PADUAN KEINDAHAN ALAM & KECANTIKAN CANDI SELOGRIYO.

Borobudur Links | November 15, 2009 | 12.15 wib | Label: Tourism


Oleh: Mualim M Sukethi.

Borobudurlinks, 14/10-09.
Saya 'menemukan' candi Selogriyo ini secara tak sengaja. Saat itu lebaran ke 6, hari Jumat 25/9-09, saya berniat ziarah ke makam ayah saya di kota Parakan. Sekitar jam 08.00 pagi, saya meninggalkan Magelang menaiki motor pinjaman milik keponakan. Saya sengaja mengambil jalur Bandongan-Windusari-Tembarak, dan menghindari jalur Payaman-Secang yang selalu macet.
Selain terhindar dari kemacetan, jalur Bandongan ini juga menawarkan panorama yang memikat hampir di sepanjang jalan. Di sebelah kiri jalan berderet pegunungan Condong, Giyanti, dan Malang, yang menjadi latar depan gunung Sumbing di kejauhan. Sedangkan di kanan jalan terbentang lembah sungai Progo dengan kota Magelang dan deretan gunung Merapi-Merbabu-Andong-Telomoyo sebagai latar belakang.
Jadi sepanjang jalan saya tak henti-hentinya memotret panorama alam yang terhidang dengan indahnya itu. Hingga kemudian sampailah saya di desa Kembang Kuning, Kecamatan Windusari, sekitar 8-10 km dari pusat kota Magelang. Di sebuah tikungan, saya melihat papan petunjuk kecil bertuliskan ‘Candi Selogriyo’. Saya berhenti dan bertanya pada seorang ibu yang sedang berdiri di depan rumahnya, apakah benar belokan kecil itu menuju Candi Selogriyo ?
“Benar. Jaraknya sekitar 2 kilometer,” jawab ibu itu dengan ramah. Ia juga mengiyakan ketika kutanya apakah motor bisa sampai ke lokasi candi. Berbekal informasi itu, motor kubelokkan dan kupacu melewati jalan kecil menanjak menuju puncak gunung Giyanti. Jalan selebar 1,5 meter ini berlapis beton disambung konblok. Di kanan kirinya berderet rumah-rumah berukuran tak terlalu lebar.
Di halaman rumah-rumah itu terhampar rajangan tembakau yang sedang dijemur. Sementara di terasnya beberapa keranjang tembakau tertumpuk rapi. Oh ya, saat itu memang sedang musim panen tembakau. Jadi selain terlihat kesibukan warga menjemur dan memasukkan tembakau ke keranjang, sepanjang jalan juga diwarnai aroma harum tembakau yang menyengat. Yang jelas, wajah-wajah petani tembakau itu terlihat sumringah, membayangkan kualitas tembakau musim panen kali ini yang tergolong bagus, dan sudah tentu harganya bagus pula.

Jalanan berlapis beton dan konblok itu ternyata hanya sepanjang 1 km. Selebihnya, sekitar 1 km lagi, berupa jalan tanah. Lebarnya juga tidak lagi 1,5 meter, semakin ke atas semakin sempit menjadi jalan setapak, di balut tebing terjal dan jurang yang cukup curam. Saya mesti ekstra hati-hati mengendarai motor, agar tak terpeleset jatuh ke jurang itu. Namun jalanan itu terasa tak begitu menyeramkan, karena jurangnya terdiri dari sawah berlapis-lapis membentuk teras dengan pemandangan indah menawan. Kembali kamera saku saya beraksi.
Tak lama kemudian sampailah motor saya di dataran tak begitu luas. Di ujung dataran berdiri kokoh gapura yang menjadi gerbang menuju candi. Gapura dari beton dengan bentuk dan ornament batu candi ini terlihat masih baru. Ornamen gapura berkepala ‘kala’ dan ‘makara’, sedangkan atap gapura bercorak cakruk joglo. “Baru dibuat tahun 2007 lalu,” kata anak muda yang bertugas sebagai tukang parkir.
Memasuki gerbang, saya kemudian harus menaiki tangga yang cukup curam sepanjang 50 meter. Saya sempat berhenti di tengah tangga, menarik nafas dan meluruskan pinggang sejenak. Ternyata usia tak bisa dipungkiri, harus bisa kompromi menghadapi medan yang cukup berat ini.
Sampai di atas, di puncak tangga, terhampar dataran rumput yang tak begitu luas. Berbagai pepohonan buah-buahan yang cukup lebat tumbuh di kaki bukit yang mengelilingi dataran itu. Tepat di tengah dataran berdirilah Candi Selogriyo.
Candi yang tak begitu besar, berukuran 5,2 m x 5,2 m, tinggi 5,5 m, terletak persis di tengah-tengah dataran. Menjadi pusat pandangan dari dataran yang dipangku bukit-bukit pegunungan Giyanti ini. Posisi ini menjadikan candi Hindu yang didirikan pada abad VIII Masehi, nampak cantik menakjubkan. Melihat kecantikan candi ini, serta kesegaran udara di sekitarnya, kelelahan yang terasa di tubuh pun sirna seketika.
Candi ini menghadap ke timur, ke arah lereng dan lembah bukit Giyanti. Ada sebuah bilik (garbagraha) yang sudah kosong di dalamnya. Diperkirakan di tempat ini dahulu ada lingga dan yoni sebagai bentuk lain dari Syiwa Mahadewa. Di empat sisi dinding candi terdapat lima relung tempat arca-arca perwujudan dewa. Namun di relung ini kini tinggal arca tanpa kepala. Arca-arca itu adalah Durga Mahesasura, Ganesya, Agastya, Nandiswara, dan Mahakala. Puncaknya berbentuk buah yang disebut Amalaka.

