MENIMBANG CAWALKOT MAGELANG 2010-2015 (02).

Borobudur Links | Mei 24, 2010 | 22.06 wib | Label: Event and News


Oleh: Mualim M Sukethi.

Borobudurlinks, 24 Mei 2010.
Selama 10 tahun terakhir ini relative tak terjadi perkembangan signifikan di kota Magelang. Tidak ada gejolak berarti dalam kehidupan warga, alias adem ayem. Namun juga tak terjadi lompatan yang berarti, yang mampu mengangkat kesejahteraan dan kemartabatan masyarakat.
Secara angka PDRB (Product Domestic Regional Brutto) Kota Magelang mencapai 1.669.909,26 juta rupiah (2008). Angka ini lebih tinggi dibandingkan PDRB daerah sekitarnya seperti Kab.Magelang, Purworejo, Temanggung, Salatiga. Namun kalau dihitung berdasarkan pertumbuhan jumlah penduduknya, Kota Magelang justru menempati posisi paling bontot.
Pertumbuhan ekonominya memang lumayan, rata-rata sekitar 5%. Namun kalau harus dibandingkan dengan laju inflasi yang juga bergerak di sekitar 5%, maka tingkat pertumbuhan itu tak berarti apa-apa. Sekedar aman, tapi stagnan. Yang agak menggembirakan, kendati kecil, angka kemiskinan cenderung turun dari tahun ke tahun. Dalam 2 tahun terakhir 2006-2008, terjadi angka penurunan kemiskinan sekitar 4,22%.
Bidang usaha yang berkembang di kota yang memposisikan diri sebagai kota jasa itu juga relative tak bertambah. Kalau di awal kemerdekaan, Magelang memiliki ikon kuliner berujud gethuk bermerk ‘Trio’. Maka hingga kini pun variasi kuliner, yang berarti terjadinya nilai tambah (added value), relatif hanya itu-itu melulu. Seperti halnya sejak 35 tahun lalu, seingat penulis, masyarakat Magelang hanya bisa berbangga karena punya satu-satunya industri berkelas nasional, yaitu industri karoseri New Armada.
Di bidang social budaya, Kota Magelang juga tak melahirkan ikon yang pantas dibanggakan. Adakah atlit Magelang yang berprestasi di tingkat nasional ? Ada berapa seniman atau tokoh masyarakat, yang lahir dan berproses di Kota Magelang, yang eksistensinya diakui ? Sutanto Mendhut memang lahir dan berproses di Magelang, tapi eksistensinya terbentuk tanpa kontribusi pemkot/pemkab sama sekali.
Sekarang ini muncul nama Dorothe Rosa Herliany (penyair) dan Deddy PAW (perupa) di pentas nasional. Tapi mereka hanya numpang lahir di Magelang. Proses ‘menjadinya (to be) dilakukan di Jogya atau di Jakarta. Mungkin hanya tokoh-tokoh militer saja, yang pernah mampir di Magelang karena menempuh pendidikan di Akademi Militer (Akmil), yang mampu mendaki puncak karir hingga menduduki jabatan public di level elite republic ini.
Kondisi semacam itulah yang menyebabkan David Herman Jaya, pemilik New Armada Grup, mengatakan: “’Selama 10 tahun ini (pembangunan) Kota Magelang statis, dan bisa dikatakan tidak ada prestasi. Yang membanggakan cuma kotanya aman’’.
Lalu bagaimana dengan para kandidat cawalkot (calon walikota) Magelang 2010-2015, apakah mereka maju dengan gagasan dan inovasi yang mampu memajukan kota yang popular sebagai basis militer itu ?

VISI-MISI & PROGRAM.

