KESETIAAN SEORANG PENJAGA CANDI.
Oleh: Mualim M Sukethi.
Borobudurlinks, 14/11-09. Lelaki itu bernama Sumaryono (36 th). Ia menyambut saya dengan ramah, saat saya memutuskan istirahat di warungnya yang terletak di pojok pelataran candi Selogriyo. “Duduk di sini mas. Teduh dan sejuk, “ katanya, sembari mempersilakan saya duduk di bangku kayu yang terletak di samping warungnya itu.
Udara di sekitar warung itu memang terasa sejuk dan segar, karena lokasi warung yang terlindungi kerimbunan pepohonan. Riuh kicau burung dan suara gemericik air mengalir menciptakan suasana surgawi di siang yang cerah saat itu. “Di atas itu ada beberapa mata air, yang mengalir lewat sungai kecil di samping candi ini, “ jawab Sumaryono, ketika kutanyakan dari mana suara gemericik air itu.
Beberapa anak kecil berlarian penuh kegembiraan di sekeliling candi. Siang itu sedikitnya ada dua keluarga dan dua pasang muda-mudi yang berbarengan saya mengunjungi candi yang terletak di atas bukit Giyanti ini.
“Kalau hari biasa tidak banyak pengunjung, tapi kalau Sabtu-Minggu lumayan banyak, “ kata Sumaryono, yang siang itu bertugas sebagai penjaga candi. Selain menjaga candi, lelaki yang tampak lebih tua dari usianya itu, juga membuka warung kecil yang ditunggui bersama istrinya, Siti Fajiah (34 th).
Ketika saya memesan sebotol air mineral dan sebuah jeruk, istrinya itulah yang menyajikannya. Bersamaan dengan buku tamu yang mesti saya isi. Dari buku tamu itu saya mengetahui, sebagian besar pengunjung candi kecil ini adalah turis bule.
Sudah berapa lama jadi penjaga candi ini ? “Sudah lebih 8 tahun. Baru April tahun ini diangkat resmi sebagai PNS, “ jawab lelaki ramping ini dengan nada bangga. PNS adalah akronim dari Pegawai Negeri Sipil, status yang didamba banyak warga masyarakat kecil, seperti halnya Sumaryono. Namun untuk mendapatkannya butuh waktu yang lama, dan perjuangan yang seringkali melelahkan.
Sumaryono menceritakan, selama delapan tahun menjaga candi, ia hanya berstatus pegawai honorer. Delapan tahun bukanlah waktu yang singkat. “Ndak terasa kok. Karena selain menjaga candi, saya juga buka warung. Saya juga masih bisa cari rumput buat ternak-ternak yang saya piara, “ kata Sumaryono dengan wajah yang tegar.
Ia memang memelihara dua ekor sapi. Tapi sapi itu bukan milik Sumaryono, milik orang lain yang dititipkan padanya. Ia sekedar nggaduh (memelihara). “Nanti hasilnya, kalau sapi itu beranak, kita bagi dua, “ jelas lelaki yang tinggal di dukuh Campurejo, desa Kembang Kuning, sekitar 2 kilometer dari candi itu.
Jadi, kalau ada waktu senggang di antara kesibukannya sebagai penjaga candi, antara jam 07.00-15.00, ia mencari rumput atau mencari buah-buahan yang dipetiknya dari pepohonan lebat yang tumbuh di hutan sekitar candi. Nangka, pepaya, petai, dan beberapa jenis buah lainnya dengan mudah bisa diperoleh dari hutan itu.
Dengan cara semacam itu, Sumaryono berusaha mencukupi kebutuhan keluarganya. “Soalnya kalau hanya dari gaji kan ndak cukup mas, “ ujar bapak dua anak ini. Saat ini, kata Sumaryono, ia memperoleh gaji 688 ribu rupiah. Ditambah tunjangan lain, sejumlah 1,1 juta rupiah diterimanya setiap bulan sebagai PNS.
Jumlah itu hanya cukup buat membayar kebutuhan sekolah anak sulungnya yang kini bersekolah SD, dan kebutuhan anak bungsunya yang berusia 5 tahun. “Sisanya buat kebutuhan rumah yang harus dibeli atau dibayar, seperti gula, garam, baju, dan listrik, dan sesekali lauk-pauk, “ kata Sumaryono. Kebutuhan lain, seperti beras dan sayur-sayuran, diperolehnya dari kebun miliknya seluas 1300 meter. “Tapi ndak saya olah sendiri. Diurus oleh adik saya “.
Apakah terpikir untuk mencari pekerjaan lain yang menghasilkan lebih banyak uang ? “Ndak mas. Saya cukup bersyukur mendapatkan pekerjaan ini. Biar nanti anak saya saja. Kalau bisa sekolah tinggi, semoga ia bisa dapat pekerjaan yang lebih baik, “ kata bapak yang tidak sempat menamatkan SMAnya itu. Menurut Sumaryono, tidak banyak warga desa di sekitar situ yang mau dan sanggup menjadi penjaga candi. Kebanyakan warga desa lebih memilih bekerja sebagai petani, pedagang tembakau, atau bekerja di kota yang lebih menjajikan dari segi materi.
Sebagai seorang muslim, apa tidak bertentangan dengan hatinya menjaga candi peninggalan agama lain ? “Ya ndak to mas. Candi ini bisa berdiri hingga kini, kan juga kersaning Gusti Allah. Kalau Gusti Allah tidak menghendaki, kan sudah runtuh sejak dulu, “ jawab Sumaryono dengan polos. Saya menangkap kearifan dari jawaban itu. Kearifan masyarakat desa yang belum terkontaminasi pengkotakan warga bangsa berdasarkan agama dan keyakinan, seperti yang banyak menghinggapi masyarakat kota (bolinks@2009).
Anda bisa posting-ulang artikel ini atau dengan mencantumkan link ini:
http://borobudurlinks.blogspot.com/2009/11/kesetiaan-seorang-penjaga-candi.html
http://borobudurlinks.blogspot.com/2009/11/kesetiaan-seorang-penjaga-candi.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar