ENAM JAM SENIMAN GUNUNG DI PUNCAK EKSPRESI.

Borobudur Links | Agustus 03, 2010 | 06.33 wib | Label: festival lima gunung


Oleh : M Hari Atmoko.

Borobudurlinks, 3 Agustus 2010.
Seorang penari lengger perempuan dari Gunung Sumbing tiba-tiba kesurupan. Tak berapa lama kemudian, dua penari laki-laki pun mengalami hal serupa, di tengah iringan tetabuhan gamelan bertalu-talu.
Sejumlah orang menggiringnya ke depan patung Ganesha dengan aneka sesaji seperti air putih, teh, kopi, bunga mawar, melati, kantil, nasi putih dan ketan, serta kemenyan. Apa yang ditunjuk oleh penari lengger kesurupan itu diambilkan oleh salah seorang dukun untuk kemudian dimakannya, lalu mereka melanjutkan tariannya.
Mereka adalah tiga di antara 24 penari lengger perempuan dan laki-laki grup "Cahyo Budoyo Sumbing" Dusun Krandegan, Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah dengan dipimpin kepala dusun Sumarno menyajikan keseniannya pada sesi pamungkas pementasan pada Festival Lima Gunung IX Tahun 2010, Minggu (1/8) sore.
Puluhan seniman petani berasal dari kawasan lima gunung di Kabupaten Magelang (Merapi, Merbabu, Anding, Sumbing, dan Menoreh) lainnya menimpali tarian "Lengger Lima Gunung" itu dengan gerakan mengikuti tabuhan gamelan itu secara kolaboratif di panggung terbuka Studio Mendut, sekitar tiga kilometer sebelah timur Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Ratusan penonton seakan tak beranjak dari tempatnya menyaksikan pergelaran puncak selama enam jam festival itu. Mereka umumnya adalah masyarakat petani berasal dari kawasan lima gunung setempat. Tidak terlihat pejabat penting ikut berbaur menyaksikan pergelaran itu, namun justru sejumlah wisatawan mancanegara terlihat menikmati tontonan itu.
Festival yang diselenggarakan secara mandiri oleh seniman petani Komunitas Lima Gunung (KLG) Magelang itu berlangsung sejak 25 Juli hingga 1 Agustus 2010. Puncak festival itu berlangsung sejak pukul 10.00 hingga 16.00 WIB di Studio Mendut, milik pemimpin tertinggi KLG, Sutanto Mendut. Mereka menyuguhkan berbagai kesenian tradisional dan kontemporer, performa seni pada festival bertema "Sudro Satrio (Ngulandoro)" itu. Tema itu maksudnya menggambarkan hasil perjalanan atas gerakan kebudayaan KLG.
Masyarakat petani gunung digambarkan melalui tema itu sebagai golongan sudra atau rendah namun telah secara satria atau berani berkiprah dalam gerakan kebudayaan di tingkat regional, nasional, dan internasional melalui berbagai pergelaran karya mereka yang sarat pesan kemasyarakatan, kemanusiaan, perdamaian, dan cinta alam baik di Magelang maupun kota-kota besar lainnya di Indonesia.
Panggung terbuka Studio Mendut terlihat berhias instalasi belasan penjor dengan anyaman janur berbentuk bulat aneka ukuran yang diberi nama "Penjor Wahyu", ratusan instalasi ancak (anyaman bambu sebagai tempat sesaji), berbagai patung batu Merapi, taburan kembang mawar dan alas tanah yang terlihat digelar dengan instalasi jerami. Tabuhan musik antara lain gamelan, truntung, tambur, dan tiupan seruling seolah tidak pernah berhenti selama enam jam, tatkala mereka memasuki puncak pergelaran festival tahunan tersebut.

