MISTERI SRI AYATI DALAM ‘SENJA DI PELABUHAN KECIL’.

Borobudur Links | April 21, 2010 | 10.30 wib | Label: creative people


(In Memoriam Sri Ayati Soeparsono - 1919-2009).

Oleh: Sakya Suu Kyi

Borobudurlinks, 21 April 2010.
Akhir tahun 70-an, di sebuah gedung pertemuan di kota Magelang, sekelompok seniman mengadakan acara ’Mengenang Chairil Anwar’. Di antara seniman yang punya hajat malam itu, muncul seorang nenek yang didapuk membacakan puisi karya Chairil Anwar berjudul ‘Senja Di Pelabuhan Kecil’. Belum habis puisi itu dibaca, nenek yang nampak anggun, itu tercekat. Air mata menetes di pipinya. Ia tidak mampu meneruskan membaca puisi romantic karya penyair terpenting Indonesia itu.
Beberapa seniman muda yang melihat momen mengharukan itu cepat tanggap. Mereka kemudian memapah nenek itu dan mendudukkannya di kursi depan panggung. Siapakah nenek itu, yang demikian terhanyut menghayati puisi yang dengan kuat menggambarkan suasana hati penyairnya itu ?
Ya, sang nenek memang punya kaitan erat dengan puisi terkenal itu. Nenek berusia hampir 60 tahun yang masih menyiratkan sisa-sisa kecantikan, itu adalah Sri Ayati, yang namanya secara khusus tercantum pada sub-judul puisi berjudul ‘Senja Di Pelabuhan Kecil’. Untuk mengingat kembali kekuatan suasana serta arti khusus nama Sri Ayati, berikut kutipan sajak itu.

SENJA DI PELABUHAN KECIL.
Buat Sri Ayati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut.

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak
elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak Bergerak
dan ini tanah dan air hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba diujung, dan sekalian selamat jalan
dari pantai ke empat, sedu penghabisan bisa terdekap.


Banyak kalangan yang menduga Sri Ayati punya hubungan yang sangat khusus dengan ‘sang binatang jalang’, julukan bagi Chairil Anwar merujuk pada puisinya yang fenomenal ‘Aku’. Namun perempuan yang lahir di Tegal, pada 19 Desember 1919, ini menepis dugaan itu.

“Saya dan Chairil memang berteman akrab. Kami acapkali bertukar pikiran mengenai puisi. Berbicara dengan Chairil itu dapat menghidupkan semangat. Kami sama-sama berjuang saat itu, “ kata Sri Ayati, yang di masa mudanya sempat tinggal di Jakarta. Di ibukota itu ia juga akrab dengan beberapa seniman pejuang antara lain HB Jassin, Sutan Takdir Alisyahbana, Muhammad Yamin, Usmar Ismail, Nursyamsu Nasution, Gadis Rasyid, Rosihan Anwar, dan Basuki Abdullah.
Saat itu Sri Ayati adalah anggota Persatuan Pelajar Pejuang (PPP) yang diketuai Muhammad Yamin. Ia juga mengagumi keberanian Muhammad Yamin, yang selalu menggunakan bahasa Indonesia dalam setiap rapat-rapatnya, sesuatu yang dianggap tabu saat itu. Sri Ayati pernah berperan menjadi Ken Dedes, dalam drama ‘Ken Arok dan Ken Dedes’ yang ditulis dan disutradarai ‘Bapak Bahasa Indonesia’ ini.
Untuk mengetahui lebih lanjut hubungan Bu parsono dengan Chairil Anwar, berikut kami sajikan petikan wawancara ES Wibowo, penyair Magelang, dengan Sri Ayati. Wawancara ini dimuat di Harian Swadesi, tanggal 5 Mei 1991.

Apakah sajak ‘Senja Di Pelabuhan Kecil’ itu merupakan ungkapan cinta Chairil Anwar kepada Anda ?

Saya rasa bukan. Dari seorang teman, saya mendengar kalau Chairil memang mengagumi saya. Tapi saya sendiri tidak mengerti apa yang dikaguminya dari saya. Saya merasa tidak mempunyai keistimewaan sama sekali.
Saya juga baru mengetahui kalau sajak itu dipersembahkan untuk saya, setelah Mimi Syahrir (anak angkat Sutan Syahrir) menyampaikannya suatu hari.

Bagaimana perasaan hati Anda ketika mengetahui bahwa sajak itu digubah khusus untuk Anda ?

Tentu saya sangat terharu. Tetapi semata-mata mengingat seorang karib yang telah tiada.

Tentang sajak itu sendiri, bagaimana menurut Anda ?

Bagus sekali. Suasana atau mood sajak ini terasa sendu. Coba Anda simak kalimat yang berbunyi ‘gerimis mempercepat kelam’. Kalimat itu adalah gambaran langsung yang dapat kita rasakan dari suasana sendu itu. Bagi saya sajak ‘Senja Di Pelabuhan Kecil’ merupakan karya yang paling bagus dari Chairil Anwar.

Bagaimana menurut pengamatan Anda, tentang sosok Chairil Anwar ?

Chairil Anwar adalah seniman yang bakatnya tinggi dan semangatnya menggebu. Pemilihan kata dalam sajaknya sangat efektif. Ia menggunakan bahasa yang unik dan eksentrik. Kata-katanya seolah-olah diilhami oleh suasana yang sangat kuat. Mungkin ia belum mencapai puncak yang diinginkan, tapi peminat sastra pasti tahu bahwa Chairil telah berhasil menyampaikan intuisinya secara ekspresif.

Adakah sajak lain dari Chairil yang dipersembahkan untuk Anda ?