Visi adalah pandangan yang jauh ke masa depan, sementara Misi bisa diartikan sebagai program yang akan dijalankan untuk mewujudkan visi itu. Visi haruslah ‘melangit’, sementara Misi mestinya ‘membumi’. Persoalannya, terobosan atau inovasi apa yang dibawa para cawalkot untuk membawa Magelang ke masa depan yang gilang gemilang ?
Saya mencoba menelaah VisiMisi para kandidat dalam bentuk selebaran, media massa, atau dari website ‘walikotamagelang.com’. Selain itu saya juga mencoba menggabungkannya dengan pernyataan atau pandangan mereka yang muncul lewat berbagai program kampanye yang dilakukan, khususnya dalam menanggapi berbagai persoalan yang dilontarkan masyarakat saat kampanye itu.
Secara umum, VisiMisi dan program yang ditawarkan bersifat normative. Hal ini, mungkin, disebabkan oleh pemahaman mereka yang menganggap bahwa VisiMisi dan program harus berisikan hal-hal yang bersifat idealis semata. Itu pun sekedar mengadopsi program-program resmi yang sudah menjadi program pemerintah secara nasional.
Pendidikan murah atau pelayanan kesehatan gratis, pemberdayaan UKM dan koperasi, pemerintahan yang bersih, serta pemenuhan hak-hak politik rakyat (demokratisasi), adalah program-program yang ditawarkan oleh cawalkot. Program serupa juga bisa dijumpai pada hampir semua calon pemimpin yang bertarung di level walikota/bupati dan gubernur di seluruh Indonesia. Bahkan calon presiden dalam pemilu juga mengumbar program semacam itu. Karena hal-hal itu memang merupakan problem nasional yang tak pernah teratasi dari waktu ke waktu.
VisiMisi yang disampaikan pun bersifat standard. Mereka hanya mengembangkan visi berdasarkan pemahaman ‘Magelang Kota Jasa’, tanpa memahami lebih jauh jasa apa yang menjadi unggulan kota yang memiliki sejarah panjang itu. Jadi ketika dipertanyakan bagaimana mengembangkan VisiMisi itu sehingga bersifat operasional, pada umumnya kandidat tak bisa menjawab.
Selain VisiMisi yang normative tadi, ada beberapa perbedaan atau penekanan program yang bisa kita lihat pada masing-masing cawalkot. Pasangan Sendhiko (Senen Budi Prasetyo-Kholid Abidin) memberi penekanan pada layanan kesehatan, dengan memberikan asuransi kesehatan (askes) gratis. Lewat ‘Yayasan Paguyuban Senen Budi Prasetyo’, yang dibentuk khusus menyongsong kampanye, Sendhiko membagikan 40.000 premi askes secara gratis. Berbagai kegiatan kampanye (off-air) pasangan ini diwarnai oleh pembagian premi gratis ini.
Karena sekedar pemancing, premi ini hanya berlaku untuk bulan Mei-Juni. Selanjutnya akan dipermanenkan lewat program Jamkes yang memang menjadi program pemerintah pusat. Kendati sekedar memanfaatkan program pemerintah, langkah Sendhiko ini cukup cerdik. Kalau program ini bisa terlaksana, target angka 40.000 premi/orang itu cukup besar untuk meraih jumlah suara pemilih Kota Magelang sebesar 93.000 orang.
Tantangan bagi pasangan ini, apabila terpilih adalah bagaimana agar program layanan kesehatan itu bisa terjangkau secara merata dan adil bagi seluruh warga Magelang yang membutuhkan. Hilangkan prosedur teknis (dan koruptif) yang seringkali membatasi warga miskin untuk memperoleh layanan dasar ini.

