DEDDY PAW, “Perupa Apel Wae”.
Oleh: Mualim M Sukethi.
Borobudurlinks, 25/10-09. Persoalan seniman, termasuk perupa, adalah bagaimana menemukan ‘gaya ungkap’. Bagaimana seorang Affandy memanfaatkan ‘coret-coretan’ yang ekspresif menjadi bahasanya ? Bagaimana ‘volume yang meruang’ (kubus) menjadi uangkapan rupa yang khas, yang hanya dimiliki Picasso ? Atau, bagaimana Sudjojono menemukan ‘jiwa tampak’ dalam lukisan-lukisannya ?
Kalau dulu, cukup panjang perjalanan seorang perupa menemukan bahasanya. Tidak demikian dengan perupa masakini. Dalam usia yang relative muda, para perupa masa kini, itu sebagian besar sudah berhasil menemukan bahasanya sendiri. Seperi halnya Deddy PAW, yang menemukan bahasa dari alam benda sederhana, buah apel.
Di tangan perupa lain, buah apel seringkali dieksploitasi terbatas sebagai bagian dari lukisan alam benda, penghias ruangan belaka. Di tangan Deddy, yang menyelesaikan studi senirupanya di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), ini buah apel tampil menjelmakan dirinya menjadi ‘medium’ atau bahasa bagi berbagai ekspresi dan aspirasi senimannya.
Tentang hal ini, Anton Larenz, seorang anthropolog Jerman yang kini menjadi kurator independen di Jakarta, berkomentar: “Setidaknya dua factor mempengaruhi Deddy, tradisi alam benda dan ironi surealisme. Deddy berhasil keluar dari tradisi alam benda, dan mampu menampilkan aspek simbolik dari obyek alam benda (apel) itu “.
Sementara, Suwarno Wisetrotomo, juga seorang kurator dari Jogya, mengatakan: “Buah apel dijadikan ‘pintu masuk’ untuk menyusuri pesan yang ingin diwartakan. Karena itu, buah apel dalam karya Deddy menjadi berwatak ambigu, serta akhirnya menjadi kode yang menentukan suatu makna dapat dimengerti, atau sekaligus tak dapat dimengerti secara pasti “.
Namun, memahami karya seni Deddy bukanlah sesuatu yang sulit. Karena perupa yang memiliki latar belakang sebagai wartawan media nasional, itu seringkali menyisipkan isu-isu popular dalam balutan buah apel karyanya. Misalnya yang tergambar dalam seri ‘apple crunch’, Deddy dengan cerdas mengolah isu-isu politik ekonomi internasional yang sedang ‘in’ dan memasukkannya dalam suatu kesatuan estetik antara buah apel ‘yang tergerogoti’ dengan figure Obama, lempeng kayu, atau mata uang renmimbi. Dengan demikian, penikmat karyanya cukup mudah memahami apa yang ingin disampaikan.
Grafis Ilustrasi.
Sebelum menjadi perupa murni, Deddy menjelajahi berbagai profesi. Sebagai illustrator dan perancang grafis majalah/koran, penata artistic teater dan sinetron, hingga wartawan budaya. Profesi ini parallel dengan pendidikan yang ditempuhnya. Sebelum belajar seni murni di IKJ, Deddy sempat belajar ilmu grafis di Pusat Grafika Indonesia dan Interstudi, Jakarta.
Latar belakang sebagai illustrator memberikan kemampuan teknik yang prima, khususnya dalam mengolah bentuk secara realism, bahkan cenderung hyper-realism. Pengalamannya sebagai perancang grafis menjadikan Deddy piawai mengolah imej melalui teknologi digital.
Sedangkan kemampuannya menafsir serta memferifikasi fakta dan peristiwa diperoleh Deddy dari pengalamannya sebagai penata artistic dan wartawan. Ia cukup lama menjadi wartawan harian ‘Media Indonesia’, serta membidani beberapa media local yang menjadi bagian dari grup media milik Surya Paloh itu.
Berbagai sinetron dan pementasan teater tak luput dari kepiawaian tangan artistic Deddy. Bahkan beberapa menorehkan penghargaan, antara lain sebagai Penata Artistik Terbaik & Poster Terbaik Festival Teater Jakarta th’1988, serta berturut-turut memenangkan Juara I dalam kompetisi desain Koran nasional.
Sejak kapan menemukan apel sebagai bahasa ungkap ?
“Sejak 2003, tema “apel enigmatis” menjadi landasan penciptaan karya-karya saya. Penggunaan istilah enigmatis di sini dipakai berdasarkan pertimbangan sifat ungkapan karya yang bersifat simbolik, mengundang tanya, misteri atau teka-teki sekitar buah apel dalam konteks persoalan eksistensial manusia, “ ungkap Deddy. Makna simbolik buah apel di sini, menurut Deddy, terutama berkaitan dengan pesan-pesan kebaikan yang terdapat pada citra apel dalam konteks kemanusiaan secara universal (cinta, hasrat, kenikmatan, kedamaian, harapan, dll), maupun aspek-aspek keburukan dan godaan di balik potensi keindahannya.
