ENIYA, 'WONG MAGELANG' PENERIMA HABIBIE AWARD TERMUDA.

Borobudur Links | Desember 01, 2010 | 05.16 wib | Label: creative people


Oleh: Nawa Tunggal.

Borobudurlinks, 1 Desember 2010.
Di antara 4 orang penerima Habibie Award 2010, salah satunya adalah Dr-Eng Eniya Listiani Dewi, peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Ia merupakan penerima Habibie Award termuda.
Karya perempuan kelahiran 14 Juni 1974 tersebut berkisar pada lingkup elektrokimia, suatu cabang ilmu kimia yang berkaitan dengan potensi listrik dan energi. Penelitiannya adalah tentang sel bahan bakar berbasis hidrogen yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi baru yang ramah lingkungan. a
Salah satu karya yang mengawali kiprahnya di bidang sel bahan bakar adalah penemuan katalis baru untuk sel bahan bakar. Penemuan tersebut menurutnya adalah sebuah inovasi yang ditemukan secara kebetulan.
"Saya kan kalau sedang ekaasperimen suka saya tinggal waktu makan siang. Saya pikir kan tidak masalah. Nah, waktu itu ketika saya melihat hasil eksperimen setelah saya tinggal, kok jadinya berbeda, ternyata perbedaan malah jadi inovasi," terang Eniya. Polimer yang terbentuk menjadi terdiri dari 10 penyusun, padahal harusnya ada 2 penyusun.
Dari hasil karya yang kebetulan tersebut, perempuan yang menyelesaikan gelar doktor dari Fakultas Aplikasi Kimiawi, Polimer, Katalis dan Sel Bahan Bakar Waseda University ini meraih beragam penghargaan, termasuk Mizuno Awards dan Koukenkai Awards dari Waseda University dan Polymer Society Japan pada tahun 2003.
Karya terbarunya adalah ThamriON, sebuah membran sel bahan bakar temuannya yang baru saja mendapatkan penghargaan Inovasi Paten dari Ditjen HKI 2010. "Prinsipnya, ThamriON tersebut adalah membran sel bahan bakar yang terbuat dari plastik yang direaksikan dengan asam sulfat. Karena telah direaksikan, maka plastik bisa menghantarkan listrik," ungkapnya.
Nama ThamriON sendiri punya sejarah tersendiri. "Saya kan bekerja di Jalan MH Thamrin Jakarta jadi nama itu saya ambil untuk nama karya saya. Kalau ON sendiri berasal dari kata ion, karena plastiknya bisa jadi menghasilkan ion," terangnya sambil tertawa mengenang penamaan hasil karyanya.
Teknologi sel bahan bakar dan bahan pendukung lain hasil risetnya di kembangkan 80 persen dari material lokal, sehingga biayanya lebih murah. Dengan proses manufaktur secara mandiri, sel bahan bakar yang tersebut telah diterapkan untuk menyalakan perangkat elektronik dan sepeda motor dengan kapasitas 500 Watt.
Untuk mengembangkan proses produksi dan penyimpanan bahan bakar, Eniya bekerja sama dengan berbagai pihak. "Ada Teknik Kimia UGM, Pusat Teknologi Bioindustri, industri polimer dan baterai," ungkap perempuan yang kini menjadi Kepala Perekayasaan Sel Bahan Bakar di BPPT.
Eniya adalah putri pertama dari pasangan Hariyono (alm) dan Sri Ningsih, berasal dari kota Magelang, Jawa Tengah. Ketertarikannya dengan dunia teknologi dan lingkungan sudah ada sejak ia masih duduk di bangku SMA Negeri 1 Magelang.
"Sejak saya SMA, saya sudah tertarik pada hal-hal yang berbau sains dan ramah lingkungan. Waktu itu, kalau mengarang, saya selalu menulis tema-tema teknologi dan isu ramah lingkungan," ujarnya yang sebenarnya lebih menyukai ilmu fisika daripada kimia.
Setelah lulus SMA, ia beruntung dapat memperoleh beasiswa lewat program Science and Technology Advance Industrial Development (STAID) Kementerian Negara Riset dan Teknologi. Ia kemudian melanjutkan pendidikan S-1 ke Waseda University.
Pendidikan strata dua dan tiga ia lanjutkan dengan beasiswa dari lembaga lain. Total masa pendidikan yang ia butuhkan untuk mencapai gelar doktor adalah 10 tahun, berawal dari tahun 1993 hingga tahun 2003.
Salah satu ambisi terbesarnya adalah mewujudkan penggunaan bahan bakar ramah lingkungan dari bahan hidrogen. "Bahan hidrogen ini sangat berpotensi, bisa diproduksi dari berbagai macam sumber, termasuk biomassa," terangnya. Ambisi tersebut diperoleh setelah melihat pengembangan kota Fukuoka, Jepang yang mengaplikasikan hidrogen sebagai sumber energi.
Hidrogen bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan listrik, bahan bakar kendaraan dan lainnya. "Dengan bahan bakar hidrogen, motor tidak mengeluarkan asap, tapi air murni," jelas Eniya.
Ide Eniya dalam pemakaian hidrogen sebagai sumber bahan bakar juga dipresentasikan dalam 7th Biomass Asia Workshop yang berlangsung di gedung BPPT, Senin 29/11/2010 (KOMPAS. Com/bolinks@2010)

