TAHLIL BERGEMA DI SEMINARI MAGELANG.

Borobudur Links | April 21, 2010 | 12.55 wib | Label: Event and News


Oleh: Hari Atmoko.

Borobudurlinks, 21 April 2010.
Lepas magrib menyisakan gerimis, setelah sejak sore kota Magelang, yang dikelilingi lima gunung, diguyur hujan deras. Orang pun mulai bergerak mengendarai sepeda motor dan mobil pribadi memasuki kompleks hijau dengan pepohonan rindang dan hamparan rumput yang tertutup gelap. Deretan obor di kanan dan kiri jalan masuk Seminari Menengah Mertoyudan menyala seakan menembus terang estetika ekologis setiap orang yang berdatangan ke kompleks di tepi Jalan Raya Magelang-Yogyakarta, di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah itu.
Seminari adalah tempat para remaja mencoba menelusuri panggilan hidup khusus mereka menjadi imam Katolik. Sekitar 250 remaja dari berbagai tempat terutama di Jateng dan Daerah Istimewa Yogyakarta kini menempuh pendidikan imamat di seminari itu dari kelas nol hingga kelas III. Di lingkup pendidikan formal, lembaga itu setara dengan SMA.
Seorang pamong seminari, Romo Antonius Banu Kurniawan, menelepon penulis menjelang petang itu sekadar memberitahu bahwa panitia peringatan 100 hari wafat mantan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memutuskan memindahkan tempat acara bertajuk "Merajut Merah Putih" dengan melibatkan tokoh lintas agama itu dari halaman ke aula konser musik seminari karena hujan.
Puluhan seminaris duduk rapi dengan memegang alat musik konser masing-masing di panggung tanda kesiapan mereka membangun kekuatan suasana atas peringatan untuk Sang Guru Bangsa itu. Ratusan umat lintas agama tak tertampung di aula itu. Panitia agaknya telah menghitung secara cermat keadaan itu sehingga mereka menyiapkan deretan gelaran tikar di serambi sepanjang sekitar 50 meter di depan kelas para seminaris, sebuah "hall", dan salah satu aula lainnya yang terletak di depan ruang konser itu. Sejumlah layar monitor lebar di berdiri di beberapa tempat itu untuk membantu mereka menyimak suasana di ruang utama.
Seakan tak ada jarak antara umat dengan para tokoh lintas agama yang hadir pada Minggu (18/4) hingga menjelang tengah malam itu. Mereka yang terdiri atas laki-laki, perempuan, pemuda, termasuk para perempuan berjilbab dan suster berasal dari berbagai kongregasi itu duduk berbaur di gelaran tikar. Para tokoh lintas agama yang hadir antara lain Ketua Forum Persaudaraan Umat Beragama Yogyakarta, K.H. Abdul Muhaimin, pengasuh Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam Tegalrejo Kabupaten Magelang, K.H. Muhammad Yusuf Chudlori (Gus Yusuf), pimpinan Wihara Buddha Mendut, Bante Sri Pannavaro Mahathera, budayawan Komunitas Lima Gunung Magelang, Sutanto Mendut, budayawan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Romo Mudji Sutrisno, dan Rektor Seminari Menengah Mertoyudan, Romo Antonius Gustawan.
Selain itu, terlihat pimpinan komunitas Kong Hu Chu Tempat Ibadah Tri Dharma Muntilan, Hing Artanto, pimpinan Gereja Kristen Jawa Kota Magelang, Pendeta Bambang Sukoco, Wakil Ketua Gerakan Pemuda Ansor Jawa Tengah, Achmad Madjidun, dan Kepala Gereja Katolik Kevikepan Kedu, Romo Krisno Handoyo. Semua menyantap hidangan yang sama-sama sederhana di bungkus plastik antara lain "sego kucing", bakwan, "tahu susur", tempe goreng, dan wedang jahe, yang diambil secara prasmanan sejak mereka masuk ke kompleks itu.
Foto Gus Dur ukuran 20R berpigura kayu warna hitam terpampang di salah satu sisi panggung, sejumlah perwakilan umat lintas agama berjalan lalu meletakkan bunga sedap malam di sebuah bokor di bawah foto itu. Bunga sedap malam menjadi piranti khas umat Buddha saat menggelar persembahyangan. Lampu aula dimatikan. Bante Pannavaro yang mengenakan jubah biksu berwarna kuning emas itu beranjak dari tempatnya bersila, berjalan mendekati lilin besar yang berhias dengan deretan puluhan lilin kecil warna putih di bawah foto Gus Gur.
Pannavaro yang juga sahabat dekat Gus Dur itu terlihat menyalakan lilin dan selanjutnya menyerahkan lilin-lilin lainnya kepada sejumlah pemuda berbaju lengan panjang warna putih dan celana panjang warna hitam. Entah apa maksudnya prosesi itu. Mungkin bisa dimaknai sebagai simbol atas pewarisan perjuangan menguatkan kampanye pluralisme yang telah diperjuangkan Gus Dur selama hidupnya.
Beberapa saat setelah Romo Banu bersama grup orkestra seminari itu menyuguhkan tembang populer bernafas islami "Tamba Ati", seorang ulama berasal dari Cirebon, Jawa Barat, Kiai Raden Ahmad Fuad, menyusul beranjak dari tempat bersila dan maju ke panggung. Ia duduk secara santun di deretan kursi kedua dari kanan untuk membacakan tahlil. Suasana takzim terasa di kompleks seminari itu saat sang kiai melantunkan tahlil "lailla haillahllah". Tiada Tuhan selain Allah. Semua orang yang hadir dengan lilin di tangan masing-masing terkesan hening, menyimak selama sekitar setengah jam darasan doa dan tahlil untuk Gus Dur itu.
