DUA JAM BERSAMA MUSTAFA DAVIS.
Oleh : Khalimatu Nisa
Borobudurlinks, 1 Oktober 2011. Sore itu (27/9) pemandangan tak biasa tampak di lantai pertama Candi Borobudur. Belasan muda-mudi dari komunitas Jeda (Magelang) dan Coret (Yogyakarta) membentuk satu lingkaran mengelilingi sebuah camcorder yang terpasang di atas tripod. Mereka asyik mendengarkan penjelasan seorang narasumber seputar film dokumenter. “Apa tujuan film dokumenter?” tanya narasumber tersebut. Seorang pemuda menjawab, “Tujuannya adalah untuk mengungkapkan suatu realita yang terjadi di sekitar kita.” Sesaat mereka hening sejenak. “Bukan,” kata sang narasumber, “yang kamu katakan adalah jurnalistik. Tujuan film dokumenter adalah untuk mengungkapkan suatu cerita.”
Adalah Mustafa Davis, seorang sinematografer, filmmaker, sekaligus fotografer muslim asal Amerika yang bertindak sebagai narasumber dalam workshop sederhana sore itu. Kedutaan Besar Amerika, bekerja sama dengan LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial) memfasilitasi para aktivis komunitas muda untuk belajar membuat film dokumenter secara singkat bersama Mustafa Davis dan asistennya, Mohammad Reiza.
Dalam kesempatan itu Mustafa mengungkapkan bahwa kebanyakan film dokumenter di Indonesia masih tergolong jurnalistik. Perbedaan yang mendasar dari keduanya adalah bahwa di dalam film dokumenter subjektivitas itu diperbolehkan dan bahkan dikedepankan, sementara dalam jurnalistik, seseorang dituntut untuk menjadi obyektif. “Dengan kata lain, dokumenter itu merupakan gambaran dari sudut pandang sang sutradara,” kata Mustafa.
“Lalu, bagaimanakah film dokumenter yang baik, itu?” tanya seorang peserta workshop. Dokumenter yang baik, menurut Mustafa tergantung pada kemampuan narasumbernya untuk bercerita. “Yang terpenting dalam dokumenter adalah emosi. Ketika saya membuat sebuah dokumenter, saya memilih subjek yang bisa menyalurkan emosi,” ungkap Mustafa.
Untuk membuat seorang narasumber dapat menyalurkan emosinya dan bercerita secara jujur serta apa adanya diperlukan suatu teknik. Yaitu dengan memperlakukan si narasumber se-rileks mungkin. Sebelum memulai interview, terlebih dahulu pewawancara perlu mengakrabkan diri dengan sang narasumber. Sementara bersamaan dengan itu, kamera, sound dan lighting dipersiapkan di tempat yang berbeda. Saat semuanya telah siap, narasumber dan pewawncara memasuki area pengambilan gambar secara bersamaan. Tujuannya, agar si narasumber tidak merasa grogi. Dan jumlah kru yang ada di dalam area itu, paling banyak adalah dua, terang Mustafa.
Mustafa pun mengaku selalu menutup lampu LED pada kamera agar narasumber tak mengetahui bahwa kamera berada dalam keadaan on sejak pertama mereka masuk ruangan. Narasumber didudukkan di depan kamera menatap sang pewawancara. Kepada narasumber Mustafa akan mengatakan bahwa itu bukanlah suatu wawancara melainkan hanya obrolan di antara mereka. “Saya biasa mengawali wawancara dengan pertanyaan mudah,” kata Mustafa. “Jika saya melakukannya di pagi hari, saya akan berkata ‘Maaf, saya masih mengantuk. Saya bukanlah orang yang biasa bangun pagi,’ setelah itu saya akan mengambil dua cangkir kopi untuk kami berdua.” Setelah itu Mustafa akan menanyakan beberapa hal dengan santai. Ia tidak membaca daftar pertanyaan dari buku catatan atau sejenisnya, karena hal itu akan membuat kontak mata tak terfokus pada narasumber.
“Setelah 30 menit biasanya para narasumber menanyakan kapan wawancara akan dimulai,” jelas Mustafa, “dan bagian yang paling saya sukai adalah ketika saya bilang ‘kita telah memulainya 30 menit yang lalu’ atau ‘kita sudah selesai’.” Dalam waktu 30 menit yang santai itu biasanya Mustafa telah mendapatkan semua info yang ia butuhkan. Hal terpenting selanjutnya adalah menanyakan kepada narasumber bagian manakah dalam wawancara tadi yang ia akan merasa keberatan jika ditampilkan dalam film. “Dan saya tidak akan menampilkannya,” tegas Mustafa.
Selanjutnya muncul pertanyaan dari salah satu peserta, “Setelah membuat film dokumenter, apa yang kita lakukan?”. “Buatlah satu screening test dengan 15-20 audiens,” jawab Mustafa. Melalui screening test tersebut kita bisa melihat apakah film kita bisa diterima dengan baik atau tidak. Jika audiens tertawa melihat adegan yang lucu atau menangis pada adegan yang mengharukan, berarti film kita telah berhasil. Untuk mendapat respon yang jujur, baiknya kita jangan mengatakan bahwa kita membutuhkan kritik untuk film kita. Karena dengan begitu, mereka akan mencari-cari kesalahan. Kita cukup mengatakan, “Aku punya film baru, mari kita menikmatinya bersama.” Jika film kurang berhasil diterima oleh audiens, kita harus kembali membawanya ke ruang editing. Dan setelah semuanya selesai, kita bisa mengikutsertakan film kita ke segala festival film yang ada di seluruh dunia, dengan catatan film kita masuk dalam kategori persyaratan festival tersebut.
Puluhan film dan video klip yang telah berhasil Mustafa buat dan beberapa sempat merah penghargaan itu dicapai bukan tanpa kerja keras. Ia mengaku, selama 12 tahun berkarya dalam bidang film, ia selalu menonton film (khususnya dokumenter, baik hanya cuplikan atau keseluruhan) tiap harinya. Dari sana, ia akan mencontoh hal-hal yang ia anggap baik. “Bagi saya, itu merupakan cara terbaik untuk belajar,” kata Mustafa.
Selama 12 tahun itu pula, Mustafa mengaku menemukan satu formula yang ia anggap selalu berlaku dalam penyajian suatu cerita. Formula itu adalah: a hero, a bad guy and a goal. Jadi, dalam sebuah cerita harus ada elemen pahlawan, pengganggu dan sebuah tujuan yang akan dicapai. Secara garis besar sebuah cerita itu menggambarkan keadaan dimana seorang lakon berusaha mencapai tujuannya di tengah gangguan-gangguan yang ada. “Sayamenemukan ketiga hal itu setelah berkali-kali melakukan kesalahan. Untuk itu, kita harus terus mencoba dan jangan pernah takut salah. Kesalahan akan membawa pelajaran bagi kita,” tutup Mustafa sore itu, diiringi tepuk tangan puas dari para audiens (bolinks@211).
Anda bisa posting-ulang artikel ini atau dengan mencantumkan link ini:
http://borobudurlinks.blogspot.com/2011/10/dua-jam-bersama-mustafa-davis.html
http://borobudurlinks.blogspot.com/2011/10/dua-jam-bersama-mustafa-davis.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar