PENJUAL TENONGAN PEMANTIK KENANGAN.

Borobudur Links | Juni 04, 2010 | 19.00 wib | Label: Tourism


Oleh: Mualim M Sukethi.

Borobudurlinks, 4 Juni 2010.
Setiap pagi atau sore hari, Mbok Mundiyah selalu setia menyambangi pelanggannya. Dengan tenongan sejumlah 4-5 susun digendongannya perempuan setengah baya itu menyusuri gang-gang di sekitar kampung Magersari, Kemirikerep, dan Bayeman, Kota Magelang. Ia tak pernah merasa lelah, kendati gendongan itu cukup berat bagi perempuan seusianya.
Kalau ada pelanggan yang memberhentikannya, MBok Mundiyah langsung menggelar tenongannya. Maka terhamparlah 4-5 tenongan itu dengan isi bermacam ragam jajan, kue, dan gorengan khas Magelang. Sekedar untuk mengingatkan, tenongan adalah wadah yang terbuat dari bambu berbentuk tenggok agak ceper dengan ukuran yang cukup besar (diameter 50 cm).
Saya dan keluarga di Magersari bukanlah pelanggan Mbok Mundiyah, karena kami bukanlah golongan orang kaya yang bisa setiap hari beli jajanan. Tapi bagaimana pun juga sosok mbok-mbok yang setia menggendong tenongan itu tak mudah terhapus dari kenangan kita, yang lahir dan besar di Kota Magelang.
Itu sekitar 30-40 tahun lalu………
Kini Mbok Mundiyah tak kuat lagi menjajakan tenongannya keliling kampung. Perempuan yang kini berusia 72 tahun itu cukup membuka tenongannya di emperan toko di Jalan Pajajaran, sekitar pasar Tukangan, Kota Magelang.
“Sejak tahun 90 saya berhenti jualan keliling kampung. Dulu mangkal di depan Toko Nevo (elektronik) itu. Tapi karena tokonya dibangun, saya pindah ke sini, “ kata Mbok Mundiyah memulai pembicaraan. Tenongan yang digelar juga tidak sebanyak dulu. Kini hanya 3 tenong. Tapi isinya masih cukup beragam. Panganan khas Magelang yang kini sulit dijumpai di lain tempat masih tersedia di situ. Ada clorot, rolade daun singkong, mendhut, cakwe, gorengan, arem2, lemper, sego kuning, bakmi/mihun, kacang asin/telur, susu dele, setup degan, dll.
Sembari ngobrol dengan ibu 9 anak, dan nenek 9 cucu, ini saya menyempatkan diri mencicipi tahu goreng isi somay, mendhut, serta mihun goreng. Minumnya setup degan. Kalau tahu goreng isi somya atau mihun goreng tak usah dijelaskan karena hingga saat ini masih banyak dijumpai.
Sedangkan mendhut adalah panganan terbuat dari beras ketan dibentuk bulat-bulat kecil segede bakso. Bulatan itu diisi parutan kelapa dan gula jawa, lalu dioles(topping) areh santan yang berasa gurih, dan kemudian dibungkus daun pisang dan dikukus. Satu bungkus biasanya terdiri dua bulatan mendhut.
“Slruuup, “ rasa manis kenyal bercampur gurih menjadi sensasi sendiri ketika bulatan mendhut itu masuk ke mulut dan sedikit dikunyah. Lumayan nikmat sekedar melepas kangen yang puluhan tahun mengendap.
50 tahun lalu Mbok Mun, panggilan Mbok Mundiayah, memulai berjualan tenongan. Saat itu, di kampungnya, Bayanan, Pakelan, Kabupaten Magelang, ia adalah ibu muda yang hanya tahu nderep dan tandur (menanam dan memanen padi). Itu pun sawahnya milik orang lain. Ya.. Mundiyah hanyalah buruh tani yang tak memiliki lahan sama sekali.
Adik iparnya, Tumijah, kemudian mengajak Mundiyah berjualan tenongan. “Dulu untuk jualan nggak butuh modal. Ada beberapa juragan yang menyediakan tenongan beserta isinya, “ ujar Mbok Mun menceritakan awal mulanya ia ikut berjualan tenongan. Mbok Mun kemudian menyebutkan beberapa nama pengusaha tenongan di awal tahun 60-70an, antara lain: Nya Ma Tik, Nya Ko Hwa, Nya Lan, dll. Nya adalah sebutan pengganti ibu bagi peranakan Cina di Magelang.

