Global Voices in Borobudur
Penulis Dunia Bersyiar dalam Spiritualisme Borobudur
oleh Sholahuddin al-Ahmed
Stupa Buddha di punden berundak tampak menyaksikan anak-anak dari Lereng Gunung Merbabu mengepakkan kaki dan meliuk-liukkan tubuhnya dalam tarian warok bocah. Tampak dari kejauhan sinar biru membelah langit hitam membasuh bagian puncak Arupadhatu Candi Borobudur menyiratkan kedamaian dan mengajarkan falsafah kehidupan.
Tarian itu sebagai pembuka acara ‘’Global Voices In Borobudur’’ yang merupakan salah satu rangkaian Ubud Writers and Readers Festival (UWRF). Berlangsung di kaki candi tepatnya di Manohara Resort, Taman Wisata Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, semalam. Para penulis dan penyair dari berbagai belahan dunia hadir dalam acara itu. Mereka mencoba merasakan sinaran nirwana dari elemen spiritual batu berundak yang dibangun Raja Samaratungga pada masa dinasti Syalendra.
Di sanalah para penulis dan penyair itu menyuarakan kata hatinya menggambarkan suasana Indonesia yang sedang berduka karena dilanda berbagai bencana. Melukiskan seisi dunia dengan berbagai cerita tentang nilai-nilai kemanusiaan yang sedang terjadi saat ini.
Triyanto Triwikomo editor sastra Suara Merdeka berkesempatan tampil pertama membacakan puisinya. Dia ditemani Jan Coranal dari Australia. Triyanto mencoba mengetuk hati yang hadir dengan menyuarakan kepedihan para korban lapindo. Bencana lumpur itu seperti menjadi bagian dari nafas para korbannya yang sulit untuk keluar dari kubangan.
Penampil kedua, wanita cantik Fatima Bhutto, wartawan dan penulis, asal Pakistan. Dia menyuarakan tentang kehidupan di Negara yang hampir tak ada kebebasan berpendapat dan berkumpul seperti di Indonesia. Sinyal-sinyal ponsel itu seperti terbangus sehingga tak ada jaringan internet untuk saling menghubungkan satu dengan lainnya.
Seluruhnya ada 15 penyair yang tampil itu, antara lain Anthony Lowenstein (Sidney), Michelle Cahill (Sidney), Angelo Sarge R Lacuesta (Filipina), Jennifer Mackenzie (Melbourne), Tom Cho (Melbourne), Andrew Mc Millan (Darwin), Omar Musa
(Australia).
Penyair dari Indonesia antara lain Ugoran Prasad dari Tanjungkarang Sumatera, Gunawan Maryanto (Jogja), Sosiawan Leak (Solo) dan Dyah Merta (Jakarta) dan Dorothea Rosa Herliany (Magelang) yang juga merupakan salah satu panitia penyelenggara.
Pendiri UWRF, Janet De Neefe, mengatakan nilai-nilai spiritual Borobudur sangat tinggi, elemen spiritual itu menghembuskan kedamaian bagi masyarakatnya yang berbeda-beda agama. Karena itu salah satu rangkaiannya digelar di candi tersebut.
‘’Borobudur merupakan elemen spiritual sehingga kami berharap ini akan memberikan pencerahan dan kedamaian seluruh dunia. Sekaligus mempromosikannya kepada dunia,’’katanya.
Dikatakannya, ada elemen agama yang terlihat di Candi peninggalan dinasti Syailendra abad ke delapan ini, karena dibangun, ada kultur Budha dan mayoritas Islam yang ada di wilayah ini. Ia berharap, jiwa ini bisa menjembatani komunikasi antar agama di dunia.
Penyair asal Magelang Dorothea Rosa Herliany, mengatakan selain Borobudur, ada empat daerah lain yang menjadi perluasan kegiatan UWRF ini, yakni Yogyakarta, Makassar, Aceh dan Padang.
‘’Dari sudut pengarang, setiap mereka datang ke suatu kota untuk kegiatan
diskusi, mereka selalu ingin tahu lebih banyak tentang kota tersebut.
Jadi, kegiatan ini dikembangkan ke banyak kota sehingga bisa tahu
lebih banyak tentang kota lain di Indonesia selain Bali,’’katanya.
Anda bisa posting-ulang artikel ini atau dengan mencantumkan link ini:
http://borobudurlinks.blogspot.com/2009/10/global-voices-in-borobudur_14.html
http://borobudurlinks.blogspot.com/2009/10/global-voices-in-borobudur_14.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar