Menengok Sekolah Lima Gunung ::1::

Borobudur Links | Juli 07, 2009 | 08.56 wib | Label: Event and News


Kebersamaan Petani Desa Memerangi Kebodohan
oleh Sholahuddin al-Ahmed

Kurang lebih satu bulan terakhir ini di Studio Mendut, Mungkid, Kabupaten Magelang dijadikan sekolahan bagi para seniman yang tergabung dalam Komunitas Lima Gunung (KLG). Bagaimana kisah para petani yang juga seniman dari Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing dan Menoreh itu berproses di perguruan Mendut, berikut laporannya.

Petang hingga malam mungkin waktu yang tepat, sehingga dipilih sebagai jam pembelajaran di perguruan Mendut. Para petani juga baru saja melepas lelah setelah seharian bekerja di sawah dan ladang.

Petang itu, peserta didik sudah berada di salah satu ruang geleri studio. Kepala Sekolah Gunung Endah Pertiwi (20), bergegas mengkondisikan mereka. Dibukalah absensi, sebelum dimulainya pelajaran bahasa Jepang.

Memang suasana ruangan tak seperti sekolah formal dengan bangku dan kursi berjajar rapi. Hanya tiga meja besar disambung menjadi satu, peserta didik duduk berjajar berhadap-hadapan menggunakan kursi seadanya.

Suasananyapun tak setegang pelajaran matematikan atau fisika di sekolah formal. Semua cair dalam ikatan persaudaraan untuk berproses bersama dalam pendidikan di sekolah gunung. Mereka bertekad memerangi kebodohan dan penuh semangat menimba ilmu pengetahuan.

Tua dan muda tak dibedakan kelas, semua melebur menjadi satu dalam ruangan. Endah yang juga mahasiswa semester III Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tidar Magelang, memanggil satu persatu peserta didik.

‘’Kismi’’ucap Endah dengan nada agak lantang. Kemudian seorang perempuan duduk paling pojok itu menjawab ‘’hadir’’. Petani asal Lereng Gunung Merapi yang juga anggota kelompok kesenian topeng ireng putri Keron Sawangan itu kemudian tersenyum dan tersipu malu sambil kepalanya lenggak-lenggok.

‘’Ya ini wajah asli pedesaan yang masih membawa kemaluannya di sekolahan,’’kata Endah yang disambut tertawa riuh peserta didik lainnya. Suara tertawa itu masih menggema, kemudian dia menimpali pertanyaan lain ‘’Kismi, dalam bahasa Inggris artinya apa,’’

Nur Bedhok, pemuda asal Desa Gejayan, Pakis, di lereng Merbabu, anggota grup kesenian musik kontemporer truntung, spontan menjawab dengan suara lantang, ‘’Cium saya’’.

Riuh tawa itu bersambung lagi dan semakin menggema. Kemudian peserta didik lainnya, juga membenarkan jawaban Nur. Kismi semakin tersipu malu dan berkeringat.

Selesai absensi guru bahasa Jepang yang cantik itu maju di depan kelas. Nama bu guru muda itu, Shikiraya (20), mahasiswi Jurusan Sastra Jepang, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Wajah guru itu mirip orang asli Jepang, karena memang keturunan Indonesia-Jepang, yakni putri pemilik Studio Mendut, Magelang, Sutanto yang beristri Mami Kato asal Jepang.

Ketika Shiki tampil di depan, di sambut dengan gembira para peserta didik. Ada juga mereka yang nyeletuk ‘’tombo ngantuk’’. Memang kehadirannya benar-benar menghipnotis siswa, yang tadinya lemas menjadi lebih semangat.

Jangan dibayangkan pelajaran bahasa Jepang yang dipelajari mereka sesulit seperti di kuliahan. Bu guru yang juga pimpinan kelompok kesenian Jepang ‘’D’Joh’’ berusaha mengkondisikan peserta dengan materi yang ringan dan menghibur.

Selanjutnya peserta didik berkesempatan bertanya kepada guru.’’Kalau Festival Lima Gunung (FLG), bahasa Jepangnya apa,’’tanya tokoh KLG dari lereng Gunung Sumbing, Desa Krandegan, Kecamatan Kajoran, Sumarno (54).

‘’Itsusu no Yama no Matsuri',’’ jawab Shiki. Para siswa kemudian menuliskan kalimat yang diucapkannya di atas secarik kertas. Secara bersama-sama siswa mengucapkan kalimat tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
  • 1st
  • 2nd
  • 3rd
  • 4th
  • 5th

Home | Mobile Version | Seni dan Budaya | Manusia Kreatif | Acara dan Berita | Festival 5 Gunung | Networking | Wisata
(c) 2013-2016 Modus Getar | Powered by Day Milovich