RUMAH SENI ELO-PROGO.

Borobudur Links | September 17, 2009 | 22.06 wib | Label: networking


Oleh: Mualim M Sukethi.
(Foto2: Putri Fitria & Mualim M Sukethi).

Borobudurlinks/15-9-09. BOROBUDUR, sebagai ikon sejarah dan pariwisata, menjadi semacam magnet yang mampu mengundang, tidak saja wisatawan, tapi juga pelaku seni untuk berkiprah di sekitarnya. Salah satunya adalah SONY SANTOSA (46 tahun), seorang perupa yang selama ini membangun karirnya di pulau dewata, Bali. Sudah hampir 5 tahun terakhir ini Sony menetap di Borobudur, tepatnya di dusun Bejen, yang termasuk dalam lingkungan desa wisata Wanurejo.
Sony membeli tanah seluas 1 hektar lebih, dan membangun tidak hanya rumah, tapi juga galeri, museum, kantor, cafĂ©, arena pertunjukkan, dan penginapan bagi seniman yang ingin bermalam. Yang unik tanah yang dibeli Sony terletak memanjang di atas tebing sungai Progo yang cukup curam. Jadi semua bangunan yang didirikan relative menghadap ke arah sungai Progo. Bahkan sebagian tanah itu berhadapan langsung dengan ‘tempuran’, bersatunya dua sungai legendaries yang membelah tlatah Magelang, yakni sungai Progo dan Elo.


“Awalnya saya membeli tanah di delta itu,” kata Sony sembari menunjuk ke bawah, ke arah delta yang berada tepat di depan ‘tempuran’ sungai Progo dan Elo. Di delta itu Sony membangun sebuah ‘gubug’, dan menghabiskan waktunya dengan melukis dan memuaskan hobinya berendam di air sungai yang jernih. Selain Sony, delta yang cukup luas itu juga sudah dikuasai oleh seorang pengusaha galeri dari Magelang, dan sebuah ‘sekte’ Budha dari Thailand.
Hingga suatu ketika ada penduduk setempat yang biasa mancing di dekat gubug Sony memberitahukan ada tanah yang mau dijual. Dan kemudian dibelilah tanah itu, sebidang demi sebidang, hingga seluas seperti sekarang ini. “Rumah dan bangunan-bangunan ini saya dirikan hanya dalam tempo 3 bulan,” lanjut Sony.
Ngebut dong ? “Ya, saya memang begitu. Kalau sudah punya mau, ya seketika itu harus jadi, “ kata perupa berpenampilan nyentrik itu sembari mengantar kami meninjau bangunan-bangunan yang didirikannya. Hampir semua bangunan menampilkan arsitektur yang tidak biasa, menggabungkan bentuk bangunan tradisi dan modern. Seluruh bangunan berbentuk asimetris, dengan dinding berupa susunan bata merah yang dibiarkan terbuka, tanpa plester. Dikombinasikan dengan struktur tulang dari kayu, serta atap genting soka, maka sentuhan tradisi itu terasa kental. Hanya galeri yang berbentuk biasa, persegi memanjang.
Di halaman depan bangunan-bangunan itu diletakkan beberapa batuan yang membentuk berbagai formasi. Ada yang sekedar menjadi semacam meja kursi duduk, ada yang membentuk lingkaran dengan arena pertunjukan di tengahnya. Unik.
Selain bentuk bangunan yang unik, lingkungannya juga sangat rindang oleh berbagai pohon buah, antara lain rambutan, nangka, mangga, pisang, dan lain-lain. Sementara tanah-tanah milik penduduk di sekitarnya ditanami singkong, papaya, kacang-kacangan, dan kelebatan gerumbul bambu. Kenyamanan itu menjadi komplit dengan keindahan view lembah sungai Progo-Elo, dan dikejauhan gunung Merapi dan Merbabu tegak menantang langit.

Pentas Seni.


