ATLANTIS, BOROBUDUR, DAN KEINDONESIAAN KITA.

Borobudur Links | Maret 01, 2010 | 05.03 wib | Label: art and culture




Oleh: Ma'rufin Sudibyo

Borobudurlinks, 1 Maret 2010. Sebuah seminar telah digelar di Museum Indonesia TMII pada Sabtu, 20 Februari 2010 lalu. Mengupas buku Prof Arysio Santos nan kontroversial. Indonesia sebagai lokasi benua yang hilang: Atlantis. Buku tersebut kini telah dialihbahasakan ke Bahasa Indonesia.
Meski isu yang diangkat tergolong kontroversial namun daya magnitude-nya masih kalah jauh dibanding panasnya publisitas skandal Bank Century. Namun demikian masih ada 100-an orang yang menghadiri seminar tersebut yang ditingkahi diskusi seru sehingga penutupan seminar sampai mundur 1,5 jam dari rencana awal.
Prof Arysio Santos yang sejatinya adalah pakar fisika nuklir kelahiran Brazil menghabiskan waktu 30-an tahun guna meneliti segenap aspek akan Atlantis. Sebelum akhirnya menyimpulkan bahwa kontinen dengan penduduk berperadaban tinggi yang mendadak lenyap dari muka Bumi itu sebenarnya berada di Indonesia. Yakni di lokasi yang kini dikenal sebagai Paparan Sunda. Tanah rendah yang kini telah tenggelam di bawah limpahan air laut dan sebelumnya menghubungkan pulau-pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan beserta pulau-pulau kecil di antaranya.
Santos mengajukan argumen bentuk-bentuk candi, sistem pertanian terasering beserta kebudayaan-kebudayaan mirip kebudayaan Indonesia yang ditemukan di luar wilayah negara kepulauan ini. Seperti misalnya di India, Madagaskar, atau bahkan Afrika Selatan adalah bukti eksistensi Atlantis di Paparan Sunda.
Santos pun mengklaim Atlantis tenggelam 11,6 ribu tahun silam. Saat untaian gunung-gunung api di tanah Sumatera dan Jawa seperti Toba dan Krakatau meletus sehingga terjadi pelelehan es kutub yang menyebabkan permukaan air laut global menaik.
Kritik tajam memang perlu dialamatkan ke Prof Santos mengingat Sang Guru Besar ini sejatinya hanya merangkai-rangkai fiksi tentang Atlantis dan mengait-ngaitkannya dengan fakta akan kepulauan Indonesia tanpa berdasarkan sumber data yang valid. Apalagi melakukan analisis data. Demikian pendapat Prof Harry Truman Simanjutak. Arkeolog senior yang juga mantan punggawa Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI).
Dari sudut pandang ilmu kebumian celah lemah hipotesis Atlantis-nya Santos terbuka lebar di banyak tempat. Sebut saja misalnya letusan katastrofik gunung Toba yang ternyata terjadi 74,5 ribu tahun silam atau jauh sebelum masa penenggelaman Atlantis versi Santos.
Pun demikian dengan letusan katastrofik Krakatau yang ternyata baru pertama kali terjadi pada abad ke-4 atau 5 Masehi. Sebagaimana dicatat dalam kita Pustaka Raja Purwa. Atau jauh lebih kemudian dibanding waktu 11,6 ribu tahun.
Letusan Krakatau itu demikian dahsyat. Melebihi letusan 1883 dan menyebabkan gunung api besar yang berdiri di antara Sumatera dan Jawa dengan puncak diduga setinggi 4.000 m runtuh membentuk kaldera raksasa sembari menerbitkan gelombang tsunami pembunuh nan luar biasa. Dahsyatnya letusan ini membuat tanah genting penghubung Sumatera dan Jawa menjadi lenyap.