Namun kalau tidak terpilih, pasangan ini mestinya tetap meneruskan program ini. Tentu lewat eksistensi yayasan yang sudah dibentuk. Dengan demikian masyarakat akan melihat apakah misi yayasan ini semata demi kekuasaan lewat pilkada kali ini, atau memang bagian dari kontribusi social seorang Senen Budi Prasetyo ?
Dari segi paparan, pasangan Sijoli (Sigit Widyonindito-Joko Prasetyo) menawarkan VisiMisi yang cukup komprehensif. Pasangan ini menawarkan piramida pembangunan berdasarkan konsep MDGs (Millenium Development Goals), suatu target pembangunan yang deklarasinya disepakati 147 negara, termasuk Indonesia, dalam sebuah KTT pada tahun 2000 di New York, Amerika. Selain mengatasi kemiskinan, pemerataan pendidikan, mengurangi angka kematian, maka konsep MDGs, juga memberikan perhatian terhadap kesetaraan gender dan pembangunan pro lingkungan.
Mungkin bukan sesuatu hal yang baru dan orisinal, tapi bagaimana pun juga pencantuman target MDGs sebagai acuan pembangunan, jelas merupakan suatu langkah maju. Minimal menunjukkan bahwa pasangan ini cukup memiliki wawasan dan memahami trend politik dunia.
Yang menarik adalah keinginan pasangan ini untuk mengembalikan kejayaan kota Magelang semasa menjadi ibukota karesidenan Kedu. Dulu orang-orang dari Temanggung, Purworedjo, Wonosobo, Kebumen, belum merasa bangga kalau belum menginjakkan kakinya di Magelang, papar Sigit dalam suatu kesempatan berkampanye. Konsep ini tentu didasari oleh posisi Magelang sebagai pusat, dan kota atau wilayah di sekitar itu sebagai hinterland (penyangga).
Namun sejauh yang saya pahami dari paparan mantan Kadinas PU Kota Magelang itu, visi itu bersifat paradox. Sebab trend politik ekonomi sekarang ini menempatkan daerah (kota/kab) sebagai pusat sesuai UU Otonomi Daerah. Dengan demikian daerah-daerah itu memiliki otoritas untuk mengembangkan daerah masing-masing sesuai kekuatan dan keunggulannya.
Apalagi dengan berkembangnya teknologi komunikasi digital sekarang ini, transaksi dan promosi bisnis bisa dilakukan secara online. Ditambah dengan sarana dan prasarana transportasi yang memadai, maka daerah-daerah itu bisa menjual potensi yang dimiliki tidak hanya ke Magelang, tapi bisa ke daerah lain yang bersifat lintas batas. Bahkan lintas negara dan lintas benua. Tak ada lagi keharusan untuk melewati Magelang.
Budiyarto, yang berpasangan dengan Titiek Utami, mencoba berbeda dengan janji untuk membangun kehidupan budaya yang lebih kondusif di kota Magelang, antara lain lewat pembangunan sebuah gedung kesenian. Hal ini, mungkin, tumbuh dari kesadaran Budiyarto yang merasa dirinya juga seorang seniman. Ia, dikenal sebagai Budi Mitas, karena dulu pernah menjadi penggebuk drum band Mitas yang pernah popular di kota Magelang era 70-an.
Pada masa kampanye kali ini, pasangan ini juga memberangkatkan sebuah grup kesenian tradisional Topeng Ireng untuk berpentas di suatu hajatan di Jakarta. Persoalannya, membangun kebudayaan tentu tidak sesederhana membangun sebuah gedung kesenian. Dibutuhkan iklim atau atmosfer yang menunjang, seperti pendidikan yang berkualitas, program-program budaya atau kesenian yang terencana, media informasi dan komunikasi yang memadai, dan iklim berkesenian yang bebas.
Janji dan langkah awal ini pantas diapresiasi. Namun pembuktiannya harus terus-menerus ditagih dan diawasi. Saya perlu memberi catatan khusus tentang hal ini. Karena sebagai pelaku aktif kesenian, saya tidak pernah mencatat kehadiran Budiyarto dalam berbagai event kesenian di Jakarta yang melibatkan seniman Magelang.
Untuk pasangan Koentjoro-Enny, saya tidak memiliki komentar. Karena ketika saya meminta VisiMisi mereka lewat e-mail. Mereka hanya menjawab: “VisiMisi kami sederhana ‘Mbangun Kutho, Noto Projo’…silakan dijabarkan sendiri”. Ketika saya komentari, apakah sederhana itu berarti irit kata sesuai konsep Koentjoro-Enny yang serba irit ? Ataukah itu merupakan bentuk arogansi dari seorang akademisi, yang merasa tidak perlu menanggapi atau berkomunikasi dengan baik dengan pihak yang bertanya ? Mereka tetap menjawab: “itulah kesederhanaan kami”.
Karena saya merasa tidak memiliki kapasitas seorang dukun yang harus meramal atau nebak-nebak, maka lebih baik saya tidak memberikan penilaian terhadap pasangan ini. Saya hanya berdoa, semoga masyarakat Magelang bisa memahami apa yang dimaui oleh seorang akademisi yang berambisi memimpin kota Magelang ini.
Yang mengherankan, isu paling signifikan di Magelang saat ini yaitu pembangunan kembali Pasar Rejowinangun, hampir tak disentuh oleh para kandidat. Yang mencoba menyentuh masalah ini hanya Joko Prasetyo, calon wakil walikota pasangan Sijoli. Itu pun hanya menemui Paguyuban Pelaku Usaha Jl Mataram, alias pedagang kaki lima (PKL), salah satu unsur dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan keberadaan Pasar Rejowinangun. Bukan dengan pedagang inti secara langsung. Entah apa sebabnya ?
Bagi kandidat lain, apakah masalah Pasar Rejowingan yang menjadi tumpuan hidup puluhan ribu warga Magelang dianggap kurang seksi ? Ataukah mereka takut menghadapi tuntutan untuk secepatnya membangun pasar itu seandainya terpilih ? Ataukah mereka bagian dari konflik kepentingan yang disinyalir menjadi sebab tertundanya pembangunan pasar itu?
Sekedar diketahui, terbakarnya pasar itu telah berlangsung genap 2 tahun. Mungkin ini bisa diusulkan ke MURI (Museum Rekor Indonesia), agar tercatat sebagai kasus penundaan pembangunan pasar terbakar yang paling lama di Indonesia.