Jari-jemari tangan sang kiai dengan baju koko dan bersurban itu pun bergerak konstan, menghitung butir-butir tasbih kecilnya, seiring lantunan "lailla haillahllah" seratus kali mengiring darasan doa berbahasa Arab. Gus Yusuf, salah satu pembicara sarasehan malam itu seakan menunjukkan sikap rendah hati dan menegaskan bangunan riil nan menakjubkan atas toleransi umat, saat merespons darasan tahlil itu.
"Tahlilnya terlalu lama, setengah jam, untungnya umat Katolik dan lainnya bisa menghargai seperti Gus Dur, ini kenyataan toleransi kita," katanya. Ia pun berandai-andai. Jika malam itu setiap kelompok umat beragama mendaraskan doa selama setengah jam dengan cara masing-masing, "Merajut Merah Putih" untuk mengenang Gus Dur itu bakal selesai saat subuh.
Sang bante pun merespons ucapan Gus Yusuf dengan senyum tuanya yang tampak santun, Sutanto Mendut yang bertindak sebagai moderator sarasehan itu terlihat tertawa lepas, sedangkan hadirin secara serempak juga tertawa seolah hormat terhadap autokritik Gus Yusuf itu.
Mungkin boleh dibilang bahwa perjuangan Gus Dur secara tulus untuk menguatkan pluralisme Indonesia, secercah telah tampak saat tahlil yang khas cara Islam itu bergema eksotis di relung-relung seminari itu. Darasan ungkapan dari para tokoh tentang sosok Gus Dur pun kemudian mengalir malam itu. Ungkapan mereka seakan membius umat lintas agama yang hadir di seminari itu.
Mereka seolah "mengiyakan" keunikan atas Guru Bangsa yang disebut oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, saat pemakaman Gus Dur di Jombang, Jawa Timur, sebagai tokoh pluralisme Indonesia itu. Pannavaro mengatakan, kekuatan Gus Dur adalah ketulusannya memberikan penghargaan kepada pihak lain yang berbeda. Justru karena Gus Dur tanpa pamrih sehingga selalu dikenang oleh berbagai kelompok masyarakat.
"Banyak kelompok di Tanah Air selalu membuat waktu khusus untuk mengenang wafat Gus Dur. Sejak tujuh hari, 40 hari, dan kini 100 hari, ini akan terus dilaksanakan karena perjuangan tulus Gus Dur, karena pembelaan dan penghargaan Gus Dur terhadap perbedaan," kata Pannavaro yang juga tokoh penting di kalangan biksu Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI) itu.
Mudji Sutrisno, mengatakan, hanya jalan kebudayaan yang mampu menjadi landasan membangun sikap saling menghormati dan toleransi masyarakat yang terdiri atas berbagai suku, agama, ras, dan antargolongan. "Pendekatan politik dan ekonomi tidak mampu membangun sikap itu, tetapi hanya secara kultural yang bisa," katanya.
Gus Dur bersama para tokoh lintas seperti Romo Mangunwijaya dan Nurcholis Madjid ketika itu, katanya, mendengungkan religiusitas. Mereka, katanya, tidak pernah ingin mempersatukan agama-agama tetapi justru memupuk keragaman sebagai kekayaan yang indah atas bangsa dan masyarakat Indonesia.
Ia mengatakan, gerakan pluralisme menghadapi tantangan kelompok transnasional yang fanatik terhadap salah satu agama dan menafsirkan sendiri agamanya dengan meminjam tangan Tuhan. "Kelompok transnasional memang tantangan gerakan pluralisme," katanya.
Muhaimin yang juga pengasuh Pondok Pesantran Nurul Umahat Kota Gede, Yogyakarta itu, mengaku, merasakan dahsyatnya keindahan pluralisme yang dibangun oleh Gus Dur. Pluralisme yang menjadi spiritualitas Gus Dur, katanya, penting untuk dielaborasikan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Ia mengatakan, keragaman menjadi kodrat Bangsa Indonesia sehingga siapa pun yang ingin menyamakan baik secara politis maupun agama, pasti gagal. "Saya senang bante datang ke rumah, saya bahagia datang ke wihara, saya bangga bisa menginap di Katedral Jakarta. Para suster yang hendak kaul kekal sering menginap di pondok saya, empat hingga lima hari, dan bahkan mereka belajar dan mencoba mengenakan jilbab lalu berfoto bersama. Tidak ada masalah karena memang Indonesia ini plural," katanya.
Orkestra seminari pun mengakhiri peringatan 100 hari Gus Dur melalui suguhan satu lagu dalam empat bahasa yakni Indonesia, Arab, China, dan Inggris. Tema lagu tentang salam damai itu biasanya menjadi salah satu nyanyian rohani setiap kali umat Katolik mengikuti misa kudus, menjelang mereka menerima komuni suci.
Syair dalam bahasa Arab atas lagu berjudul "Kubawa Damai" itu sebagai berikut, "....Salimna salam mualaikum, salimna salam mualaikum, salimna salam mualaikum, salimna salam, salam, salam muaalikum".(Antara Jateng/bolinks@2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
  • 1st
  • 2nd
  • 3rd
  • 4th
  • 5th

Home | Mobile Version | Seni dan Budaya | Manusia Kreatif | Acara dan Berita | Festival 5 Gunung | Networking | Wisata
(c) 2013-2016 Modus Getar | Powered by Day Milovich