Penulis masih ingat, dulu selepas subuh, dari rumah juragan-juragan tenongan itu muncul rombongan mbok-mbok mengendong tenongan. Mereka kemudian menyebar ke seluruh kampung-kampung di kota Magelang. Suatu pemandadangan yang khas dan unik. Mungkin, di antara mereka ada MBok Mun dan Mbok Tumijah.
Dari berjualan tenongan itu Mbok Mun bisa membantu suami memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Sepanjang usianya perempuan yang nampak murah senyum itu sempat dua kali berumah tangga. Dari suami pertamanya, sesama buruh tani, Mbok Mun beroleh 3 (tiga) anak.
Setelah ditinggal mati suami pertamanya, Mbok Mun sempat menikah lagi. Suami keduanya adalah tukang batu/kayu, yang memberinya 6 (enam) anak. Jadi total ia telah melahirkan 9 (Sembilan) anak. “Dari berjualan tenongan inilah saya membesarkan anak-anak itu, “ urai Mbok Mun tanpa menyiratkan kesan kesedihan.
Ke 9 anaknya kini juga telah memberikan 9 (Sembilan) cucu. Bahkan mereka juga telah mengaruniai 3 (tiga) orang cicit. Salah seorang cicitnya kini bersekolah hingga SMU, suatu jenjang pendidikan yang tak bisasdijangkau anak dan cucunya. “Saya sendiri ndak pernah sekolah. Jadi tak bisa baca tulis. Tapi bisa ngitung uang..he he. “ kata Mbok Mun terkekeh, memperlihatkan giginya yang tinggal 2 (dua). Gambaran pas seorang nenek seperti dalam lagu ‘Burung Kakatua’.
Kini selain mangkal, tak lagi keliling kampung, ia juga tak lagi bekerja pada seorang juragan. Panganan-panganan itu ia dapat dari pembuat panganan yang berasal dari beberapa kampung. “Mereka yang mengantar ke sini. Saya juga tak perlu membayar langsung. Saya hanya menjualkan, “ jelas Mbok Mum sembari menerima bungkusan kresek berisi 40 bungkus kacang asin dari seorang ibu.
Ia kemudian membayar senilai 100 ribu rupiah. “Ini untuk membayar kacang yang kemarin, yang sudah laku, “ tambah Mbok Mun. Kacang seharga 400 rupiah/bungkus itu ia jual seharga 500 rupiah/bungkus. Setidaknya setiap bungkus kacang itu memberi keuntungan sebesar 100 rupiah bagi perempuan yang kini menjanda karena suami keduanya juga sudah almarhum.
Karena hubungannya yang terbilang puluhan tahun, Mbok Mun senantiasa terlibat obrolan ringan yang cukup akrab dengan para pelanggan maupun pemasok dagangannya. Dari situ nampak keramahan dan kepasrahan hidup dari perempuan renta ini.
Kendati sudah setua itu, Mbok Mun masih mampu menjaga disiplin bangun sebelum subuh, mempersiapkan diri, dan kemudian berangkat menuju pangkalannya berdagang. Dari desanya ia hanya butuh sekali naik angkot. Turun di muka RSU Tidar, dilanjutkan berjalan kaki menuju pangkalannya yang hanya berjarak sekitar 150 meter di belakang rumah sakit itu.
Kemudian ia mengeluarkan tenongan yang sehari-hari dititipkan di rumah kenalannya. Tidak lama kemudian pemasok langganannya berdatangan. Berbagai panganan pun memenuhi tenongan miliknya itu. Sekitar jam 10.00 pagi, ia memindahkan dagangannya ke depan Bank Buana di depan RSU.
“Antara 1-2 jam saya dasaran di depan bank itu. Di sana juga banyak karyawan yang jadi pelanggan saya. Nanti balik ke sini lagi, “ kata Mbok Mun sembari menaikkan tiga tenongan itu ke atas becak langganannya. Becak itu pula yang nanti mengangkutnya kembali.
Sekitar jam 15.00 sore hampir semua panganan habis terjual. Kalau ada sisa ia bungkus rapi. Kalau yang keringan bisa ia jual esok hari. Sedang yang basahan diambil kembali oleh pemasoknya diganti yang baru. Sekitar jam 17.00 ia sudah tiba kembali di rumah menemui cucu dan cicitnya.
Dari seharian berjualan tenongan itu sedikitnya 50 ribu rupiah untung yang bisa dibawa pulang Mbok Mun. “Kalau dulu waktu mulai jualan untungnya paling 5-10 rupiah. Tapi sudah cukup buat nopang kebutuhan keluarga. Ya…buat mbesarken anak cucu ini, “ kata si mBok yang kini tinggal bersama dua cucunya itu.
Itulah rutinitas Mbok Mundiyah sehari-hari. Tidak pernah libur mBok ? “Yah…kaya’ pegawai saja. Kalau pegawai masuk ndak masuk kerja, dapat gaji bulanan. Kalau saya ndak jualan ya ndak dapat duit, “ sergah Mbok Mun. “Liburnya ya kalau sakit. Tapi jarang sakit tuh…” tambahnya.
Kapan pension mbok, bukankah orang setua mbok lebih baik istirahat di rumah ? “He he he…selama masih diberi umur oleh Gusti Allah dan tenaga masih kuat saya akan tetap jualan tenongan. Dengan jualan ini kan saya bisa bantu biaya sekolah cucu dan cicit saya tho..” tegas Mbok Mun.
Saya mengakhiri pembicaraan dengan membayar sejumlah 3500 rupiah untuk 3 jenis panganan dan setup degan yang kunikmati. Cukup murah untuk sekedar pengganjal perut di pagi hari. Aku meninggalkan perempuan perkasa ini. Ingatanku melayang pada penggalan sajak Hartoyo Andangjaya yang berjudul “Perempuan-Perempuan Perkasa”:

Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta
Siapakah mereka ?
Akar-akar melata dari tanah perbukitan turun ke kota
Mereka: cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa.


(bolinks@2010).

29 komentar:

  1. Pungky Purbawati:
    saluut..hebat super women..spt mbah gendong bringharjo..

    BalasHapus
  2. Mualim M Sukethi:
    Pung, Mbok Mun kini dasarane di samping toko/penjahit romomu, di ujung Jalan Pajajaran... dpn Nevo.

    BalasHapus
  3. Pungky Purbawati:
    Iya...jd pingin..dulu klau jmput bp...ditenongan ..agk sore hrga turun 50 %...mau2...jenange n martbak khasnya...hehehe...

    BalasHapus
  4. Fath WS:
    apal banget aku dengan mbok ini, Panjenengan paham betul detail Magelang

    BalasHapus
  5. Mursito Wahyu:
    Mksh Lim,,,,istriku pelanggan mBah Mundiyah,, tiap sabtu & minggu aq pst antar istri belanja ke tukangan...

    BalasHapus
  6. Mualim M Sukethi:
    @Pungky. Wah kalau gitu belanjanya sore2 aja ya...ada diskon gede (50%).
    @Fath. Sbg penulis saya cenderung detail. Makanya tulisan saya pjd anjang2... Itu berkat kuliah 'Penghayatan Lingkungan', yg wajib diikuti bg calon seniman di IKJ. Tapi akibatnya malah gagal jd seniman besar..sekedar penghayat lingkungan yg baik...he he narsis nih. Pdhal sdh 30 th saya ninggalin Mgl.
    @Nok. Iya, pasar Tukangan itu juga unik. Tempatnya sekedar di gang2 sempit, tp komoditasnya kualitas klas satu. Krn pelanggannya golongan 'the haves' Mgl. Kpn2 saya mau nulis ttg pasarnya.

    BalasHapus
  7. Gatot Sudaryanto:
    Yup... wajah yg sangat tidak asing ... setiap aku ke Pasar Tukangan salah satu tujuan ya ke Tenongan itu .... salut dgn kepasrahan & kesederhanaan Mbok Mun ini ....
    Lim, lha mbok diulas juga Es Puter/Es Pung Magersari mbiyen ... masih eksis kah?