Di belakang candi yang ditemukan pada tahun 1835 oleh peneliti Belanda Th Van Erp, di masa residen Hartman, ini masih terdapat serakan beberapa batu candi. Ada juga saung yang dimanfaatkan sebagai tempat istirahat pengunjung. Saat itu, berbarengan dengan saya, ada dua bapak bersama dua anaknya mengunjungi candi. Mereka asyik bermain-main di lapangan rumput yang memang nampak nyaman untuk bermain-main.
Puas menikmati keindahan candi, saya memutuskan istirahat di warung kecil di pojok halaman candi. Warung itu milik Sumaryono (37 th), penjaga candi, yang saat itu ditemani istrinya, Siti Fajiah (30 th). Saya memesan sebotol air mineral dan sebuah jeruk, sekedar penghilang dahaga.
“Kalau hari-hari biasa memang sepi. Tapi kalau sabtu-minggu lumayan rame, “ kata Sumaryono, sembari duduk menemani saya di bangku kayu yang terletak di samping warung. Dari buku tamu yang disodorkan lelaki ramah itu, saya membaca daftar tamu yang sebagian besar adalah turis mancanegara, khususnya dari hotel Amanjiwo, sebuah hotel eksklusif yang terletak di selatan candi Borobudur.
Dari penjelasan Sumaryono, tamu-tamu dari Amanjiwo itu harus berjalan kaki dari batas jalan aspal sepanjang 2 kilometer, menaiki gunung setinggi 600-700 m di atas permukaan laut itu. Mereka juga seringkali tidak berlenggang kangkung. Beberapa bekal makan siang dan peralatannya yang cukup ribet juga mereka bawa.
“Mereka sering mengadakan jamuan makan siang di sini. Mereka bawa sendiri makanan dan peralatannya, termasuk meja kursi yang bagus-bagus, “ kata Sumaryono. Saya bisa membayangkan kemewahan jamuan itu, karena seringkali melihat tamu-tamu Amanjiwo mengadakan jamuan makan di tempat-tempat yang eksotis di sekitar Magelang.
Saat itu terlihat dua pasang muda-mudi memasuki pelataran candi. Mereka telihat tidak begitu tertarik melihat candi, karena langsung duduk berpelukan di saung dan di bawah sebuah pohon. Suasana memang romantic, khususnya bagi remaja yang sedang memadu kasih. Candi yang cantik, lingkungan yang indah, suara burung dan unggas, serta gemericik air mengalir, menciptakan simponi alam yang memukau.
Oh ya, di hutan yang tak jauh dari candi, terdapat mata air, yang airnya membentuk sungai kecil mengalir di samping candi turun ke lembah di bawahnya. Air itulah yang digunakan sebagai pemasok sawah-sawah yang berderet seperti trap, mengingatkan system pertanian subak di Bali.
Terbayang bagaimana masyarakat Hindu pada masa itu, harus bersusah payah membangun sebuah tempat pemujaan di ketinggian seperti ini. Itulah cara mereka memuja Syang Hyang Widhi, yang mereka tempatkan di tempat sangat indah ini.
Cukup lama saya berada di lokasi candi Selogriyo. Sesungguhnya waktu untuk melihat candi hanya sebentar, karena ukurannya yang tergolong kecil. Namun saya enggan meninggalkan keindahan surgawi ini. Tidak mudah melukiskan suasana hati saat itu. Rasanya tempat ini merupakan salah satu tempat terindah yang pernah saya sambangi.
Tapi waktu terus bergulir, tak bisa diajak kompromi. Saya harus bergerak mengejar tujuan utama hari itu, berziarah. Saya pun pamit pada Sumaryono dan istrinya.
Sebetulnya hanya diperlukan 500 rupiah sebagai biaya memasuki areal candi. Itu tarif untuk turis local. Sangat murah, dibandingkan untuk turis asing sebesar 5000 rupiah. Tapi kembalian dari harga air mineral dan jeruk yang kunikmati sengaja tidak saya minta. Itu sebagai apresiasi terhadap kesetiaan penjaga candi yang telah menemani saya dengan segala keramahannya.
Pelan-pelan kupacu motorku menuruni bukit. Aku meninggalkan candi Selogriyo dengan janji di dalam hati, suatu ketika aku harus kembali ke sini, menikmati segala keindahan ini. Subhanallah ! (bolinks@2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
  • 1st
  • 2nd
  • 3rd
  • 4th
  • 5th

Home | Mobile Version | Seni dan Budaya | Manusia Kreatif | Acara dan Berita | Festival 5 Gunung | Networking | Wisata
(c) 2013-2016 Modus Getar | Powered by Day Milovich