NILAI TAMBAH.

Menurut saya, menjadi calon atau pemimpin yang berhasil ukurannya cukup sederhana. Sebagai calon, ia harus mampu menawarkan idea atau gagasan, yang merupakan terobosan untuk mengatasi berbagai persoalan. Sementara bagi pemimpin ia dituntut untuk membuktikan gagasannya serta harus bisa menghasilkan nilai tambah bagi masyarakat yang dipimpinnya.
Dalam hal Magelang, bahasa sederhananya adalah, bagaimana merubah singkong yang berlimpah ruah dan harganya murah menjadi gethuk yang berharga mahal ? Bagaimana merubah salak yang saat panen raya harganya jatuh, menjadi keripik atau manisan yang cukup berharga ? Demikian pula dengan rambutan, papaya, batu, bambu, sayur-sayuran, buah-buahan, yang berlimpah ruah di Magelang dan sekitarnya, menjadi komoditas ekonomi yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Bagaimana menjaring 4 juta/tahun pengunjung Borobudur agar mau mampir dan membelanjakan uangnya di Magelang ? Bagaimana menciptakan iklim yang kondusif sehingga lahir banyak New Armada baru ? Dan seterusnya…
Melihat lemahnya gagasan, serta kualitas dan kapabilitas kandidat yang tergolong medioker, tak banyak yang pantas diharapkan dari pilkada Kota Magelang 2010 ini. Mungkin saya tidak sepesimis Sutanto Mendhut, tapi juga tak bisa terlalu optimis. Yang pasti tak akan terjadi lompatan prestasi di Kota Magelang hingga lima tahun ke depan. Semoga praduga saya keliru ! (bolinks@2010).

19 komentar:

  1. Inilah kota ku HARAPAN….Sekian puluh tahun akau tinggal di kota kecil ini, memang hanya HARAPAN yang ada. HARAPAN yang tak kunjung datang…HARAPAN untuk sebuah kehidupan yang lebih baik dalam segala hal. Namun hanya bisa berHARAP dan ber HARAP. Tak heran bila Sutanto Mendut bercommenttar pesimis seputar Pilkada ini.(Mungkin Sutanto mendut, lebih beruntung, karena tidak sepesimis saya) namun apapun alasanya HARAPAN adalah kota ku, kota kelahiran ku yang penuh HARAPAN, meski hanya sebatas HARAPAN. Yah…minimal masih ada HARAPAN….(karena memang namanya HARAPAN, tapi apanya yang mau di HARAPAKAN ya ????)

    BalasHapus
  2. Mualim M Sukethi:
    Mas Eling, Magelang Kota HARAPAN itu kan sekedar slogan. Saya juga berharap kita semua berpartisipasi mewujudkan HARAPAN itu. Apa pun bentuknya, sekecil apa pun. PUN.

    BalasHapus
  3. Arisyuni Hartono:
    sing ngerti biso ra kuoso..
    sing kuoso ra biso ngerti...
    sing biso kuoso kok yo ra ngerti2...

    BalasHapus
  4. Gepeng Nugroho:
    wah lumayan, ada yg pengen bngun gedung kesenian... Tp no coment deh, saya terlalu bnyak kecewa 12 tahun brkesenian di mgl ktk harus menginginkan sarana prasarana. Mending enjoy aja dgn komunitas

    BalasHapus
  5. Wibowo Setyo Utomo:
    ya peng, aku belajar banyak dg anda lewat banyolan-banyolan konyol segarmu saat dipanggung, he he he
    ingat aku ...!

    BalasHapus
  6. Gepeng Nugroho:
    hehehehe ...... nuwun sewu, lupa om. tlg di ingatkan

    BalasHapus
  7. Wibowo Setyo Utomo:
    ingat Mas Guntur...! Nah si om botak seputaran itu, Kemarin hadir di Kang Sobary bareng-bareng Kang Sony Elo-progo art

    BalasHapus
  8. Gepeng Nugroho:
    la om guntur sekarang udah pensiun, tak itik2 biar beraktifitas lagi mengisi hari tua masih belum mau je om, hehehe

    BalasHapus
  9. Mualim M Sukethi:
    @mas Aris. Supoyo ngerti baca tulisan saya, dan ikuti bolinks seterusnya.
    @Mas Gepeng. Minimal sdh ada yg janji.....
    @Pak Bowo. Silakan kembali ke topik diskusi. Monggo lho, jangan malu2...he he. Saya juga ada lho saat Sobary mampir di EloProgo. Kok kita nggak ketemu ?

    BalasHapus
  10. Moncong Putih:
    menarik sekali tulisan dari saudara mualim M sukethi,.. tapi kadang pembuktiaan dilapangan untuk kasus2 akademis masih kurang bisa dipertaggung jawabkan, dan tidak jaminan seorang yg hanya mempunyai nilai rata2 tidak mampu menjadi pimpinan saya ambil sedikit contoh, contohnya, megawati.. kita tahu kemampuan akademisnya waktu sekolah.. tapi dia ... Lihat Selengkapnyamampu menjadi presiden oleh dukungan masanya dan menyelesaikan masa jabatanya. caontoh yang lain lagi.. adalah presiden habibie.. kita tahu kemampuan akdemisnya waktu smp/sma... tapi masayarakat mengatakan pemerintahannya adalah pemeritahan yang gagal.,
    trus apakah sesorang waktu muda jika berbuat banyak buat orang lain apakah ketika dia sudah menjabat akan berbuat banyak untuk negaranya? kayaknya ini yg susah dijawab kita tahu beberapa tokoh demonstran2 extrim yang selalu menyuarakan kepentingan rakyat dan orang banyak misal Budiman sujatmiko (dulu prd, sekarang anggota dpr.RI), kita lihat sekarang tidak pernah berbuat apa2 lagi buat memperjuangkan nasib rakyat atau orang banyak, akbar tanjung waktu muda... trus setelah jadi mentri... mereka sudah tidak melakukakan apa2 untuk kepentingan orang banyak atau memperjuangkan yang menjadi kepentingan bersama.sedangkan yang diwaktu muda keliahatan biasa biasa saja setelah menjabat banyak jasanya buat negara ini contohnya Gus Dur, dia sangat banyak jasanya buat negara dan rakyat bangsa ini ketika menjabat menjadi presiden walaupun akhirnya harus dijatuhkan oleh musuh politiknya waktu itu, yang menamakan dirinya "posos tengah"