Namun, letusan-letusan gigantis gunung api tidak pernah dikaitkan dengan terjadinya pelelehan es kutub. Karena, sebaran debu-debu vulkanik di atmosfer justru mereduksi intensitas sinar Matahari yang jatuh ke Bumi sehingga terjadi penurunan suhu global (global cooling) yang pada gilirannya justru membekukan air laut menjadi es. Khususnya di daerah lintang kutub dan lintang tinggi.
Letusan Toba 74,5 ribu tahun silam, misalnya, ditengarai memerosotkan suhu Bumi hingga rata-rata 20 derajat Celcius dari semula. Sekaligus mendorong Bumi dengan kuatnya ke dalam salah satu episode zaman es.
Namun, terlepas dari kontroversi hipotesis dan banyaknya celah lemah dalam argumennya, Prof Santos sejatinya telah memantik perasaan bersama yang telah lama hilang dari bumi Nusantara. Kebanggaan akan keindonesiaan kita. Kebanggaan kita. Sebagai bagian dari lebih 200 juta manusia yang hidup dalam tanah yang terberkati dengan kesuburan, kaya dengan mineral bahan tambang, energi, dan sumber daya terbarukan serta posisi silang yang unik dalam konstelasi dunia. Baik secara geografis, oseanografis, klimatologis, maupun geologis.
Ada banyak aspek tanah Nusantara yang telah terkuak, namun lebih banyak lagi yang masih belum kita ketahui. Dan banyak pula yang telah kita ketahui, yang semula dianggap sudah menjadi pengetahuan baku, ternyata harus direvisi dan dirombak total seiring dengan
informasi baru yang diperoleh dari penyelidikan terbaru.
Ambil contoh misalnya pada Candi Borobudur. Salah satu karya agung nenek moyang kita. Pengetahuan lama yang dipantik oleh van Bemmelen menyebut candi di puncak bukit ini runtuh dan terkubur akibat letusan gigantis Gunung Merapi purba pada 1006 M yang merontokkan sayap barat daya gunung hingga mengambrolkan puncak dan mengalir keras ke barat daya sampai membentur Pegunungan Menoreh hingga akhirnya membentuk perbukitan Gendol yang sekaligus mengubur Danau Borobudur dan candinya sekaligus.
Peristiwa ini dinisbatkan van Bemmelen sebagai titik migrasi kerajaan di Jawa Tengah menuju Jawa Timur. Van Bemmelen memang beranggapan bahwa kasus runtuhnya salah satu sayap gunung berapi di Indonesia merupakan hal yang umum. Setelah ia demikiant erpesona dengan ambrolnya sayap Papandayan dalam letusan 1772 yang mengubur ribuan jiwa.
Namun, penyelidikan-penyelidikan terbaru menunjukkan peristiwa menggidikkan tersebut sebenarnya tak pernah terjadi: perbukitan Gendol ternyata sudah terbentuk jauh hari sebelum munculnya Merapi purba. Sedimen-sedimen di bekas Danau Borobudur tidak menunjukkan proses sedimentasi massif sekali waktu namun berulang-ulang dalam jangka waktu lama lewat mekanisme lahar dingin dan tiada endapan batuan sangat kaya akan asam di lereng Merapi. Bebatuan yang seharusnya ada jika terjadi letusan besar.
Dan, coba bandingkan dengan kisah Danau Bandung yang kini menjadi daratan bernama Kota Bandung. Van Bemmelen pula yang berasumsi danau raksasa ini surut akibat bobolnya dinding danau sebelah utara di gua Sangiangtikoro. Namun, analisis geomorfologi terkini menunjukkan gua yang menjadi tempat mengalirnya Sungai Citarum di bawah tanah ini sama sekali tidak berperan dalam surutnya danau Bandung. Melainkan akibat proses erosi mudik yang menggerogoti pasiripis (hogback) antara bukit Pasir Kiara dan Puncak Laras. Tepat di belakang Sangiangtikoro.
Erosi mudik yang disebabkan oleh menurunnya permukaan air laut akibat zaman es sehingga Paparan Sunda muncul kembali sebagai daratan luas. Demikian intensif sehingga menggerogoti hogback yang tersusun dari batuan keras hingga mencapai garis pantai danau Bandung. Menciptakan air terjun raksasa dengan outflow jauh lebih besar ketimbang inflow danau Bandung.
Disadari atau tidak minat mengetahui isi bumi Nusantara meningkat pesat dalam lima tahun terakhir. Khususnya pasca bencana gempa megathrust Sumatera - Andaman 2004 yang menggetarkan jiwa siapa pun manusia Indonesia. Arus lalu lintas informasi dan traffic internet didominasi dengan kosakata "Pacific ring of fire" maupun "lempeng tektonik". Namun, peningkatan ini disertai mengapungnya atmosfer energi negatif di tanah Nusantara.
Banyak waktu yang habis untuk mengulas kosa kata-kosa kata tersebut dengan bencana, malapetaka, bangsa yang dihukum, bangsa yang diazab, dan sebagainya yang meningkat intensitasnya seiring terjadinya gempa-gempa bumi berikutnya. Terakhir pada 2009 lalu di pesisir Padang (Sumatera).
Ini membuat kita kian inferior dalam memandang diri dan keindonesiaan kita yang tak terlepas dari kegagalan kita menggapai tujuan berbangsa yang lebih baik dalam rezim orde reformasi. Ditambah dengan skandal Bank Century. Praktik kotor yang mengagetkan kita namun sekaligus menjerat kita ke dalam ketegangan, akumulasi emosi, dan potensi perpecahan yang kian memuncak akhir-akhir ini.
Semua seakan menunjukkan betapa negatifnya Indonesia. Betapa tak ada yang bisa dibanggakan negeri ini. Betapa enegi negatif adalah inheren dalam kehidupan bangsa ini. Seakan tiada lagi yang tersisa.

Kita tentu tak ingin hal itu berlangsung secara terus menerus. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu bangkit dari kesalahannya, dari inferioritasnya, hingga mencapai posisi yang membuatnya memiliki harga diri. Keindonesiaan kita bisa dibangkitkan lagi tidak dengan upacara. Namun, salah satunya dengan lebih mengenali negeri ini. Memahami keunikan-keunikan dan potensinya yang bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan umum. Mencapai tujuan Indonesia.
Semoga Atlantisnya Prof Santos, meski kotroversial dan lemah, menjadi salah satu pemantik kita untuk lebih mengetahui isi bumi Nusantara sekaligus menumbuhkan kembali keindonesiaan kita (dari Detik.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
  • 1st
  • 2nd
  • 3rd
  • 4th
  • 5th

Home | Mobile Version | Seni dan Budaya | Manusia Kreatif | Acara dan Berita | Festival 5 Gunung | Networking | Wisata
(c) 2013-2016 Modus Getar | Powered by Day Milovich