    BalasHapus
  8. Mualim M Sukethi:
    @Gatot. Mesti ada award untuk Mbok Mun ini. Penghargaan bagi kesetiaan profesi...he he. Yo..kpn2 tak tulise para tukang es pung-pung itu. Kebetulan yg tua tinggal 'Pak Jenggo'. Ingat nggak dulu ia yg paling keren...selalu bertopi koboi bak Franco Nero.

    BalasHapus
  9. Gatot Sudaryanto:
    Lim, aku masih inget itu Mr Jengggo .... jo lali bahas juga sing es diirisi kae (jenenge aku lali) ... sing aku kelingan nek biyen arep nang G.Tidar mampir sik nang nggon pabrik es kuwi, terus melu ngrewangi nggoyang kaleng sing nggo nggawe es mau & bar ngono oleh bonus seiris es potong

    BalasHapus
  10. Fath Ws:
    Sing dimaksud Bung Gatot mesti pabrik es diujung komplek PTM kan? tempat pak Muslim, es potong itu : es agogo.
    Pabrik itu sekarang nerima pesanan es krim untuk pesta.

    BalasHapus
  11. Mursito Wahyu:
    Gus Lim,,, saiki sing nglola ush es pung~pung ngomah Moeslim Bagong pow ?? Koq pak Jenggo isih dodolan....

    BalasHapus
  12. Gatot Sudaryanto:
    Fath; Yak betul itu, lokasinya di ujung PTM ... masih adakah es agogo itu ?? .... nek perlu napak tilas lagi ke ujung PTM...

    BalasHapus
  13. Eko Magelang:
    ayo..kapan-kapan nulis tentang pasar tukangan, mas mualim, mbak fath, mas gatot, mas mursito..siap pora ki ? idep-idep nglaras karo memorabilia Magelang,

    BalasHapus
  14. Mualim M Sukethi:
    @All. Usaha es krim/es puter/es agogo/es goyang itu peninggalan ortu-ku. Kini dikelola adikku, Muslim, sekalian usaha 'Nata de Coco'. P'Jenggo isih sehat, dan msh setia nyusuri jalanan Mgl. Ia juga sdh jualan es krim ini sekitar 40 th lbh. Ikut ortu-ku sjk akhir 60-an. Tolong2 teman2 inventarisasi kuliner atau venues yg tergolong memorabilia. Satu persatu coba tak tulisnya. Dan jangan lupa kunjungi artikel lainnya di http://www.borobudurlinks.com/

    BalasHapus
  15. Mursito Wahyu:
    @pak Eko ~siap sj klo cm idhep2 nglaras di tukangan,,,hehehe... Yg nulis p.eko & alim sj...
    @Alim ~thx infone,, ush "nata de coco" neng omah lor / kidul,,, cb ush swargi ibuk gek dhisik alim tulis + kopi bubuk'e

    BalasHapus
  16. Woro Esti:
    wah.... sip...sip....sip.... mas mualim, sy jd ngiler ingat tenongan , dulu makanan favoritku mentho, tahu siomay, mi goreng dan lapis beras... hemmm
    kalo skrg yg jd favorit keluargaku gudek toko rukun... uenak tenan lo mas, kalo aku suka tahu pojok... tp sering ga sempet

    BalasHapus
  17. Mualim M Sukethi:
    @Nok. Usaha 'nata..' neng omah kulon, dadi siji karo usaha es (pinggir golf, mburi Giant). Yg pasti diingat, pioner 'mangut lele' di Mgl dan hingga kini rasanya blm tergantikan adalah masakan warung ibuku...Sayang dulu blm ada trend wisata kuliner. Dan saya blm 'punya media'...he he. Tapi bagaimana pun juga itulah kenangan indah 'perjuangan seorang... Lihat Selengkapnya ibu', dgn modal warunvng tenda (PKL) bisa ngangkat derajat anak2nya. Thanks Mom...I love you full. Semoga kamu bahagia di sorga melihat keberhasilan anak2nya.
    @Woro. Mentho ki sing koyo opo yo ? Coba deskripsikan....
    Soal gudheg akuur... kalo kupat tahu, aku lbh suka yg di Dompleng (Mertoyudan). Sayur dan tahunya terasa lbh segar, dan paling murah dr ke 3 ikon kupat tahu (dibanding Tahu Pojok atau Pak Pangat).

    BalasHapus
  18. Fath Ws:
    Bung Mualim dari PTM to, jebul yo tanggane, almarhum Bapak di Komojoyo (Mamik) kakak2ku di PTM (Depan SD)..kali ingat.... sama Harjo Bolu?

    BalasHapus
  19. Rahman Yakob:
    semoga mbok mundiah selalu dalam keadaan sehat ......

    BalasHapus
  20. Woro Esti:
    mento tu makanan dari daging dicampur tepung pake santan kanil dibungkus daun, rasanya gurih sekali...makanan inilah yg sy suka tp sampe skrg lum tahu cara membuatnya. ya tahu kupat p pangat jg suka, kalo yg di Dompleng malah tahu

    BalasHapus
  21. Juliwanti:
    Sayang aku nggak diajak. Kalau sdh jalan sendiri keasyikan, apalagi kalau ketemu kuliner yg waaah...lupa deh anak istri... he he. Ayah, I love You...always lho.

    BalasHapus
  22. Mualim M Sukethi:
    @Fath. Waktu kecil hingga SMA aku tinggal di Magersari Panjang, berarti belakang rumahmu. Dulu aku sering main di tempat mbak Muji, dia teman SMAku. Mas Harjo Bolu inget banget. Tp waktu ortu-ku pindah ke PTM, aku sdh cabut ke Jkt hingga kini.
    @Rahman. Amien. Wah abang satu ini, lama kali nggak ketemu kita. Gimana Lampung, kpn jd nyalonin Gubernur ?
    @Woro. Aku inget. Trims infonya.
    @Ndukyang. Besok kalau Asa libur panjang kita ke Mgl lagi. Puaskan nyari kuliner khas. InsyaAllah. I love you too...

    BalasHapus
  23. Mei Rini:
    Terimakasih Pak. Cerita ini membuat saya terharu, bangga dg ibu penjual tenongan itu yg punya kemandirian kuat & sekaligus kangen berat dg kota magelang. Salam untuk orang2 magelang.

    BalasHapus
  24. Amalia Soeharto:
    ethos kerjamu mbok Mun...membuatku iri...

    BalasHapus
  25. Adhy Rical:
    kau tahu bagaimana caranya mengajakku mencintai perempuan. wajah seperti ini yang buatku sadar bahwa perjuangan memang harus dilalui. sudah lama tak menikmati makanan yang dijajakan begitu kecuali masuk kampung dan melewati hutan-hutan.
    salam.

    BalasHapus
  26. Mualim M Sukethi:
    @Lia. Jangan sekedar iri, jdkan inspirasi. Semangat !
    @AR. Keindahan (perempuan) seringkali kita temukan pd hal2 sederhana spt Mbok Mun. Tugas kita untuk menemukan keindahan itu, dan menguarkannya agar menulari semua orang. Semangat !

    BalasHapus
  27. Khotimus Solihah:
    jadi tersanjung nie, baca artikelnya he..he..

    BalasHapus
  28. Mualim M Sukethi:
    @Khotim. Seseorang dengan mata pena seniman hrs mampu mengubah sesuatu yg biasa menjadi indah. Apalagi kalau materinya sdh indah spt... Tunggu, kutulis dirimu (kalau sdh 72 tahun)...he he pis.

    BalasHapus
  29. Khotimus Solihah:
    akui saja kalo mmg perempuan itu indah.. spt saya bilg kemarin lebih dekat dng sifat2 profetis...
    BUKTINYA: pak mualim nikahnya ma perempuan kan bkn laki2
    ha...ha...

    BalasHapus
 
  • 1st
  • 2nd
  • 3rd
  • 4th
  • 5th

Home | Mobile Version | Seni dan Budaya | Manusia Kreatif | Acara dan Berita | Festival 5 Gunung | Networking | Wisata
(c) 2013-2016 Modus Getar | Powered by Day Milovich