Deretan bangunan di atas lahan seluas itu tentunya akan sepi kalau hanya diisi aktifitas melukis Sony seorang diri. Seniman yan g pernah malang melintang sebagai preman di blok M Jakarta, itu kemudian mengundang berbagai seniman lain untuk berunjuk karya di rumah yang kemudian popular disebut RUMAH SENI ELO-PROGO.
Berbagai program seni yang bersifat regular dan temporer kemudian disusun. Antara lain yang sudah berlangsung secara tetap adalah ‘Art Camp’, ‘Poetry Camp’, dan ‘La Luna ala Elo Progro’. Dalam ‘La Luna’ yang berlangsung bulan Agustus 2009 lalu, misalnya, tampil beberapa seniman antara lain: Catur Stanis (monolog), Andre Topo (art-performer), DJ Pop (Poetry Performer), Gank Harmonika Elo-Progo (music), The Jakarta Band (musikalisasi puisi), Ervin Ruhlelana (pertunjukan diksi), Din Kandihawa dan Bidadari Bejen (seni ritual), Sony Santosa (painting performer), Buyung Mentari (puisi), dll. Sementara di Wall Exhibition, salah satu galeri di rumah seni itu, beberapa lukisan kaca karya Ardhi Gunawan dipamerkan.
“Awalnya kami hanya ingin bikin kegiatan di suatu bulan purnama. Karena secara alami di tempat ini bulan purnama terasa indah, dan mistis. Makanya acara itu kami namai ‘La Luna’ yang berarti bulan. Namun setelah penyelenggaraan yang pertama kemarin berlangsung sukses, banyak permintaan untuk mengadakannya setiap bulan purnama. Kami bersedia saja, sepanjang para seniman itu juga konsekwen untuk memeriahkannya,” kata Yoyo, teman Sony yang juga seorang perupa dari Bali yang kini tinggal di rumah seni itu.
Sementara yang bersifat temporer, baru berlangsung kalau ada seniman yang datang dan secara spontan ingin unjuk karya. “Saya kemudian mengundang seniman dan warga sekitar, juga pemerhati seni dari Magelang dan Jogya untuk menikmati pertunjukkan spontan itu,” tutur Sony disela-sela kesibukannya menyelesaikan sebuah lukisan.
Seringkali acara spontan itu bukan berupa pertunjukkan, tapi work-shop atau diskusi. Karena seniman yang datang kebetulan bukan seniman pertunjukan. Beberapa seniman yang tercatat pernah singgah dan menunjukkan kebolehannya antara lain: Garin Nugroho, Sawung Jabo, Remy Silado, Amien Kamil, dll. “Kami ingin adanya transfer pengetahuan antara seniman-seniman professional itu dengan warga dan seniman local atau pemula. Dan rumah seni ini bisa berfungsi sebagai wahana untuk kepentingan itu,” tambah Yoyo meyakinkan.
Bagaimana rumah seni membiayai semua program itu ? Apakah ada sponsor untuk itu ? “Kami membiayai sendiri semua acara itu. Sementara ini belum ada sponsor yang tertarik,” jelas Sony. Selain menyusun program, rumah seni meyediakan tempat sebagai lahan pertunjukkan. Para seniman itu sendiri yang mempersiapkan panggung seandainya diperlukan.
“Kalau pertunjukkannya berbentuk arena, yang tidak memerlukan panggung, ya silakan menggunakan tempat ini yang memang kami desain sebagai tempat dan arena terbuka,” timpal Yoyok sembari menunjuk beberapa tempat yang bisa dimanfaatkan sebagai arena terbuka. Selain itu rumah seni juga menyediakan konsumsi sederhana, seperti singkong dan kacang rebus, atau nasi pecel/urap dengan krupuk dan peyek teri.
Bagaimana pun juga semua acara itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. “Kami membiayai semua itu secara subsidi silang. Kami memperoleh dana dari karya-karya lukisan kami yang terjual, “ kata Sony tanpa bermaksud menonjolkan diri. Siapa yang sanggup membeli lukisan-lukisan karya Sony yang harganya berkisar antara 15-25 juta rupiah ? “Rumah seni ini secara rutin didatangi para turis asing. Mereka bermalam di hotel-hotel internasional di Borobudur ini, seperti Amanjiwo dan Saraswati. Merekalah yang membeli karya-karya kami,” lanjut Sony.
Para turis itu mengetahui keberadaan rumah seni ini dari berbagai acara yang telah diadakan. “Jadi memang ada simbiose mutualistis dengan para seniman. Mereka butuh tempat berekspresi, kami menyediakan. Sementara rumah seni ini juga makin dikenal karena aktivitas para seniman itu,” papar Yoyo, yang siang itu ikut bergabung dalam obrolan dalam kondisi basah kuyup sehabis menyelam di sungai.
Selain menyajikan kesenian, Sony juga seringkali mengadakan jamuan makan siang/malam mengundang para turis itu. “Mereka sangat menikmati hidangan ndeso. Mungkin mereka merasakan kenikmatan masakan itu karena juga ditunjang oleh suasana tempat ini, terutama view-nya yang sangat eksotis. Setelah merasa nikmat oleh hidangan, mereka melihat lukisan di galeri. Dan selanjutnya transaksi terjadi…he he he, “ kata Sony terkekeh.

Preman blok M.


