MEMBERDAYAKAN MASYARAKAT LEWAT PARIWISATA.

Borobudur Links | September 18, 2009 | 16.44 wib | Label: creative people


Wawancara dengan SARIYAN ADIANTO.

Borobudurlinks/16-9-09. Keberhasilan Candirejo menjadi desa wisata yang diperhitungkan keberadaannya, tak bisa dipisahkan dari sosok SARIYAN ADIANTO. Lelaki muda, kelahiran 22 Agustus 1981, ini tampak santai ketika menemui tim ‘bolinks’ di rumahnya yang tergolong paling megah di desa candirejo. Tubuhnya yang langsing cukup dibalut T-shirt coklat dan celana bermuda warna gelap. Wajahnya yang tampan dihiasi berewok tipis, menambah kesan wibawa pada lelaki yang kini menjadi anggota DPRD Kab. Magelang 2009-2014.
Mualim M Sukethi (MMS): “Apa yang memotivasi Anda menjadikan Candirejo menjadi desa wisata ?”.
Sariyan Adianto (SA): “Didorong keprihatinan Borobudur sebagai ikon pariwisata
kebanggaan dunia ternyata kurang membawa kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Hal ini terbukti pada posisi Kecamatan Borobudur yang menduduki posisi ke 17 dari 21 kecamatan se kabupaten Magelang. Artinya masyarakat Borobudur, khususnya Candirejo, tergolong pra-sejahtera”.



