MASALAH KOTA PUSAKA.

Borobudur Links | November 24, 2009 | 20.12 wib | Label: Event and News



Oleh: Mualim M Sukethi.

Borobudurlinks, 24/11-09.
Beberapa waktu lalu, antara tanggal 23-25 Oktober 2009, telah berlangsung Kongres I Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI). Pada kongres yang berlangsung di kota Sawahlunto, Sumatera Barat, itu mengemuka beberapa pokok persoalan, diantaranya masalah pelestarian dan pemanfaatan kota pusaka sebagai tujuan wisata.
Di Indonesia persoalan pelestarian kota pusaka memang bukan satu hal yang popular. Masyarakat, khususnya para pengambil keputusan, belum memperhitungkan masalah itu sebagai prioritas pembangunan dan pengelolaan suatu kota.
Dr Laretna T Adhisakti, Dosen Arsitektur UGM, dalam pengantar diskusi Kongres JKPI, mengakui persoalan pelestarian di Indonesia masih perlu perjuangan, kendati telah tercantum dalam Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia yang dibikin tahun 2003. Dalam piagam yang mengacu kepada Piagam Washington itu masalah pelestarian kota pusaka mendapat prioritas perhatian.
Dr laretna, yang tak lain adalah penggagas ‘Omah UGM’, sebuah upaya pelestarian kerajinan perak Kotagede itu, menjelaskan pelestarian berbeda dengan preservasi. "Dalam pelestarian ada penambahan, penyesuaian sedangkan preservasi hanya mengawetkan. Contoh, kain batik atau songket yang semula hanya untuk acara tradisional sekarang dipakai di mana-mana. Itu dilestarikan, ada penyesuaian, " papar Sita, begitu ia biasa disapa.
Untuk keperluan pelestarian yang lebih dulu dilakukan adalah inventarisasi. Setelah itu perlu dibuat peta pusaka. Salah satu kegunaan peta pusaka nampak ketika bencana meluluhlantakkan kota, seperti tsunami di Aceh, gempa Yogyakarta, dan Padang Pariaman. Dari peta pusaka, keberadaan pusaka yang hancur atau lenyap bisa cepat ditemukan dalam rangka penilaian cepat kerusakan pusaka (damage heritage rapid assesment).
Demikian pula dengan perencanaan kota, tata ruang misalnya, harusnya sudah menyangkut isu pelestarian pusaka sehingga jadi bagian sosial budaya kota. Benda pusaka mempunyai nilai ekonomi sehingga pelestarian pusaka erat hubungannya dengan pembangunan ekonomi.
Pembangunan ekonomi merupakan bagian dalam pelestarian pusaka. Tengok saja kota-kota di negeri maju, mereka selalu berupaya memanfaatkan kembali sebuah pusaka melalui olah desain arsitektur pusaka . Tujuannya tak lain agar bangunan pusaka mampu membiayai diri sendiri melalui pemanfaatan yang memiliki nilai ekonomi.
"Indonesia punya banyak pusaka, alam, budaya, bangunan, bahasa, saujana, sampai pusaka karya rakyat seperti kedai, warung yang unik, yang sudah turun temurun terus dilestarikan. Jadi, pusaka itu luas, tidak hanya bangunan atau yang tangible tapi juga yang intangible Semua itu harus dilestarikan, dikembangkan, dijadikan aset kota sehingga punya nilai ekonomi," demikian Dr Laretna Adhisakti.

Namun masalah pemanfaatan ekonomi dari pusaka kota tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Untuk menjadikannya sebagai tujuan wisata, misalnya, dibutuhkan upaya sosialisasi dan promosi yang membutuhkan biaya tak sedikit.
Bicara soal promosi, Wali Kota Jakarta Utara Bambang Sugiyono, mengharapkan dalam kongres JKPI bisa ditemukan satu formula bersama untuk masalah promosi. . "Dengan terbentuknya JKPI, maka promosi wisata kota-kota pusaka di Indonesia bisa meluas. Mudah-mudahan dalam kongres ini, kita bisa sharing soal bagaimana mengelola dan mengembangkan wisata kota pusaka," ujar Bambang.
Rasanya selama ini memang belum ada kota-kota di Indonesia ini yang cukup serius menggarap dan mempromosikan potensi pusaka kotanya. Kalau toh ada upaya promosi itu, hanya dilakukan secara sporadic dan konvensional. Media yang dilakukan pun terbatas hanya brosur atau program iklan sekedarnya.
Beberapa kota membuat beberapa terobosan dalam berpromosi. Semarang, misalnya, menjalin kerjasama dengan Bali. dPelaku wisata di ibukota Jawa Tengah itu menawarkan secara khusus kekayaan pusaka kotanya ke pada sesama pelaku wisata di Bali. Seperti kita ketahui, Pulau Dewata yang menjadi tujuan wisata kelas dunia itu justru miskin bangunan yang bisa dikategorikan ‘kota lama’. Ketut Sedana Arta, pengurus Asita Bali, mengatakan, “Semarang punya kawasan kota lama yang merupakan wisata heritage yang sulit tertandingi kota lain. Andai itu dibenahi dan dijual kepada turis, tentu sangat bagus “.
Sementara kota Magelang membuat program ‘1 Day Tour’, yang ditawarkan secara khusus bagi berbagai elemen masyarakat. Yang sudah menikmati program itu adalah biro-biro wisata di Jogya dan Semarang, Kadinas Budpar, Rektor dan Kepala Sekolah di lingkungan eks karesidenan Kedu.
“Kami berharap peserta ‘1 Day Tour’ itu akan mempromosikan wisata kota pusaka ini kepada lingkungan dan masyarakat sekitar mereka, “ kata Catur Sawahyo, Sekretaris kantor Dinas Pariwisata Budaya Pemuda dan Olahraga Kota Magelang.
Lebih jauh lagi, masalahnya bukan sekedar promosi atau sosialisasi, tapi hingga masalah pendidikan bagi masyarakat agar lebih memahami dan mencintai pusaka kotanya. Badan Pelestari Pusaka Indonesia (BPPI) telah mencobanya dalam bentuk kurikulum, yang sejak setahun lalu telah diajarkan di 11 sekolah dasar di Yogyakarta. Model pendidikan ini dalam waktu dekat akan dikembangkan ke Sawahlunto, Solo, Denpasar, dan Jakarta.
Maslah pendidikan pusaka ini tidak hanya perlu bagi generasi muda, tapi terlebih bagi para punggawa kota di Indonesia, lebih khusus lagi bagi penentu kebijakan di kota-kota pusaka yang tergabung dalam Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI). Tentu saja dengan materi dan cara penyampaian yang berbeda antara murid SD dan penguasa wilayah.
Pemahaman akan arti pusaka, apa keuntungan dari pelestarian pusaka, siapa yang harus turun tangan dalam melestarikan pusaka, atau sejauh mana pusaka itu berharga menjadi begitu penting dengan kehadiran JKPI. Anggota JKPI tentu diasumsikan paham tentang hal tersebut di atas bahkan diharapkan mereka bisa menyebarkan pemahaman tersebut kepada seluruh warganya, dan tak ketinggalan, rekan sesama walikota.
"Libatkan masyarakat dalam rencana pelestarian, proteksi masing-masing kota ditingkatkan. Pembangunan kota jangan malah merusak kota, kota itu kan tempat hidup. Belum banyak kota yang punya peta pusaka. Kalaupun ada, kebanyakan terbatas ikon padahal pusaka rakyat juga penting tapi belum tersentuh," papar Dr Laretna.
Jadi persoalan kota pusaka ini adalah persoalan lintas jaringan, lintas sektoral. Bukan semata-mata urusan departemen yang mengurusi pariwisata dan budaya. Masyarakat dari semua elemen juga harus terlibat. Apakah Anda sudah memiliki kesadaran dan kepedulian itu ? (Disarikan dari beberapa sumber/bolinks@2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
  • 1st
  • 2nd
  • 3rd
  • 4th
  • 5th

Home | Mobile Version | Seni dan Budaya | Manusia Kreatif | Acara dan Berita | Festival 5 Gunung | Networking | Wisata
(c) 2013-2016 Modus Getar | Powered by Day Milovich