Ismanto bersama grupnya "Gadung Mlati" Dusun Ngampel, Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, di lereng barat Gunung Merapi menyajikan performa berjudul "Profesor Seni". Mereka terlihat mengecat tubuhnya dengan berbagai warna artistik dan menggunakan properti alam membawa aneka sesaji terutama jajan pasar dan palawija melakukan gerak performa berkolaborasi dengan jumlah seniman perempuan grup "Atas Bumi Bawah Langit" Muntilan pimpinan Wenti Nuryanto dan Waskito yang menyuguhkan tarian kontemporer "Nyemat" (Menganyam tikar).
Aliran Sungai Pabelan Mati di belakang studio seni dan budaya itu pun menjadi arena mereka berolah performa. Mereka menceburkan diri di sungai itu dengan terus melakukan berbagai gerak teatrikal yang tampak menarik itu. Sejumlah seniman masing-masing membawa tampah berisi aneka jajanan dan palawija berjalan sambil menyilakan para penonton untuk mengambil makanan tradisional itu untuk disantap sebagai suguhan atas puncak FLG.
Seniman petani grup "Bekso Turonggo Mudo" pimpinan Supadi, dari Desa Mantran, Kecamatan Ngablak, di lereng Gunung Andong, menyuguhkan tarian kuda lumping secara enerjik di panggung terbuka. Sementara itu, komunitas "Topeng Saujana" Desa Keron, Kecamatan Sawangan, pimpinan Sujono, di lereng Merapi menampilkan tarian kontemporer alam "Kukilo Gunung", tarian yang bertutur tentang kerusakan alam yang mengakibatkan aneka burung (Kukilo,red) punah. Pada kesempatan itu Sujono membacakan puisi berbahasa Jawa "Dos Pundi" (Bagaimana).
Komunitas "Sekolah Gunung" yang dipimpin Endah Pertiwi menyajikan tarian "Gendro Yakso", grup perempuan "Fatma Budaya" kawasan Gunung Tidar, Kota Magelang menyuguhkan tarian "Solah Kiprah", komunitas Warangan Merbabu "Dhom Sonthil" pimpinan Handoko menampilkan tarian "Truntung Topeng Ireng", seniman petani Desa Petung, Kecamatan Candi Mulyo, lereng Gunung Merbabu, pimpinan Timbul menyuguhkan tarian kontemporer desa "Grasak Gemblung" beriring musik akapela dengan syair-syair terkesan menakjubkan dan lucu.
Selain itu, seniman petani komunitas "Wargo Budoyo Gejayan" Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, di lereng barat Merbabu pimpinan Riyadi, secara berturut-turut menyuguhkan musik kontemporer "Truntung Sudro", tarian "Geculan Bocah", dan "Gupolo Gunung", sedangkan komunitas Padepokan "Tjipto Boedojo Tutup Ngisor" Desa Sumber, Kecamatan Dukun, di lereng Merapi pimpinan Sitras Anjilin menyuguhkan wayang bocah berjudul "Satrio Sudro" dengan mengambil kisah pewayangan "Arjunawiwaha".
"Festival selama seminggu ini 'marem' (Memuaskan,red), semua turun gunung bersuka ria menggelar pementasan," kata budayawan Magelang yang juga salah seorang pengasuh Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Kabupaten Magelang, KH Muhammad Yusuf Chludori (Gus Yusuf). Sajian kesenian yang selama ini dikelola KLG, katanya, bukan sekadar pentas seni namun menggambarkan betapa kebudayaan lokal kental dalam kehidupan mereka berkesenian dan menjadi kekuatan mereka dalam merespons tantangan zaman.
Ia mengatakan, mereka tetap eksis berkesenian justru karena selalu berpijak kepada nilai-nilai tradisi masyarakat desa dan gunung. "Kekuatan budaya lokal itu telah membuat 'Lima Gunung' eksis. Mereka menari jatilan tidak mengandalkan duwit tetapi semangat bersama sebagai seniman petani lima gunung," katanya mencontohkan.
Sujono mengaku, komunitasnya selalu mengikuti festival tahunan itu karena sebagai kesempatan puncak bertemu dan bergembira bersama komunitas seniman petani lainnya yang tergabung di KLG. "Kami membiayai sendiri, tidak minta-minta kepada pihak lain, kami ingin membuktikan bahwa kami mandiri dan terus berkarya, menjalani proses berkesenian dan berkebudayaan dengan mendasarkan kepada kearifan masyarakat kami," katanya.

Festival selama seminggu itu berlangsung di berbagai tempat antara lain pembukaan melalui prosesi tirakatan di Suroloyo, puncak tertinggi Pegunungan Menoreh, perbatasan antara Kabupaten Magelang, Jawa Tengah dengan Kulon Progo, Yogyakarta, Minggu (25/7) dini hari, pameran instalasi "Karma Rasa" oleh grup "Gadung Mlati" (26-30 Juli 2010) ditutup dengan prosesi "Tebus Tresno" di aliran Kali Trising.
Selain itu performa kolaborasi "Kontemplasi Sungai Malam" di tepi Sungai Pabelan Mati, Kelurahan Mendut, Kecamatan Mungkid, Selasa (28/7) pukul 00.00 hingga 05.00 WIB, pementasan tradisi "Kuda Kepang Papat" di Mantran, Gunung Andong, Selasa (28/5) pukul 15.00-24.00 WIB, pentas "Lengger Lima Gunung" di Krandegan, Sumbing, Jumat (30/7), pentas "Jatilan" di Desa Sewukan, Dukun, kawasan Merapi, Sabtu (31/7) pukul 16.00-24.00 WIB.
Sutanto terkesan tak kuasa menumpahkan lebih banyak kata-kata budayanya seperti biasanya dia berpidato dengan diselingi "guyonannya" untuk mengekspresikan betapa seniman petani lima gunung berada di puncak silaturahmi kulturalnya itu. Tetesan air matanya setelah dirinya memotong tumpeng untuk diberikan kepada sejumlah petinggi komunitas itu, seakan mewakili ungkapan nilai budaya yang mengalir deras atas puncak ekspresi gerakan kebudayaan oleh KLG selama ini.
Panas matahari makin tinggi sedangkan suasana menjadi hening, tanpa terdengar tetabuhan, ketika Sutanto melangkah mundur ke deretan berdiri para tokoh lima gunung itu, usai berpidato. Sekejab kemudian tepuk tangan riuh terdengar dari siapa saja yang mengelilingi panggung itu.
"Sembilan tahun membuktikan kemandirian lima gunung, festival tahun ini bahkan tanpa sponsor baik dari penguasa maupun pengusaha, tanpa bicara uang. Semua mengalir melalui kekuatan masyarakat desa dan gunung, kekuatan budaya pertanian. Selanjutnya akan tetap mandiri bersama kearifan gunung," katanya.
Sejumlah tokoh lima gunung menorehkan tanda tangan masing-masing di atas tanah panggung terbuka itu sebagai simbol komitmen mereka mengelola kemandirian dalam gerakan kebudayaannya. Para seniman petani itu kini telah kembali ke desa dan kawasan lima gunung masing-masing dengan mengusung puncak ekspresi Festival Lima Gunung yang tentunya bakal menjadi kekuatan mereka melanjutkan gerakan kebudayaanya.
"Pada puncak festival ini mereka memperkuat baterai keseniannya supaya kearifan dan kebudayaan gunung makin 'gemebyar' (gemerlap,red.)," kata Gus Yusuf. (ANTARA JatengNews).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
  • 1st
  • 2nd
  • 3rd
  • 4th
  • 5th

Home | Mobile Version | Seni dan Budaya | Manusia Kreatif | Acara dan Berita | Festival 5 Gunung | Networking | Wisata
(c) 2013-2016 Modus Getar | Powered by Day Milovich