Jejak Festival Lima Gunung ::1::
Refleksi Perjalanan Seniman Menuju Jalan Sufi
oleh Sholahuddin al-Ahmed
Gaung Festival Lima Gunung (FLG), mulai mengema di Kaki Gunung Andong, Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang. Geliat seniman desa mempertontonkan, kejujuran, keluguan dan segala kearifannya pada bentuk dunia modern sekarang ini.
Sudah delapan tahun prose situ berjalan, ada tawa, tangis dan kebahagiaan diantara mereka. Menangis, karena terharu melihat kemiskinan di desa-desa. Menangis karena terharu didukung dana minimal dan swadaya.
Tertawa, karena kebahagiaan milik bersama mendengar gemerincing tari truntung. Petani desa dengan secuil tanah yang tersisa, bermaksud berbagi kebahagiaan dengan semua khalayak di seluruh penjuru dunia.
Mereka tidak mengemis proposal ke intansi pemeritah atau lembaga donor lainnya. Mereka menyisihkan sebagian hasil panen untuk membiayai kesenian tradisional yang pentas di FLG. Mereka memasak nasi, sayur-sayuran dari lereng Gunung untuk menjamu para tamu. Tak ada daging atau roti, tapi ikan teri, tahu tempe.
Kesederhanaan dan keihklasan menjamu tamu yang akan datang ke FLG 2009, menjadi bagian dari eksistensi kebersamaan dan persahabatan seniman desa. Tema tahun ini seperti menjadi rangkuman perjalanan festival dari tahun 2002 hingga kini, dan akhirnya diberi tema ‘’Cokro Manggilingan Jiwa’’.
Pencetus tema adalah Sitras Anjilin, Pimpinan Padepokan Cipto Budoyo, Tutup Ngisor, Lereng Merapi. Menurutnya, itu sebagai refleksi atas dinamika kehidupan. Bisa dimaknai secara universal bagi kehidupan diseluruh muka bumi ini.
‘’Tema itu sebagai kode, bahwa roda geraknya kesenian lima gunung dari tahun ke tahun selalu mengajak pada kesadaran atas perubahan dinamis, tema berganti, tantangan ruang waktu, antisipasi problem kontemporer,’’katanya, yang juga penasehat FLG.
Cokro dalam bahasa Jawa artinya, lingkaran dan manggilingan-perputaran, (perputaran jiwa dalam waktu). Pergulatan jiwa seniman desa mengarungi perjalanan waktu, menembus batas dunia menuju kontemplasi kehidupan yang sesungguhnya.
Kemandirian seniman di uji perputaran waktu, ketenaran sebagai aktor dan penari juga berbagai bidang kesenian yang digelutinya telah merambah ke berbagai panggung. Baik di tingkat lokal, nasional dan international.
Siapa yang tak tergiur bayaran mahal dan kemewahan dunia. Tapi disinilah seniman dusun jurtru menahan untuk bisa tetap konsisten pada jalan hidupnya sebagai petani desa yang lugu dan jujur kepada siapa saja, termasuk pada Tuhannya.
Refleksi itu kemudian terangkum dalam derap langkah kaki penari kuda lumping. Terdengar dari gemerincing kaki penari dayaan atau dentuman tambur truntung, yang tak henti-hentinya meneriakkan perdamaian.
Pada tahap-tahan awal FLG, mungkin tak kesulitan bagi seniman untuk mendapatkan dana. Karena semua ditanggung oleh Hotel Amanjiwo. Tapi waktu terus berputar dan mereka dihadapkan pada kemandirian.
‘’Tak ada sponsor bukan sebuah ujian, tapi proses kemandirian dan regenerasi ke arah independen. Masyarakat desa kaya akan biaya sosial dan kearfian lokal, maka tak ada kata minim dana atau kurang dana,’’kata Pimpinan Tertinggi Komunitas Lima Gunung, Sutanto Mendut.
Memang benar FLG ke-7 dan ke-8 merupakan gerak langkah kemandirian yang terekam dalam kepanitian. Tak ada penyokong dana yang besar, justru kebesaran hati seniman desa itu yang membesarkan bulatan angka dan hitungan matematis ekonomi.
Jalan yang dituju bukan pada sebuah materi, tapi perjalanan tentang persahabatan dan persaudaraan. Mungkin selaras dengan perjalanan menuju keilahian dan sufi.
Anda bisa posting-ulang artikel ini atau dengan mencantumkan link ini:
http://borobudurlinks.blogspot.com/2009/07/jejak-festival-lima-gunung-1.html
http://borobudurlinks.blogspot.com/2009/07/jejak-festival-lima-gunung-1.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar