KESADARAN ISMANTO, KESADARAN SEMADI.

Borobudur Links | Juli 28, 2009 | 19.50 wib | Label: art and culture



Oleh: Mualim M Sukethi.

Ketika memasuki dusun Mantran Wetan, saat Festival 5 Gunung VIII berlangsung, tanggal 26 Juli 2009 lalu, selain panggung utama kita juga disuguhi sebuah instalasi senirupa karya ISMANTO. Pematung ternama ini membuat instalasi di sebuah halaman rumah warga yang terletak sekitar 100 meter dari panggung utama.
Instalasi berjudul “SLAMETAN, PENEBUSAN, KESADARAN” itu berupa sebuah gundukan batu kali yang membentuk struktur serupa gunungan dengan puncaknya sebuah batu besar hampir bulat berdiameter sekitar 1 meter. Di bagian atas batu itu dipahat suatu prasasti dalam bahasa Jawa yang berbunyi “Cokro Manggilingan Jiwo: FESTIVAL LIMA GUNUNG VIII 2009. Di sekitar batu tertancap tiang-tiang terbuat dari bilah bambu yang berfungsi menjadi penyangga sesaji berjumlah 108 tiang. Sesaji yang terdiri nasi tumpeng kecil, sedikit sayur, dan kerupuk, itu ditaruh di atas anyaman bambu persegi yang berada di ujung tiang.

Tiang-tiang sesaji ditancapkan membentuk formasi mengelilingi gundukan batu prasasti. Di tengah formasi sengaja dibuat lorong yang menghubungkan gundukan batu dengan jalan desa. Di ujung lorong, di bawah gundukan batu, juga tergelar nampan besar berisi sesaji yang lebih komplit antara lain ingkung ayam (daging ayam utuh direbus dengan bumbu seperlunya), jajan pasar, bunga tujuh rupa, dan tumpukan kemenyan yang selalu mengepul menyebarkan bau harum.
Di bawah setiap tiang sesaji terserak boneka potongan tangan yang terbuat dari gulungan kertas putih. Potongan tangan diperciki cat warna merah darah, menyiratkan sebagai bagian tubuh manusia yang menjadi korban kekerasan.
Melihat instalasi itu, imajinasi kita langsung mengaitkannya dengan sosok gunung yang dikelilingi hutan dengan tegakan pohon-pohon yang meranggas. Dan di bawah pohonan itu berserakan korban-korban kekerasan. Apakah ada pesan tertentu yang berkaitan dengan situasi social politik terkini?
“Memang demikian,” ujar Ismanto. “Gunung atau gunungan, dalam pewayangan digunakan untuk membuka jejer, pertemuan petinggi negeri membahas situasi terkini”. Sedangkan tiang saji yang disimbulkan sebagai pohon meranggas dengan potongan tangan berserakan di bawahnya, menurut seniman multi bakat, ini bisa juga diartikan sebagai negara yang sedang gonjang-ganjing, karena konflik, krisis, bencana, dll. Yang membuat negeri ini terpuruk tidak bisa bangkit sedemikian lama.
“Yang terpuruk tidak hanya fisik saja, tapi juga mental spiritual,” tambah lelaki tambun itu. Menurutnya, pernyataan elite politik, atau doa-doa pemimpin agama yang banyak muncul di TV itu tidak merubah apa-apa. Keterpurukan tetap terjadi dimana-mana. Sebagai seniman apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi keterpurukan itu?
“Sebagai seniman yang saya lakukan tentu berbeda dengan yang harus dilakukan pemerintah. Saya buat karya seni. Instalasi dan ritual ini. Pesan dari karya ini semoga bisa sampai pada para elite itu, agar bias berbuat lebih kongkrit untuk mengatasi keterpurukan ini,” kata Ismanto dengan yakin. Ia juga berharap masyarakat memahami pesan ini, sehingga lebih”eling lan waspodo” mengutip ajaran seorang pujangga Jawa. “Perubahan itu tak akan terjadi, kalau kita tidak memulai dari kita sendiri,” imbuhnya.
Tentang jumlah sesajen yang banyaknya hingga 108 buah, menurut Ismanto: “Karena permasalahan yang dihadapi bangsa ini juga sangat banyak. Atau korban bom, tsunami, banjir, dll kan juga tak terhitung. Jadi satu atau dua sajen nggak cukup”. Selain itu banyaknya tiang sajen itu juga berfungsi sebagai elemen artistic. Kenapa 108 tiang ? “Itu bilangan fengshui…ha ha ha,” kata Ismanto dibarengi tawa berderai.
Sebelum bungkus prasasti dibuka, Ismanto muncul dari balik mushola yang tepat berada di atas lokasi instalasi. Di belakang Ismanto berbaris anak buahnya yang tergabung dalam “Komunitas Gadung Mlati”. Paling depan, tepat di belakang Ismanto, berjalan seorang penari cantik dan seorang pembawa sesaji.

Pematung itu berkostum balutan kain putih dengan sorban kain putih pula, menyerupai seorang resi atau Begawan, demikian pula dengan penari dan pembawa sesajinya. Sementara anak buah lainnya berkostum rumbai-rumbai dari kertas putih yang menutup seluruh tubuhnya, termasuk rambut dan mukanya. Penampilan mereka mirip mahluk aneh yang berasal dari dunia antah berantah. Delapan di antara anak buah itu membawa semacam payung yang juga dibalut kertas putih berumbai.
“Kertas putih di suwir-suwir ini juga multi tafsir, mas,” kata Ismanto mencoba menjelaskan. “Selain untuk kebutuhan artistic. Juga mengisyaratkan kalau kertas yang hancur pun masih bisa berguna. Sebagai seniman kita tak mengenal keterbatasan. Apa pun harus bisa jadi karya”.
Dengan diikuti anak buahnya Ismanto berjalan mengelilingi instalasi. Ditangan kirinya segenggam dupa mengepul. Sementara tangan kanannya tak henti-hentinya melemparkan bunga mawar ke segala arah. Sang penari (yang dimainkan Yunita, mahasiswi jurusan tari UNJ) bergerak bebas di antara tiang-tiang sesaji. Gerakannya menyiratkan lemah gemulai tarian Jawa.
Mulutnya tak henti-henti melantunkan mantra. Sampai di depan prasasti ‘sang Begawan Ismanto’ melakukan semedi. Dimulai dengan kidung atau geguritan (puisi Jawa), yang artinya:

……………………………………………………………………………
Kesadaran adalah ruang yang jauh tanpa batas dekat tak teraba
Setiap manusia yang hidup memilikinya
Ruang paling indah, damai, tentram, senantiasa dirindukan
Semua mahluk hidup yang punya rasa
Adalah juga penanda hidup dan mati
Tetapi kini ruang indah itu sudah dilupakan.
Negeri ini harus diselamatkan
Karena kesadaran di negeri ini sudah sekarat
Kali ini kami menggelar selamatan penebusan kesadaran
Dengan harapan semua manusia sadar
Dan akhirnya semua mahluk hidup dalam kedamaian
……………………………………………………………………..
Pesan itu menggema…. mendaki bukit dan gunung yang mengelilingi dusun Mantran. Menyusuri lembah hingga tempat yang paling jauh. Menyusup dalam setiap kalbu manusia yang mendengarnya. Hong..wilaheng..sekaring bawono langgeng.

Magelang 27 Juli 2009 (Borobudurlinks @2009).

1 komentar:

  1. Aku semakin mengagumi seniman otodidak ini. Salam.

    BalasHapus
 
  • 1st
  • 2nd
  • 3rd
  • 4th
  • 5th

Home | Mobile Version | Seni dan Budaya | Manusia Kreatif | Acara dan Berita | Festival 5 Gunung | Networking | Wisata
(c) 2013-2016 Modus Getar | Powered by Day Milovich