    BalasHapus
  11. Mualim M Sukethi:
    @Mas Moncong. Megawati bukannya bodoh, buktinya ia diterima di Universitas bergengsi, UI dan Unpad. Tp droupout, alasannya keluarga Soekarno saat itu dipersulit untuk sekolah.
    Habibie ditolak oleh DPR, bukan karena pemerintahnya gagal. Tp laporan pertanggungjawabannya ditolak karena ia bagian dr ordebaru.
    Budiman Sudjatmiko sbg anggota DPR cukup ... Lihat Selengkapnyakritis menyuarakan kepentingan rakyat. Coba simak tulisannya atau pendapatnya di mediamassa. Bahkan bbrp waktu lalu ia berniat mengundang salah seorang presiden Amerika Latin yg sosialis. Tp ditolak oleh pemerintah RI.
    Soal GusDur, itulah politik. Tapi jangan disamaratakan kalau presiden ditolak oleh elite politik (DPR/MPR) berarti ia gagal. Dalam kasus GusDur, misalnya, ia tdk disukai oleh elite yg masih dikendalikan kekuatan status-quo. Karena GUsDur tergolong pemimpin yg berani membabat kekuatan status-quo itu. Contohnya, siapa presiden RI yg berani nyopot PangKostrad, atau bahkan Pang TNI ? hanya GusDur.

    BalasHapus
  12. Sam Sujay:
    semua ada 'garis tangannya' sendiri2..
    jabatan 'politis' bkn karena pintar ato bodoh dalam ukuran pendidikan formal aja.

    BalasHapus
  13. Moncong Putih:
    setuju banget ama bang sam

    BalasHapus
  14. Mualim M Sukethi:
    @Sam. Kalau sekedar ngandelin garis tangan alias takdir atau nasib, ya apa gunanya pendidikan sebagai bagian dari upaya manusia meningkatkan kualitas hidupnya. Bubarkan saja sekolah2 itu. Biarkan anak2 kita tak usah sekolah. Tunggu nasib, siapa tahu ia jadi presiden.
    Pendidikan hanya satu faktor. Dalam tulisan saya juga ada pertimbangan lain yang dibahas: kompetensi, kinerja, VisiMisi dan program, serta komunikasi politik.
    Tolong kalau melihat persoalan secara utuh...please.

    BalasHapus
  15. Masmin Magersari:
    Yo wis teko gpp sih pak bijine 6 pas jaman smp/sma cpo ngerti pas kuliah bijine apik2...jare mgl butuh pemimpin yg gila...masalah mie instant yo gpp lan gk mslh m0sok sing sugih2 thok sing dadi team sukses, lha sing mlarat ben melu ngrasake barang tho...hehehe

    BalasHapus
  16. Sulardi Magelang Wijaya:
    ngurus kota magelang itu gampang, wong hanya dua kecamatan, gak perlu orang pinter....orang yang peduli rakyat dan sarana publik saja sebenarnya yang dibutuhkan. Untuk walikota terpilih: bangun dunk jaringan transportasi luar kota magelang bisa masuk kota magelang,masak jam 8 malam kota magelang sudah sepi nyenyet.....??, hidupkan lagi dunk gairah kota magelang, kaya jaman pak bagus panuntut dulu itu lo....

    BalasHapus
  17. Mbilung Sarawita:
    @ Mas Sulardi: sekarang sudah menjadi 3 kecamatan Mas ... Utara, Tengah, Selatan :-)

    BalasHapus
  18. Sulardi Magelang Wijaya:
    secara adminitrasi ya..., mestinnya tiga kecamatan itu nambah wilayahnya mertoyudan, atau kecamatan yang lain gabung jadi wilayah kota. kalau dua dijadikan tiga itu pekerjaan mudah, menyenangkan aparat bisa jadi pejabat,,nambah beban apbd....

    BalasHapus
  19. Mualim M Sukethi:
    @MasMin. Kita sm2 wong Magersari. Soal angka2 sekolah itu lontaran Mas Tanto Mendut. Kendati bukan faktor mutlak, tapi bagaimana pun pendidikan itu tetap penting.
    @Sulardi. Semoga cawalkot membaca ungkapan Anda.

    BalasHapus
 
  • 1st
  • 2nd
  • 3rd
  • 4th
  • 5th

Home | Mobile Version | Seni dan Budaya | Manusia Kreatif | Acara dan Berita | Festival 5 Gunung | Networking | Wisata
(c) 2013-2016 Modus Getar | Powered by Day Milovich