DAYA HIDUP SENIMAN GUNUNG.

Borobudur Links | Agustus 05, 2009 | 11.09 wib | Label: art and culture


Oleh: Mualim M Sukethi.

Festival 5 Gunung (F5G) ke VIII yang diadakan pada hari Minggu, 26 Juli 2009, telah berlangsung dengan sukses. Pengertian sukses di sini, adalah seluruh rangkaian acara yang melibatkan tak kurang 15 grup kesenian berjalan dengan lancar. Alur (flow) acara yang dimulai dari jam 09.00 pagi hingga jam 24.00 malam, mengalir dengan enak tanpa hambatan berarti. Kalau ada kekurangan, mungkin hanya teknik tata suara saja yang agak mengganggu.
Dalam hajatan budaya yang berlangsung di dusun yang terletak di lereng Gunung Andong itu tak kurang 6000 orang terlibat. Sebanyak 15 grup kesenian yang ikut mengisi acara berasal dari desa-desa di lereng Merapi, Merbabu, Sumbing, dan Menoreh. Sementara grup-grup dari kota Magelang, Jogya, dan Surabaya, menjadi grup tamu yang ikut memeriahkan acara.

Penonton berdatangan dari desa-desa sekitar Mantran: dari Grabag, Secang, Ngablak, Pakis, dan Tegalredjo. Sedangkan tamu-tamu yang secara khusus diundang berasal dari Jakarta, Surabaya, Semarang, Solo, dan Jogya. Puluhan wisatawan asing dan pemerhati budaya juga menyempatkan hadir. Mereka berasal dari Thailand, Jepang, Belanda, Perancis, dan Amerika.

Gemerincing Kaki.

Hampir seluruh grup yang tampil membawakan tari-tarian tradisi yang identik dengan kesenian rakyat Magelang, seperti Kudalumping, Soreng, Grasak, Topeng Ireng, Warokan, dan Wayangwong. Bahkan grup ‘Fatma Budaya’ yang berasal dari kota Magelang, yang berlatar belakang ibu-ibu senam, pun menarikan gerak-gerak yang bersumber dari tarian tradisi.
Tarian tradisi yang tumbuh berkembang di sekitar Magelang didasari olah gerak para prajurit dalam mempersiapkan dirinya. Kemudian disambung dengan adegan peperangan yang mengeksplorasi gerak-gerak bela diri, khususnya pencak silat. Hal ini berkaitan dengan cerita atau legenda yang mendasari lahirnya tarian-tarian itu, yaitu cerita Panji atau Kelono Jiwandono, yang popular di kalangan masyarakat Jawa. Yang agak berbeda mungkin hanya Soreng yang berlatar hikayat Ario Penangsang, Grasak yang bebas pakem, dan Topeng Ireng yang bersumber dari kesenian Kobrasiswo.
Yang berbeda dari daerah lain, tarian tradisi yang tumbuh di Magelang itu sangat diwarnai oleh hentakan kaki yang menimbulkan bunyi khas, crek crek crek bergemerincing. Hal ini disebabkan karena di sekujur kaki para penari itu, terutama di sekitar betis, ditempeli roncean genta-genta kecil. Genta-genta inilah yang menimbulkan bunyi-bunyian itu.
Kata para pengamat, olah gerak yang mengandalkan kaki itu tumbuh seiring gerak para petani gunung, yang memang mengandalkan kekuatan kaki untuk menaklukan medan gunung yang naik-turun. Sementara menurut penulis, hal itu semata-mata mengejar efek atau sensasi bunyi. Sebab sebelum untaian genta itu ditemukan dan dipakai sebagai asesoris, pola gerak tarian tradisi itu tidak bertumpu pada hentakan kaki yang berulang-ulang. Dampak negatifnya, pola gerak pada hampir semua grup kesenian itu cenderung seragam.
Namun keseragaman pada pola gerak itu tersamar atau teralihkan oleh keunikan kostum yang dipakai masing-masing grup, yang senantiasa berubah pada setiap penampilannya. Kostum yang dulunya terbatas pada kostum prajurit atau kesatria yang berasal dari khasanah cerita Jawa atau pewayangan, kini berkembang menjadi kostum yang mirip-mirip pahlawan Indian Amerika.
Bedanya, bukan bulu-bulu burung yang menjadi mahkota, tapi rangkaian dedaunan yang dirangkai sedemikian rupa menyerupai mahkota para Indian itu. Demikian pula baju rompi atau celana yang dipakai, diciptakan dari rangkaian bahan-bahan alami yang ada di sekitar kehidupan para petani itu. Ada yang dari batang padi, jagung, daun bambu, tali ijuk, dll.
“Saya kagum dengan kreasi mereka. Seakan nggak habis-habisnya mereka mengolah ide. Sehingga setiap pentas kostumnya selalu baru dan berbeda,” puji Deddy PAW, pelukis kenamaan yang kini menetap di Magelang.
Yang juga tergolong baru adalah penampilan grup Sekolah Gunung, yang berkolaborasi dengan anggota Teater Garasi Jogya, lewat nomor tarian berjudul ‘Jungkir Walik’. Sesuai judulnya, kelompok ini menampilkan gerak dan formasi jungkir balik. Sejak memasuki arena, pemain-pemainnya menyajikan gerak berjumpalitan yang sempat mengejutkan para penonton. Selanjutnya mereka melompat, berlari, meliuk, dan membentuk formasi akrobatik lainnya.
Oh ya…selain pertunjukkan di panggung utama, F5G juga menampilkan seni instalasi berjudul ‘……’ karya Ismanto (lihat: ‘Kesadaran Ismanto, Kesadaran Semadi’). Tak jauh dari panggung utama, juga digelar pameran foto karya wartawan media yang komunitas fotografi di sekitar Magelang. Sekitar 50 foto dipajang di anyaman bambu yang biasa digunakan menjemur tembakau, yang didirikan dengan rangka bamboo, serta dipayungi anyaman kelapa (blarak). Artistik.


Daya Hidup.

Melihat kemeriahan itu, terlintas di benak penulis sebuah pertanyaan, bagaimana mereka, para petani, itu mengorganisasikan dan membiayai hajatan besar ini ?
“Kami menganggarkan dana sebesar 87 juta rupiah. Tapi ternyata dana yang terkumpul hanya 15-an juta,” kata Riyadi, lurah Desa Banyusidi, yang menjadi Ketua Umum panitia F5G VIII. Dana itu terkumpul dari sumbangan pribadi atau kalangan swasta lain yang bersimpati. Tak satu rupiah pun pemerintah daerah, Pemkab mau pun Pemkot Magelang, mengucurkan dananya untuk membantu.
Namun dana sekecil itu tak menyurutkan semangat petani dan seniman gunung untuk menyelenggarakan hajatan yang, dalam skala nasional pun, tergolong besar. “Kami harus menyiasatinya. Ada beberapa penyederhanaan. Acara pendukung dikurangi. Panggung pun hanya satu. Tidak seperti biasanya 2 panggung.,” jelas Riyadi. Subsidi untuk peserta pun, kali ini, tidak diberikan. Biaya transport dan konsumsi selama di perjalanan ditanggung sendiri oleh masing-masing peserta.
Yang menakjubkan adalah semangat dari seluruh unsur yang terlibat dalam acara ini, yang tak kendur oleh kondisi serba minim itu. Hal itu terlihat dalam pelaksanaan acara yang relative berjalan lancar, tanpa gejolak atau complain dari pihak-pihak mana pun jua. Yang terlihat dan terasakan adalah semua bergerak, semua bekerja, semua bergembira.
Gairah itu juga menghinggapi segenap warga Dusun Mantran. Dua tiga hari sebelum acara berlangsung, segenap warga dusun, tua muda, terlibat dalam persiapan. Mereka bergotong royong membangun panggung, menghias lingkungan dengan instalasi dan elemen artistic, yang desainnya disiapkan oleh Ismanto, seorang pematung yang dari tahun ke tahun instalasinya mewarnai F5G.
Tak hanya lelaki, gairah itu juga muncul di kalangan perempuan Mantran. Mereka tak terlihat di jalanan. Tapi coba tengok dapur di setiap rumah di dusun itu. Nampak ibu-ibu dan gadis-gadis muda sibuk memasak makanan yang akan disajikan bagi peserta dari desa lain dan para tamu yang berdatangan dari luar kota. Penulis yang menginap selama dua malam, menjumpai dapur-dapur itu berdenyut 2 x 24 jam. Para perempuan itu tak kenal lelah menyiapkan makanan dan minuman hangat hingga jauh malam.
“Untuk acara ini, setiap rumah sedikitnya mengeluarkan biaya 200 hingga 300 ribu rupiah,” kata Supadi, Ketua Panitia Pelaksana. “Kalau di dusun ini ada 100 rumah, maka sumbangan warga tak kurang dari 20-30 juta rupiah,” tambah bapak dua anak itu. Sebagai salah satu ketua panitia, pengeluaran Supadi tentu berlipat dibanding tetangganya. Apalagi rumahnya dijadikan secretariat, tempat jujugan (tujuan awal) bagi seluruh tamu Dan selama dua hari itu, jamuan untuk para tamu mengalir tiada henti.
Pertanyaannya, kenapa warga dusun, para petani, dan segenap seniman gunung itu mau bersusah-payah menyelenggarakan acara ini ? Mereka tidak dibayar, bahkan mereka harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit demi suksesnya hajatan budaya ini.
“Kesenian sudah menjadi kebutuhan bagi kami,” kata Riyadi. Sementara Supadi menjelaskan lebih jauh, “Hidup kami tak bisa dipisahkan dari kesenian”. Dalam tradisi warga Mantran setiap mulai menanam atau panen mereka selalu melakukan ritual yang diwarnai gelar kesenian, terutama tarian ‘Jaran Papat’ yang dikeramatkan. Dalam setahun bisa 4-5 kali gelar kesenian diadakan di dusun kecil itu. Puncaknya adalah saat bulan Sapar, atau disebut Saparan.
Sementara di Gejayan ada tradisi ‘Sungkem Tlumpak’, di Warangan ‘Nyadran Toya’, dan di Tutup Ngisor ada acara ‘Suran’ yang berwibawa. Semua tradisi itu sudah berlangsung lama, bahkan beberapa sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Memang tradisi semacam ini juga tumbuh berkembang di tempat-tempat lain, sebagai bagian dari tradisi masyarakat agraris di seluruh wilayah tanah air. Tapi yang masih terpelihara dengan baik, bahkan berkembang gegap gempita, mungkin hanya di Magelang inilah.
Selain menjadi sarana ritual, kesenian juga menjadi ruh bagi kehidupan sehari-hari petani gunung di Magelang. Bukan hanya saat panen, ketika gagal panen pun mereka melarikan diri dalam kegembiraan berkesenian. Mereka mendapatkan semacam ekstase dari kerja kesenian itu. Penulis teringat ketika di awal krisis melanda negeri ini, tahun 1999-2000. Ketika masyarakat kota terpuruk dalam krisis social ekonomi yang parah. Penulis ikut mendampingi masyarakat gunung dari Magelang justru keliling ke kota-kota besar, ke Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, menggelar pentas kesenian menghibur saudara-saudaranya di kota yang sedang dirundung nestapa itu.
Di awal orde reformasi itu, kesenian juga mampu ‘membentengi’ masyarakat Magelang dari berbagai tekanan politik, khususnya gerakan ekstrim kanan yang berporos di Jogya dan Solo. Saya ikut mendampingi Sutanto Mendut, penggerak kebudayaan dan penggagas F5G, menginventasisasi dan merevitalisasikan berbagai ritual serta kesenian yang pernah hidup di desa-desa di lereng gunung itu. Lewat ritual dan kesenian, kemudian tumbuh kembali ‘sipat kandel’, atau rasa percaya diri, pada masyarakat desa untuk menghadapi berbagai tekanan politik. Masyarakat dan wilayah Magelang relative terbebas dari intimidasi kelompok-kelompok ekstrim itu.
Jadi kesimpulannya, kesenian bagi masyarakat agraris Magelang adalah sarana pembebasan, penumbuh daya hidup, benteng bagi hegemoni budaya tunggal, sekaligus rekreasi jiwa yang membahagiakan. Maka tak heran, kesenian akan terus bertumbuh kembang di wilayah bergunung-gunung itu, dan hajatan budaya seperti F5G akan terus lestari dalam kondisi sesulit apa pun. Tanpa perhatian pemerintah pun.
Tentang daya hidup yang dimiliki petani gunung Magelang saya punya sebuah cerita. Dua tahun lalu ketika F5G berlangsung di Dusun Gejayan, saya juga menyempatkan diri menginap di dusun itu. Dalam obrolan dengan warga, saya sempat menanyakan, jalanan desa dari susunan batu gunung itu siapa yang membangun ? Gotong royong warga desa, jawab mereka. Sampai sekarang jalanan itu belum tersentuh aspal. Gedung kelurahan yang megah itu siapa yang mendirikan ? Swadaya warga desa, jawab para petani itu. Kalau panen gagal apakah pemerintah menalangi ? Tidak, jawab mereka serempak.
Lalu apa yang telah dilakukan pemerintah selama ini, bahkan sejak republic ini merdeka ? Mereka terdiam. Tidak ada satu pun yang menjawab. Setelah saya korek-korek, ternyata memang tidak banyak upaya pemerintah untuk menyejahterakan warga desa itu. Kalau selama ini mereka tetap eksis, itu semata karena daya hidup yang mereka miliki. Atau dengan kata lain, dengan daya hidup yang mereka miliki, mereka bisa melanjutkan kehidupan ini. Ada atau tidak ada pemerintah dan republic ini. Nah lho….. (Borobudurlinks @2009).

1 komentar:

  1. Mestinya demikian, seniman mandiri lbh terhormat.

    BalasHapus
 
  • 1st
  • 2nd
  • 3rd
  • 4th
  • 5th

Home | Mobile Version | Seni dan Budaya | Manusia Kreatif | Acara dan Berita | Festival 5 Gunung | Networking | Wisata
(c) 2013-2016 Modus Getar | Powered by Day Milovich