaya serta kehidupan komunal yang berkualitas.
Prasasti Kayumwungan menyebut bahwa Borobudur diselesaikan pada masa kekuasaan Ratu Pramudawardhani dari Wangsa Syailendra pada 26 Mei 824 M. Nama Borobudur berasal dari kata Sanskerta bara (berarti candi atau biara) dan beduhur (tinggi. Dalam bahasa Bali kata itu mempunyai arti “di atas”) (Zainudin, 2009).
Candi Borobudur mempunyai arti menyeluruh, baik sebagai situs sejarah peradaban manusia dan catatan reflektif nilai-nilai kehidupan. Namun kini, bangunan karya leluhur masyarakat Jawa modern itu bisa dilihat sebagai sebuah mata rantai yang hilang dari sejarah masa kini.
Borobudur hanya menjadi simbol peradaban lain yang memutus silsilah orang Jawa masa kini sehingga asing dengan nilai-nilai spiritual yang terkandung didalamnya. Peranan bangunan bersejarah itu kini menjadi sekuler, menjadi barang dagangan kepentingan pariwisata semata.
Sangat kontradiktif dengan kenyataan bahwa Borobudur mempunyai sederetan makna yang sangat bertalian erat dengan dimensi kehidupan manusia baik dalam interaksi sosial maupun dalam wujud pengalaman transendental. Secara simplifikatif candi tersebut tidak semata-mata mengandung nilai-nilai kemegahan namun juga sarat dengan ajaran-ajaran bijak Sang Budha.

Reduksi.

Memandang Borobudur sebagai elemen pariwisata menjadi respon yang naif, sporadis dan sangat tidak visioner. Sikap ini telah mereduksi pemahaman dan kepemilikan publik atas jejak historis, proses transformasi identitas kultural, dan konsepsi nilai spiritualitas atasnya. Terbukti, Borobudur dikeluarkan dari tujuh keajaiban dunia, sebagai bukti kegagalan masyarakat dalam merawat dan meruwat kehidupan kulturalnya, baik dalam bentuk fisik maupun konsepsi nilai yang ada di baliknya.
Borobudur menjadi bagian industri kebudayaan yang juga menjadikan semua artefak budaya sebagai produk industri, dan sudah tentu komoditas. Hal ini memaksakan penyembahan, pemujaan, pengkultusan, eksostisme tertentu yang disebut Peter L. Berger sebagai "semesta simbolisme modernitas" dengan bawah sadar kapitalisasi kultural.
Dalam hal ini, seturut logika Bourdieu (dalam Antariksa, 2002), pemerintah tidak mempunyai 'kemelek-hurufan budaya' (cultural literacy), yaitu pengetahuan akan sistem-sistem makna dan kemampuannya untuk menegosiasikan sistem-sistem itu dalam berbagai konteks budaya.
Lebih lanjut, konsepsi ajaran Budha di candi Borobudur adalah medan budaya sebagai institusi, nilai, kategori, perjanjian, dan penamaan yang menyusun sebuah hierarki objektif, yang kemudian memproduksi dan memberi "wewenang" pada berbagai bentuk wacana dan aktivitas (dalam hal ini religi). Justru pada titik pemahaman ini, pemerintah memakai logika terbalik dan menganggap Borobudur semata ”modal”, untuk menentukan apa dan bagaimana ia harus didistribusikan.
Dalam logika budaya yang terhegemoni semacam ini, pemerintah berkuasa menciptakan ide-ide dominan. Relasi kekuasaan dan kekerasan menjadi tidak kentara, dalam artian kekerasan yang ada tertutupi oleh kekuasaan yang bekerja secara halus melalui representasi simbol-simbol.
Aturan memakai sarung di candi Borobudur dan pentas rutin sendratari sejarah pembangunan candi menjadi semacam proyek imperatif negara yang dengan vulgar mengesampingkan keraifan lokal yang tersirat pada Borobudur sebagai simbol sejarah peradaban manusia. Agenda eksotis sarung dan pentas kesenian hanya mementingkan permukaan, penampakan, penampilan, hiburan, dan permainan tanda-tanda tanpa kedalaman makna dan tidak mengacu kepada realitas.

Kekuasaan.

Inilah modus operandi kekuasaan yang terselubung di dalam praktik simbolik bahasa/wacana sehingga melahirkan kekerasan simbolik sebagai sebuah mekanisme sosial untuk mereproduksi kekuasaan.
Seturut Gramsci, problematika semacam ini adalah dominasi mutlak kapitalisme sebagai suatu sistem sosial dalam masyarakat yang gagal mengatasi berbagai permasalahan mendasar dalam hal ketidakseimbangan politik, ekonomi dan sosial budaya.
Secara sistematis ideologi hegemoni ”mencekoki” individu dan masyarakat dengan pikiran-pikiran, bias-bias, dan sistem-sistem preferensi tertentu dimana kekuasaan cenderung melakukan hegemoni makna terhadap kenyataan sosial (Ibrahim, dkk, 1997). Kebanggaan dan kecintaan kita terhadap nilai-nilai reflektif Borobudur semakin lama semakin melemah karena adanya dorongan yang sangat kuat dari kapitalisme global. Akibatnya, kita lebih bangga menumpuk simbol kultural yang tak komunikatif dan justru menghamba pada kepentingan kapitalisasi kekinian.
Dalam konteks inilah, pendidikan nilai dan visi baru melalui pendidikan karakter bangsa dapat menjadi suatu upaya dan langkah yang amat mendasar untuk melakukan counter hegemony. Dengan mengembangkan nilai lama menjadi lebih adaptif terhadap lingkungan baru yang positif, produktif dan melestarikan, memanfaatkan dan mengembangkan kekayaan budaya lokal, dengan tetap mempertimbangkan fenomena produk kebudayaan lain yakni kebudayaan umum (massa, komersial), kebudayaan alternatif (seni, invensi) dan kebudayaan klasik yang mengandung dimensi kesejarahan, maka akan mendorong penemuan identitas bangsa yang sejati dan adaptif terhadap laju jaman.


Purnawan Andra,
peserta Malaysia-Indonesia-Thailand (MIT) Exchange Program 2010 di Universiti Sains Malaysia (USM) Penang, Malaysia. Lahir dan besar di Magelang.

Tulisan ini diambil dari Harian KOMPAS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
  • 1st
  • 2nd
  • 3rd
  • 4th
  • 5th

Home | Mobile Version | Seni dan Budaya | Manusia Kreatif | Acara dan Berita | Festival 5 Gunung | Networking | Wisata
(c) 2013-2016 Modus Getar | Powered by Day Milovich