Perjalanan kesenian seorang Sony Santosa cukup panjang. Setelah lulus SMA di Jakarta, awal tahun 1980-an, Sony muda sempat malang melintang sebagai preman di lingkungan blok M Jakarta. “Kerjaan saya antara lain ngompasin angkot dan metro-mini,” katanya menerawang masa lalunya. “Hasilnya…ya buat mabuk-mabukan ”.
Di antara kesibukan ngompasin angkot, Sony muda seringkali menyalurkan bakat nggambarnya dengan corat-coret di atas kertas apa saja. “Bayangan saya, waktu itu, bisa dimuat di Poskota saja sudah luar biasa,” kenang Sony sambil menyebut harian di ibukota yang memiliki lembaran bergambar, antara lain memuat seri kartun ‘Doyok’ yang popular.
Setelah 4 tahun menggelandang di sekitar blok M, Sony memutuskan hijrah ke Bali. “Ada teman yang ngajak ke Bali. Tapi bukan untuk berkesenian. Ngajaknya untuk mabuk-mabukan…he he ,” kata pria yang selalu memakai kain semacam bando menutupi rambut gondrongnya ini. Di awal kiprahnya di Bali, Sony hidup bohemian di sekitar Kuta hingga Ubud. Tidak langsung menjadi pelukis, tapi tetap menjadi preman di sekitar daerah tujuan wisata terkenal itu. “Saya masih susah mengendalikan diri, dikit-dikit marah. Maunya nusuk orang saja “.
Pencerahan yang merupakan titik balik dalam hidupnya ia temukan ketika bertemu dengan Elizabeth Pirat, seorang psikolog sekaligus pelukis juga. Drawing atau lukisan hitam-putih di atas kertas karya Sony seakan-akan menemukan ‘kekuatannya’ di mata perempuan Perancis itu. Mereka kemudian memutuskan menikah dan membentuk tim berkesenian yang solid. Sejak itu bakat Sony tersalurkan dengan benar.
Ia mulai rutin berpameran. Galeri-galeri mapan juga mulai menerima karya-karyanya. Hidupnya juga mulai tertata. Kalau sebelumnya ia hidup bohemian dari satu rumah teman ke rumah teman lainnya, atau dari satu kontrak ke kontrakan lainnya, maka sejak saat itu ia bisa membeli rumah yang cukup besar. Rumah itu juga berfungsi sebagai studio sekaligus galeri pribadi. Di rumah yang terletak di Ubud itu, Sony dan Elizabeth, membangun keluarga serta membangun karir kesenimanan yang lebih mapan.
Selain di Bali, pasangan perupa itu juga berpameran di beberapa kota di Eropa. Di kota Nice, Perancis, Sony menjalin kerjasama mempersatukan seniman kota itu dengan seniman Bali. Selain melukis, Sony juga mengajar ibu-ibu ekspatriat yang tergabung dalam BIWA (Bali International Women Association).
Namun kemapanan itu juga menggelisahkan jiwa kesenimanan Sony. “Menurut saya, Bali sudah habis. Seluruh potensi Budaya dan alamnya sudah tuntas dieksplorasi, “ ungkap Sony gundah. Sony dan Elizabeth terpacu untuk mencari tantangan baru. Mereka melirik beberapa tempat di luar Jawa/Bali. “Namun masalahnya, beberapa tempat yang menarik itu belum bias menerima pergaulan internasional yang menjadi jaringan kami berkesenian, ” jelas Sony lebih lanjut. Hingga kemudian mereka menemukan tempat di Borobudur ini.“Saya bisa berpisah dengan Bali, tapi nggak bisa berpisah dengan pariwisata “.
Kenapa Borobudur, bukan Jogya atau Solo yang atmosfir keseniannya lebih semarak ? “Jogya-Solo sudah kepenuhan. Sementara di Borobudur ini saya merasa lebih natural, “ kilah Sony menjelaskan lebih lanjut alasannya menetap di Borobudur ini.
Apakah factor pariwisata ini juga mempengaruhi jenis dan bentuk kesenian yang tampil di Rumah Seni Elo-Progo ? “Nggak… Saya justru tidak setuju dengan model ‘seni paket wisata’. Saya membebaskan teman-teman seniman untuk berekspresi sesuai kehendaknya, “ jawab Sony. Pengakuan Sony ini nampak dari keragaman seni yang selama ini tampil mengisi panggung atau arena di rumah seni ini. Tidak melulu seni tradisi yang sudah dikemas sedemikian rupa demi wisata, tapi juga tampil berbagai bentuk seni modern yang bersifat personal.
Namun sayang kebahagiaan Sony bersama istri tercinta tak bisa berlanjut. Tahun 2004, Elizabeth Pirat meninggal dunia karena sakit kanker yang dideritanya cukup lama. Kini hari-hari Sony dilalui tanpa kehadiran perempuan yang banyak memberi inspirasi bagi hidupnya itu.
Tapi hidup kan mesti berlanjut kan bung ? Berkarya terus dan sukses dengan rumah seninya. (Bolinks 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
  • 1st
  • 2nd
  • 3rd
  • 4th
  • 5th

Home | Mobile Version | Seni dan Budaya | Manusia Kreatif | Acara dan Berita | Festival 5 Gunung | Networking | Wisata
(c) 2013-2016 Modus Getar | Powered by Day Milovich