6 komentar:

  1. Mas Herry:
    saluuttt..ikut bangga sbg wong magelang...mestinya yg sperti ini..mendapat dukungan luas dr berbagai pihak trutama Pemerintah ...perlu diberi kesempatan tuk lebih berkembang...ya tentu terutama untuk kepentingan negri sendiri

    BalasHapus
  2. Mualim M Sukethi:
    Mas Herry, sebetulnya banyak banget 'wong magelang' yg berprerstasi di level nasional/internasional. Tp memang hrs meninggalkan Magelang dulu. Karena kalau hrs di Magelang untuk mewujudkan prestasi itu...hil yg mustahal.

    BalasHapus
  3. Tini Sri Padmoningsih:
    kenapa begitu pak?

    BalasHapus
  4. Donny Eggers:
    Ikut bangga, PF u/Eniya. sbenarnya Magelang bukan yg terkecil diantara kota kota besar di Indonesia. Sejak dulu Magelang mampu mengukir sejarah, tapi sayang sekarang 1 kebanggaan yg hilang itu belum dikembalikan, krn tak punya pasar gede lagi

    BalasHapus
  5. Mualim M Sukethi:
    @Mbak Tini. Dlm hal Eniya, pertama, kalo ia terpaksa tinggal di MGL maka ia hanya bs menempuh pendidikan di PT yg kelasnya medioker serta tak mempunyai fasilitas memadai untuk mengembangkan kemampuannya. Hal ini juga menimpa bakat2 muda lainnya dr berbagai bidang disiplin.
    Kedua, tak ada suasana kompetisi di MGL. Kalau ada tokoh lokal yg sedikit berprestasi, maka seringkali cepat 'gede kepala', karena merasa tak ada lawannya. Kalo di kota yg agak gede, Jogya atau Jakarta misalnya, maka prestasi itu akan teruji krn banyak persaingannya. Yg eksis itulah yg terunggul.
    Dulu di MGL saya punya teman seorang gitaris klasik. Untuk ukuran MGL ia dianggap jago. Ketika kemudian kami memutuskan untuk ke Jkt, tes masuk IKJ, ternyata gitaris sekelas teman saya itu jumlahnya ribuan. Dengan mudah dijumpai di bus2 kota (ngamen)...he he. Teman saya itu tak lulus tes IKJ krn saingannya level juara Asia Tenggara dll. Untung ia tak putus asa. Ia merubah haluan jd pedagang, dan lumayan sukses. Karena banyak teman2 lain yg selevel teman saya itu kemudian pulang kampung krn tak berani menghadapi persaingan tingkat tinggi spt di Jkt itu.

    BalasHapus
  6. Mualim M Sukethi
    Bung Donny, yg jadi persoalan buat MGL kalo mau eksis sbg kota adalah menemukan jatidiri dan potensi yg dimilikinya. Syukur2 potensi itu tak dimiliki atau sedikit dimiliki kota lain. Dlm hal kebudayaan misalnya, potensi kesenian rakyat yg luar biasa. Atau Borobudur dan belasann candi lain yg ada di kabupaten, hrs dieksplorasi dan dikembangkan pemanfaatannya.
    Kini, bahkan MGL berkembang sbg 'pusat (bisnis) senirupa Indonesia'. Sayang potensi2 itu bahkan tak dilirik atau tak disadari oleh elite kota/kabupaten MGL. Jd akhirnya MGL ya gitu2 ajalah...he he.
    Soal pasar, hal itu menggambarkan dgn jelas level medioker elite MGL. Yg semata melihat pasar sbg entitas ekonomi dgn pamrih sesaat, bukan sbg entitas budaya menyangkut hajat hidup seluruh warga MGL.

    BalasHapus
 
  • 1st
  • 2nd
  • 3rd
  • 4th
  • 5th

Home | Mobile Version | Seni dan Budaya | Manusia Kreatif | Acara dan Berita | Festival 5 Gunung | Networking | Wisata
(c) 2013-2016 Modus Getar | Powered by Day Milovich