Tidak ada. Perlu Anda ketahui, saya bergaul dengan Chairil berlangsung dalam kurun waktu yang tidak lama. Tahun 1945, saya mengikuti suami bertugas ke Serang, dalam perang fisik merebut kemerdekaan. Baru kembali ke Jakarta tahun 1947. Jadi banyak yang tidak saya ketahui tentang Chairil, dan saya tak sempat menanyakannya, karena kawan baik itu keburu meninggal dunia.

Suami Sri Ayati adalah Soeparsono, seorang dokter militer, yang berjuang dan bertugas di berbagai daerah. Termasuk di Magelang. Di kota kecil yang terkenal sebagai basis militer itu, dr. Soeparsono tercatat sebagai Direktur Rumah Sakit Tentara (RST) Magelang. Keluarga dokter ini menempati rumah yang terletak di sekitar Taman Badaan.
Selama di Magelang, Sri Ayati yang lebih popular dipanggil Bu Parsono, aktif dalam berbagai kegiatan budaya. Ia dikenal sebagai ‘ibu’ bagi para seniman di kota yang indah itu. Selain sebagai teman diskusi yang menyenangkan, ia juga ringan hati untuk menyantuni berbagai kegiatan yang diadakan para seniman. Rumahnya menjadi semacam tempat persinggahan bagi seniman luar kota yang mengunjungi Magelang.
Semasa di Magelang, Bu Parsono juga membuka dan mengelola hotel ‘Saraswati’ di Borobudur. Hotel kelas melati ini juga menjadi tempat favorit bagi para seniman dari dalam mau pun luar negeri ketika mengeksplorasi candi Borobudur. Kini hotel itu sudah dijual, dan dikelola pemodal besar, menjadi hotel eksklusif yang cukup mahal tarifnya. Sehingga tidak bisa lagi digunakan para seniman untuk menginap atau sekedar kongkow.
Di akhir usianya, Bu Parsono tinggal di Jakarta. Ikut anaknya, Ir Moch.Effendy, di Jalan Sitanggiri, Jakarta Selatan. Tak banyak yang ia lakukan di sisa usianya itu. Ia meninggal dunia pada tanggal 30 Desember 2009, atau dikaruniai usia hingga 90 tahun. Sebuah usia yang tak pendek, berbanding terbalik dengan Chairil Anwar, yang meninggal di usia muda. (bolinks@2010).

11 komentar:

  1. Ariana Pegg:
    thanks taggnya, senang bisa tahu lebih dekat dg sosok Sri Ayati
    *gerimis mempercepat kelam..

    BalasHapus
  2. Kirana Kejora:
    terimakasih telah diberi artikel yg sgt berharga ini...berguna buat makin memeperkaya jiwa karya!

    BalasHapus
  3. Ensadi J Santosa:
    beruntung sempat ketemu beliau, di seberang candi borobudur.....

    BalasHapus
  4. Titiek Wong Magelang:
    bermanfaat bgt nuwun

    BalasHapus
  5. Mualim M Sukethi:
    @Peggy. Ini juga salah satu perempuan indah, menurutku.
    @Kirana. Saya hanya sekedar membuka misteri, agar diketahui bersama. Alhamdulillah kalo bermanfaat.
    @Mas Joko. Betul mas. Cuma kini hotel itu sdh jadi hotel berkelas, jd tak terjangkau lagi bg seniman...he he. Saya dulu ketemu Mas Sardono juga di situ.
    @Titik. Sama2. Sebarkan buat teman2 Mgl lainnya.

    BalasHapus
  6. Aant S Kawisar:
    dari foto usia tuanya, bisa dimengerti kenapa chairil sampai tergila-gila...masih membayang kecantikannya.

    BalasHapus
  7. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  8. Aang Sukardjasman:
    Innalillahi wa inna'ilaihi rojiun. Mualim, aku pernah bertemu muka dengan Bu Aryati di tahun 1966-67, bersama kawan-kawan, ketika itu sedang getol2nya terlibat dalam TEMA (Teater Magelang) yang dipimpin Hamung Tukidjan. Kami juga membicarakan sajak Chairil Anwar itu, dan jawaban beliau seperti dalam wawancana di atas. Kami berbincang seputar ... Lihat Selengkapnyaaktivitas kesenian di kota Magelang dan kiprah TEMA sendiri. Beliau memberi kami dukungan moril dan materil dan yang menggembirakan beliau sempat menonton pementasan kami. Saat perbincangan itu beliau menyuguhi kami pisang goreng, dalam piring kecil dan diberi garpu kecil. Suatu yang asing bagi kami yang biasa makan pisgor dengan asal "mencomot" seperti sudah menjadi kebiasaan makan di warung-warung. Ah, sebuah kenangan yang manis. Slamat jalan Bu Aryati.

    BalasHapus
  9. Mualim M Sukethi:
    Mas Aang, pisgor yg disajikan dgn cara itu yg sering Bu Sri Ayati suguhkan buat teman2 seniman yg berkunjung ke rumahnya. Kenangan indah ttg perempuan indah....

    BalasHapus
  10. Erni Sumiyati:
    Ternyata masih banyak perempuan2 Indonesia yang hebat yang belum aq kenal. Thanks Mas Mualim... Thanks for the article and thanks for tagging my name..

    BalasHapus
  11. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
 
  • 1st
  • 2nd
  • 3rd
  • 4th
  • 5th

Home | Mobile Version | Seni dan Budaya | Manusia Kreatif | Acara dan Berita | Festival 5 Gunung | Networking | Wisata
(c) 2013-2016 Modus Getar | Powered by Day Milovich