MMS : “Apa kaitan Borobudur dengan tingkat kesejahteraan masyarakat sekitarnya ?”.
SA : “Selama ini Borobudur dikunjungi jutaan turis tiap tahunnya. Tapi turis-turis itu hanya singgah di Borobudur 3-4 jam. Mereka tidak banyak membelanjakan duitnya bagi masyarakat sekitar. Jadi masyarakat kurang mendapatkan manfaat dari kehadiran turis-turis itu “.
MMS : “Bisa diceritakan proses Candirejo menjadi desa wisata ?”
SA : “Masalah pemberdayaan masyarakat ini sudah dimulai tahun 1975-an, ketika lurahnya Pak Teguh. Waktu itu dalam bentuk pemanfaatan tanaman pekarangan dengan pohon rambutan. Hasilnya cukup bagus. Anda bisa lihat, pohon rambutan menjadi pohon yang mendominasi pekarangan dan kebun di desa ini. Tahun 1999, saat dipimpin lurah Slamet, sector pariwisata mulai dikembangkan. Tahun 2003, koperasi sebagai badan Usaha Milik Desa didirikan. Dan tahun 2003, Candirejo sebagai desa wisata dideklarasikan secara resmi oleh I Gde Ardhika, Menteri Pariwisata RI saat itu “.
MMS : “Peran Anda dalam proses itu sebagai apa ?”.
SA : “Tahun 90-an saya aktif di kelopok pemuda. Tahun 2003, saya sebagai ketua koperasi yang pertama. Sedangkan mulai tahun 2007 saya menjabat sebagai Kepala Desa, tapi hanya 2 tahun. Karena tahun 2009 ini terpilih sebagai anggota DPRD Kabupaten Magelang “.
MMS : “Apa sih yang menjadi ciri atau atau bersifat khusus dari keberadaan desa wisata ini ?”.
SA : “Kami menerapkan konsep ‘pariwisata berbasis komunitas’ (Community Based Tourisme – CBT). Jadi masyarakat sendirilah pelaku aktif pariwisatanya. Merekalah yang memiliki asset yang bisa ‘dijual’, seperti home-stay, andong, dan kehidupan sehari-hari mereka sebagai petani, pengrajin, atau seniman yang bisa jadi tontonan. Mereka juga yang mengelola lewat koperasi. Pemerintah (desa) hanya memfasilitasi “.
MMS : “Apakah pada awalnya masyarakat langsung menerima ide desa wisata ?”.
SA : “Memang tidak semuanya langsung menerima. Ada kekawatiran terhadap dampak negative pariwisata. Kami melakukan pendekatan khusus, dan meyakinkan mereka tentang pentingnya program ini. Dari situ kami menemukan konsep Catur Daya. Yaitu Daya Tarik berupa alam, lingkungan, dan budaya. Lalu Daya Tumbuh, ini masalah srawung (pergaulan) atau jaringan. Kemudian Daya Manfaat, yang bisa dirasakan oleh masyarakat secara langsung. Dan terakhir Daya Tangkal, yang mampu mencegah dampak negative pariwisata itu “.
MMS : “Bicara tentang daya tarik, program apa saja yang ditawarkan desa Candirejo kepada para wisatawan itu ?”
SA : “Kami menawarkan keunikan alam, lingkungan, dan budaya. Alam dan lingkungan meliputi lingkungan desa yang asri dengan rumah-rumah penduduk berarsirektur Jawa tradisi (joglo/limasan). Kebun dan sawah tadah hujan, dengan system pertanian tumpang sari. Alamnya meliputi pegunungan Menoreh dan sungai Progro. Sedangkan budaya dan kesenian berupa tradisi ritual, tari tradisi, karawitan, kerajinan bambu dan pandan, dll “.
MMS : “Ritual apa saja yang masih hidup di desa ini ?”.
SA : “Saparan, Perti Desa, lalu Jumat kliwonan berupa ngirim doa untuk mantan lurah, dan tradisi untuk menyerahkan anak yang lahir jumat kliwon kepada pimpinan desa “.
MMS : “Dalam hal pengembangan CBT, apa peran dan kontribusi pemerintah selama ini ?”.
SA : “Pemerintah membangun infrastruktur seperti jalan desa/lingkungan, jembatan, dll. Selain itu mereka juga memfasilitasi pelatihan-pelatihan yang berkait dengan pengembangan wisata, seperti: pelatihan pengelolaan home-stay, pelayanan tamu, guide, peningkatan kapasitas SDM, dll. Bahkan sekarang pemerintah juga mengucurkan bantuan dalam bentuk PNPM Pariwisata sebesar 52,5 juta rupiah “.
MMS : “Selain pemerintah pihak mana saja yang ikut berperan ?”.
SA : “Dalam hal pemberdayaan masyarakat ada beberapa LSM yang ikut membantu. Dulu CIDA ikut membantu dalam peningkatan dan pemanfaatan tanaman pekarangan. Lalu Yayasan Patra Pala dan JICA membantu penguatan kapasitas kelompok, pelatihan local guide, dll. Sedangkan ISI (Institut Kesenian Indonesia) Jogyakarta melatih kelompok-kelompok seni tradisi. Selain olah gerak, mereka juga saya minta memperbarui penampilan dan kostum “.
MMS : “Apa saja hasil kongkrit selama Candirejo dikembangkan sebagai desa wisata ?”.
SA : “Dulu kusir andong itu hanya dapat hasil 15-20 ribu rupiah sehari. Kini selain penghasilan mereka meningkat, mereka juga bisa memperoleh SHU dari koperasi. Tahun 2008, 16 pemilik andong itu berhasil mengumpulkan SHU sebesar 30 juta rupiah. Mungkin pertumbuhan koperasi desa juga bisa menggambarkan peningkatan kesejahteraan warga. Tahun 2003 koperasi memiliki kas sebesar 18 juta rupiah. Tahun 2004 meningkat menjadi 29 juta. Tahun 2005 jadi 42 juta. Tahun 2006 jadi 80 juta. Tahun 2007 jadi 121 juta. Dan tahun 2008 lalu berkembang menjadi 210 juta. Itu dari segi angka. Sedangkan tahun ini Candirejo dijadikan pilot-projet desa wisata secara nasional. Itu semacam pengakuan terhadap keberhasilan desa Candirejo “.
MMS : “Kembali ke masalah daya tangkal. Apakah sudah dipikirkan atau diantisipasi seandainya karena tuntutan pengembangan pariwisata justru mengorbankan keaslian desa ini ?”.
SA : “Secara rutin kami mengadakan evaluasi, khususnya yang dilakukan unit-unit kelompok. Salah satunya apakah ada dampak negative di bidang moral atau agama. Ternyata selama ini relative tidak terjadi dampak negative yang dikawatirkan itu. Belum ada penetrasi kebudayaan asing yang mempengaruhi warga desa ini “.
MMS : “Seandainya ada investor yang ingin mengubah tata ruang dan lingkungan desa ini, misalnya membangun hotel atau resort berskala internasional di sini. Seperti kasus bali misalnya, apa yang akan Anda lakukan ?”.
SA : “Kalau hal itu mengganggu keaslian dan kesejahteraan warga ya akan saya tentang. Selama aya masih ada tak akan saya biarkan hal-hal itu terjadi ?”.
MMS : “Oke, sekarang masalah pribadi. Setelah aktif di kepemudaan, jadi lurah, dan kini anggota DPRD. Apakah karir politik ini memang cita-cita Anda ?”.
SA : “Bukan. Karir ini tidak dicita-citakan, juga bukan ambisi. Tapi masalah keberlanjutan. Setelah aktif di kepemudaan dan koperasi, masyarakat minta saya jadi lurah. Baru 2 tahun jadi lurah, masyarakat juga menginginkan saya mencalonkan diri jadi anggota legislative. Jadilah anggota dewan “.
MMS : “Apa agenda Anda sebagai anggota legislative. Apa masih akan memperjuangkan aspirasi tentang desa wisata ?”.
SA : “Salah satunya ya… membawa misi kepariwisataan, khususnya CBT ke daerah-daerah atau desa-desa lain “.
MMS : “Setelah berhasil dalam berkarir, rasanya kurang lengkap kalau belum punya pendamping. Kenapa hingga kini belum punya pendamping ?”.
SA : “Ha ha ha…. Belum saatnya, belum berjodoh “. (Mualim M Sukethi/Bolinks 2009).

CATATAN:
Nama : SARIYAN ADIANTO.
Tempat/tgl lahir : Magelang, 22 Agustus 1981.
Alamat : Sangen, Candirejo, Borobudur, Kabupaten Magelang.
Pendidikan : S1 Ekonomi Manajemen, Universitas Janabadra Jogyakarta.
Jabatan : Anggota Komisi B DPRD Kabupaten Magelang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
  • 1st
  • 2nd
  • 3rd
  • 4th
  • 5th

Home | Mobile Version | Seni dan Budaya | Manusia Kreatif | Acara dan Berita | Festival 5 Gunung | Networking | Wisata
(c) 2013-2016 Modus Getar | Powered by Day Milovich