Keringet Gendhong Gunung Dipentaskan di TBS

Borobudur Links | Juli 10, 2009 | 21.19 wib | Label: Event and News


oleh Sholahuddin al-Ahmed

Puluhan seniman perempuan Magelang mengusung pementasan ‘’Kringet Gendhong Gunung’’ ke Taman Budaya Surakarta (TBS).

Pementasan teater tari itu berlangsung hari ini Sabtu (11/7), berdurasi sekitar 1,5 jam oleh 70 seniman perempuan didukung 20 pemusik. Tema yang diangkat, isu gender sebagai pengingat kekerasan yang seringkali menimpa perempuan terlebih dalam kehidupan rumah tangga.

‘’Perempuan masih menjadi isu dan cerita menarik, apalagi ini soal gender. Perempuan menjalani pergulatan hidup yang berat, penuh dengan problem yang pelik, kita coba gambarkan dalam karya ini,’’kata Sutradara, Murti Waskitho, di sela-sela geladi bersih pementasan itu, di Magelang.

Penggarapan ilustrasi musiknya, digawangi oleh komposer musik etnik, Suwandi. Dengan menampilkan instrument musik etnik dan modern, antara lain gamelan, biola, selo, rebana dan suling.

Berbagai komunitas pendukung antara lain, Komunitas ABBAL (Atas Bumi Bawah Langit) Muntilan, Fatma Budaya Kota Magelang, Sahabat Perempuan, dan Sanggar Seniman Petani Gejayan.

Menurut Waskitho, mengapa mengangkat karya bertema gender, setelah melihat fenomena perempuan yang tiap harinya berangkat bekerja sebagai buruh gendong di pasar tradisional.

‘’Merek perempuan perkasa mencari nafkah untuk keluarganya. Betapa berat kehidupan yang ditanggung, setelah sampai di rumah harus mengurus anak-anak mereka,’’kata Waskito pengajar tari di STKW Surabaya itu.

Dikatannya, fenomena itu tak hanya dilihat di desa saja tapi juga di kota-kota besar. Belum lagi mereka dihadapkan persoalan rumah tangga yang sebagian besar mengalami kekerasan.

Pementasan Kringet Gendhong Gunung antara lain ditandai dengan tiga repertoar tari kontemporer karya Wenti yang juga pengajar jurusan
kesenian Universitas Negeri Yogyakarta yakni Solah Kiprah, gambaran
keperkasaan perempuan, Kenyo Mendres, gambaran feminisme perempuan,
dan Kipas Mega, gambaran energi dinamis perempuan.

Properti utama pementasan itu, kata Koreografer Wenti, menggunakan idiom kasur, sebagai simbol keluarga atau hubungan ranjang. Tatanan kasur di atas panggung menjadi sarana utama pementas mengekpresikan pergulatan perempuan dalam bentuk gerakan tari dengan iringan tembang geguritan oleh dua perempuan korban kekerasan dan dua orang sinden.

Sesi peragaan busana oleh para penari dari berbagai kalangan perempuan Magelang seperti petani, ibu rumah tangga, mahasiswi, dan pegiat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga dilakukan di atas hamparan kasur.
‘’Mereka juga melakukan seni peragaan busana antara lain dengan
mengenakan berbagai busana seperti pakaian petani, pengantin, pakaian
kuliah, pakaian berbagai tarian, berjalan di atas kasur,’’katanya.

Dia berharap pementasan itu membangun kesadaran pada pentingnya penghargaan terhadap martabat kaum perempuan.

‘’Kesadaran komunal ini akan mengetuk para pelaku kekerasan terhadap perempuan. Dan perempuan akan mendapatkan haknya yang tak selalu ditindas,’’katanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
  • 1st
  • 2nd
  • 3rd
  • 4th
  • 5th

Home | Mobile Version | Seni dan Budaya | Manusia Kreatif | Acara dan Berita | Festival 5 Gunung | Networking | Wisata
(c) 2013-2016 Modus Getar | Powered by Day Milovich