“Karya-karya yang saya kerjakan enam tahun terakhir, secara dominan bisa dikatakan berangkat dari wilayah alam benda (buah apel), dengan sudut pemahaman bahasa simbolik, “ papar perupa yang selalu tampil flamboyant ini. Fenomena bentuk, urai Deddy, didekati sebagai sebuah sistem dan kode representasi simbolistik. Bentuk dan ruang kemudian hadir sebagai organisasi yang ditempatkan pada berbagai konteks yang berbeda. Kehadiran buah apel di sini jelas bukan semata sebagai objek (bentuk) pelengkap, baik dalam arti mengisi ruang maupun pelengkap dalam organisasi bentuk, melainkan berperan sentral sebagai kesatuan estetis. Kehadiran dominan buah apel dari aspek keruangan maupun konsep organisasi bentuk, bisa dianggap mewakili keseluruhan gagasan.
Selanjutnya Deddy mengungkapkan berbagai kajian mitologis seputar buah apel yang oleh sebagian orang diasosiasikan dengan ‘buah sorgawi’ ini. Dalam cerita injil apel dihubungkan dengan mitos buah pendosa. Akibat memakan buah apel , dalam Injil disebut buah ara dan kuldi dalam Alquran, Adam dan Hawa memulai langkah pertamanya yang keliru sehingga membuahkan jutaan jalan menyasar bagi manusia sesudahnya.
Dalam mitologi Romawi dan Yunani diyakini buah apel sebagai buah perselisihan di antara para dewa. Ada juga cerita tentang apel dan Budha. Sementara dari khasanah Islam, Deddy mendengar dari seorang ustad, bahwa Fatimah az Zahra (putri Nabi Muhammad saw) berasal dari apel surga.
Secara singkat diriwayatkan, setelah Nabi Muhammad saw memakan buah apel pemberian Allah SWT lewat Malaikat Jibril, sari pati buah apel tersebut kemudian menjadi sperma. Selanjutnya, setelah menggauli istrinya yang bernama Siti Kathijah maka istri Muhammad kemudian hamil dan lahirlah Fatimah az Zahra. Dikisahkan oleh Imam Ja’far ash Shadiq bahwa dalam sebuah hadis disebutkan, “Perempuan hulu pertama penghuni surga adalah Fatimah az Zahra.”
Lalu, dalam ilmu kesehatan apel diyakini sebagai buah paling banyak mengandung beta-carotene, yang sangat bagus untuk kesehatan kulit dan mata. Selain itu apel juga kaya akan vitamin A, C, serta memiliki kandungan valium dan pektin. Mengonsumsi buah apel sangat dianjurkan oleh para ahli gizi, “an apple a day keeps the doctor away”.
Karena konsistensi dan kesetiaan Deddy menggunakan apel sebagai ‘gaya ungkap’, teman-temannya sesama seniman menjulukinya sebagai Deddy PAW ‘Perupa Apel Wae’, atau perupa yang hanya melukis apel.
Pulang Kampung.
Tahun 2005, Deddy memutuskan sepenuhnya menekuni dunia senirupa, meninggalkan berbagai kesibukannya sebagai wartawan dan perancang grafis, yang telah dilaluinya selama 20 tahun. Tentang hal ini Deddy mengatakan: “Bagi saya, senirupa memberi tantangan lebih dibanding media masa. Dalam jurnalistik tidak dimungkinkan mengungkapkan opini pribadi. Sedangkan di dunia seni, seluruh aspirasi bisa dicurahkan secara bebas “.
Setelah terbebas dari rutinitas profesi wartawan di Jakarta, Deddy dan keluarganya memutuskan pulang kampung ke kota kelahirannya, Magelang. Di kota yang lebih dikenal sebagai ‘kota tentara’ ini, pada tahun 1963, Deddy dilahirkan.
“Saya ingin membesarkan anak-anak tanpa diiringi rasa was-was. Jakarta, kini, tingkat kriminalitasnya sangat tinggi. Dan Magelang cukup kondusif untuk membesarkan anak-anak, “ alasan Deddy tentang kepindahannya ini. Deddy yang beristrikan Tya PAW (39 tahun), serta dua anak, Roro Laharra (13 tahun) dan Gallant Brilliando (10 tahun), kini tinggal di daerah Karet, depan Akademi Militer (Akmil), Magelang.
Sebagai wartawan, Deddy pernah mengunjungi berbagai daerah di Indonesia. Menurutnya, dari seluruh daerah itu, Magelang termasuk tempat yang nyaman untuk berkarya. “Bisa kontemplatif, “ ujarnya. Paralel dengan suasana kontemplatif itu, kini banyak karya Deddy yang menempatkan Budha atau Candi Borobudur sebagai elemen baru, berpadu dengan buah apel yang sudah menjadi trade-marknya.
“Sekarang saya sedang mendalami Borobudur dan Budha. Ke depan, dua ikon itu akan menjadi spirit karya-karya saya, “ kata Deddy tentang candi yang terletak di Magelang itu. Menurut perupa yang dibesarkan tak jauh dari candi terbesar di dunia itu, inti ajaran Budha adalah kasih sayang, path of love dan power of love. “Sesuai dengan salah satu filosofi apel yang saya geluti ,” pungkasnya.
Apakah posisi Magelang yang kini menjadi ‘pusat senirupa Indonesia’, ikut mempengaruhi kepindahannya ?
“Ya, hal itu juga jadi bahan pertimbangan. Sekarang ini ada atmosfir kesenian, khususnya senirupa, yang sedang tumbuh berkembang di Magelang, “ papar Deddy. Magelang, yang berdekatan dengan Borobudur dan Jogyakarta, sekarang ini menjadi semacam magnet bagi para perupa. Banyak perupa yang memutuskan tinggal di antara ‘segitiga emas’ itu. Termasuk dekat dengan kolektor ?
“Para kolektor itu menjadi teman diskusi. Pemahaman mereka tentang senirupa cukup memadai, “ pengakuan Deddy. Penilaian Deddy itu tak berlebihan. Penulis, yang ditemani Deddy mewawancarai para kolektor, juga merasakan hal itu. Mereka, para kolektor itu, dengan lancar bicara tentang berbagai wacana dan perkembangan senirupa di Indonesia dan dunia.
Apakah hubungan dekat dengan kolektor itu menjamin lakunya karya-karya Deddy ?
“Tidak juga. Para kolektor itu hanya mau membeli karya yang mereka anggap bagus. Kalau nggak bagus dikasih gratis saja belum tentu mereka mau, “ elak Deddy. Sebaliknya, menurut Deddy, mereka tak segan-segan membeli karyanya walau pun karya itu sudah menjadi milik galeri.
Ia mencontohkan, dokter Oey Hong Djien membeli karyanya bukan di rumahnya yang jaraknya tak begitu jauh. “Ia mengoleksi dua karya saya. Yang satu dibeli di galeri Surabaya. Satunya lagi dibeli pada saat pameran saya di Singapura yang lalu, “ cerita Deddy tentang hubungannya dengan kolektor ternama itu.
Kini hari-hari Deddy dilalui di kota kecil itu. Selain sibuk melukis, ia juga menjalin hubungan yang akrab dengan berbagai kalangan di kota yang indah itu, terutama kalangan kesenian. “Saya memang ingin berbuat sesuatu demi kemajuan Magelang, “ kata Deddy yang bercita-cita membuat instalasi buah apel di puncak Gunung Tidar.
Dalam kaitan itu, Deddy bersedia diangkat menjadi penasehat KSBI (Komunitas Seniman Borobudur Indonesia), yang aktif mengadakan berbagai event kesenian di Magelang. Ia juga menggagas berdirinya ‘Akademi Magelang’, lembaga pemikir kebudayaan yang menjadi penasehat Walikota dan Bupati Magelang dalam memajukan kehidupan kebudayaan di wilayah itu.
Jadi jangan heran, kalau suatu saat Anda mengunjungi Magelang, bertemu dengan seorang laki-laki bergaya metroseksual. Rambut panjang, seringkali digelung. Busana trendy cenderung feminim, yang tidak biasa bagi kebanyakan warga kota gethuk itu. Ya, itulah Deddy PAW.
***
Selesai mewawancarai dokter Hong Djien, sore itu, saya dan Deddy PAW berpamitan. Dokter, pedagang besar tembakau, sekaligus kolektor ternama itu mengantar ke parkiran mobil di depan rumahnya. Sebelum berpisah, Deddy mengingatkan agar dokter tidak lupa hadir dalam acara dansa yang akan diadakan di rumah kolega mereka malam nanti. Istri Deddy, adalah sekretaris klub dansa yang diketuai dokter Hong Djien. Itulah kehidupan sosialita Magelang, yang tak kalah dibanding kota-kota besar di Indonesia (bolinks@2009).
Anda bisa posting-ulang artikel ini atau dengan mencantumkan link ini:
http://borobudurlinks.blogspot.com/2009/10/deddy-paw-perupa-apel-wae.html
http://borobudurlinks.blogspot.com/2009/10/deddy-paw-perupa-apel-wae.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar