Festival Lima Gunung Ke-8




Perputaran Lingkaran Jiwa Seniman Desa
oleh Sholahuddin Ahmad-Polo

Cakra manggilingan jiwa
Sebuah perubahan yang abadi

Sebuah keharusan yang tak bisa ditolak
Pemaksaan penuh pasrah
Nyawa yang bersetubuh dengan sukma
Cakra manggilingan jiwa
Penjelajahan sebuah titik dan koma

Kalimat itu terucap dari mulut Ismanto, Pimpinan Komunitas Gadung Mlati, Lereng Merapi. Dia mengenakan penutup kepala dari kain warna putih, begitu juga warna selendang yang dibalutkan ke tubuhnya.

Berdiri di sampingnya wanita cantik yang mengenakan kemben berwana putih pula. Di belakangnya beberapa penari mengenakan kostum rumbai-rumbai berwarna putih.

Begitulah prosesi awal Performance ‘’Menebus Kesadaran Manusia’’, dalam pembukaan Festival Lima Gunung Ke-8 yang bertema ‘’Corko Manggilingan Jiwo’’ di Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, kemarin

Rampak kendang, gong dan jedor menggaung membentur Lereng Gunung Andong di sisi utara dan memantul Lereng Merbabu sisi Selatan Dusun Mantran. Dalam mantra-mantranya pemahat kondang Ismanto, seperti mengajak merenungkan pentingnya perputaran lingkaran kehidupan.

‘’Jarum jam terakumlasi dalam perputaran kehidupan, mengantarkan manusia pada pergulatan tanpa arah. Ini karena kesadaran manusia telah musnah. Tuntutan ekonomi mengesampingkan pentingnya kesadaran untuk berbagi dengan yang lainnya,’’kata Ismanto.

Melalui performance itu, dia mencoba meningatkan manusia untuk bertumpu pada kesadaran jiwa selalu rela berbagi. Akhirnya akan tumbuh kesadaran komunal untuk menghormati hak orang lain.

‘’Seniman desa yang ikhlas menghibur masyarakat bertahun-tahun adalah bukti tingginya kesadaran mengarungi kehidupan yang rela berbagi kebahagiaan,’’katanya.

Pengsuh Pondok Pesantren API Tegalrejo, KH Muhammad Yusuf Chudlori (Gus Yusuf), dalam orasi budayanya mengatakan, kerukunan yang dibangun oleh Komunitas Lima Gunung menjadi contoh abadi. Ini menjadi pengingat dan pembelajaran bagi masyarakat lain pengikut kehidupan hedonisme.

‘’Bagi yang belum bisa hidup rukun dan suka tipu-menipu bisa belajar dari para seniman dan warga desa di sini,’’katanya.

Pimpinan Komunitas Lima Gunung, Sutanto Mendut, mengatakan proses mengusung Festival Lima Gunung sudah menembus batas kesadaran untuk menguji kesetia kawanan. Acara tetap digelar dengan dana hanya Rp 15 juta, tapi jika dihitung secara rinci termasuk biaya sosial kegiatan ini memakan dana diatas Rp 100 juta.

‘’Berapa biaya yang dikeluarkan setiap warga di Mantran untuk menyambut para tamu dan sanak saudara. Mengisi toples dan menyiapkan makan minimal Rp 400/KK, ini sungguh sebuah kesadaran warga miskin untuk berbagi,’’katanya.

Karena itu meski tak didukung dana yang memadai, menurutnya, Festival Gunung berlangsung tiap tahunnya dan sudah berumur delapan tahun. Ini menjadi pesta rakyat yang tak bisa dicampuri kepentingan pemodal dan sponsor.

Sedikitnya 20 kelompok kesenian tradisional dan kontemporer turut mengisi festival yang berlangsung sehari mulai hingga malam hari. Panggung ditempatkan di salah satu rumah penduduk dan dihias dengan instalasi pohon jagung kering.

Tak hanya warga desa yang menikmati pagelaran ini, para wisatawan manca negara juga ikut menikmati para seniman dari Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, Andong dan Menoreh. Para tamu hotel Amanjiwo juga berdatangan ke sana untuk menyaksikan festival tahunan itu.

Di sebelah panggung utama juga digelar pameran foto oleh Jurnalis Magelang. Sedikitnya, 50 foto dipajang karya dari 20 fotografer dari berbagai daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
  • 1st
  • 2nd
  • 3rd
  • 4th
  • 5th

Home | Mobile Version | Seni dan Budaya | Manusia Kreatif | Acara dan Berita | Festival 5 Gunung | Networking | Wisata
(c) 2013-2016 Modus Getar | Powered by Day Milovich