Halaman

Mei 05, 2012

YANG UTAMA YANG TERABAIKAN.


(dari pameran ‘Magelang Tempo Doeloe 2012’).

 Oleh Mualim M Sukethi.

Borobudurlinks, 30 April 2012. Rasanya kita semua pantas memberikan apresiasi kepada rekan Bagus Priyana alias Agung Dragon, pemuda Magelang yang terobsesi dengan hal-hal berbau heritage menyangkut kota Magelang. Selain menjadi ketua VOC (Komunitas Sepeda Tua), Agung juga menjadi aktivis komunitas ‘Magelang Kota Toea’, yang setiap tahun mengadakan pameran ‘Magelang Tempo Doeloe’.
Atas kerja keras yang dilakukan Agung Cs, pameran ‘Magelang Tempo Doeloe’ yang sudah berlangsung sejak 2009 itu dapat terlaksana secara kontinyu. Kali ini pameran yang selalu mengambil lokasi sekitar watertoren, alias menara air yang menjadi ikon alun-alun Kota Magelang, berlangsung dari tanggal 26-29 April 2012.

Selain foto-foto bangunan dan situs lainnya yang pernah ada atau didirikan di Magelang, pameran itu juga menampilkan berbagai barang antic seperti sepeda dan alat transportasi kuno lainnya, mesin-mesin jahit, wayang onthel, dan lain-lain. Tentu, tak ketinggalan berbagai kerajinan dan kuliner mewarnai pameran itu.
Yang sangat disayangkan, gethuk sebagai ikon kuliner Magelang yang paling fenomenal justru tak mendapat tempat. Gethuk juga tak nampak pada pameran produk yang diadakan selama  perayaan HUT Kota Magelang di Alun-alun sepanjang April 2012. Padahal kalau kita menengok kota-kota lain, mereka sangat bangga untuk memamerkan makanan khas atau unggulan daerahnya di setiap hajatan yang diadakan di kota-kota itu.
Tak lupa, selain pameran, acara ini juga menampilkan berbagai kesenian tradisi dan kesenian lain yang dianggap ‘tempo doeloe’. Seni tradisi seperti Topeng Ireng dan music keroncong itu ditampilkan lewat panggung yang cukup megah di samping pohon beringin yang berada di tengah Alun-alun. Panggung itu juga dimanfaatkan untuk acara pendukung lain seperti ‘Remboeg Kota Toea’, dll.
Selain apresiasi tentu saya tak akan lupa menyampaikan kritik, suatu peran yang dengan sadar saya lakukan, agar pameran semacam ini semakin baik pelaksanaannya di masa depan. Secara umum pameran ini cukup berhasil. Mampu mengundang berbagai kalangan untuk menyaksikannya. Kita juga pantas berharap pengunjung memperoleh manfaat dalam mengenal sejarah kotanya.

Namun yang justru pantas disayangkan adalah perlakuan panitia terhadap materi utama pameran, yakni penampilan foto-foto Magelang tempo dulu, yang disajikan secara apa adanya. Sangat jauh dari kaidah pameran umumnya. Foto-foto yang berjumlah ratusan itu hanya ditempel pada panel-panel berlatar gedheg (anyaman bambu), yang kemudian ditutup plastic murahan.
Mungkin penggunaan panel gedheg itu dimaksudkan agar pameran ini terkesan akrab lingkungan. Itu boleh saja. Namun perlakuan terhadap foto tetap harus memenuhi standard pameran. Mestinya foto-foto itu dibingkai secara layak. Cropping sembarangan berbentuk segitiga di sudut kiri foto, sekedar menempatkan stempel ‘Magelang Kota Toea’, juga sangat mengganggu. Komposisi foto jadi rusak.
Selain terkesan kumuh, tampilan foto itu juga tak disertai keterangan atau informasi tentang keberadaan bangunan atau situs yang berada di dalam foto. Ada satu-dua info memang, tapi jauh dari memadai untuk menjelaskan foto-foto itu berkaitan dengan sejarah kota Magelang.
Kalau tampilan yang seadanya itu dilakukan 3-4 tahun lalu, ketika Bagus cs memulai acara pameran ini, saya bisa memaklumi. Karena saat itu hampir tak ada dana dikucurkan oleh Panitia HUT Kota Magelang terhadap acara ini. Namun kini situasinya pasti berbeda. Kalau panitia bisa membangun panggung megah, mestinya bisa memperlakukan foto-foto itu lebih elegan, karena dana pasti ada.
Saya sendiri kurang tahu kenapa panitia abai terhadap kondisi foto-foto yang bisa dianggap obyek utama pameran ini. Mungkin karena sebagian besar panitia bukan seniman, sehingga penghargaan terhadap karya (seni) juga kurang. Bagi mereka lebih penting kesan gemebyar dari ramainya saung-saung dan panggung yang megah, daripada substansi pameran yaitu penampilan foto-foto itu sendiri. (Sore harinya, masih hari pertama pameran, ketika saya balik ke pameran karena harus menemui seseorang, salah satu panel foto itu telah berdiri doyong… nah lho ? ).
Saya sempat bertanya kepada Mbilung Sarawita, Ketum DKKM (Dewan Kesenian Kota Magelang), tentang hal ini. Namun tak mendapat jawaban semestinya. Ia hanya menjawab: “Kami juga kesulitan menampilkan foto-foto itu…mestinya bisa tampil lebih elegan “.
Saya juga sempat mempertanyakan, kenapa panggung megah itu tak diisi oleh kesenian yang lebih beragam ? Kenapa hanya Topeng Ireng atau music keroncong ? Kenapa teman-teman MJC (jazz) atau Magma (pop/rock) tak diberi kesempatan mengisi acara ? Pertanyaan ini sesungguhnya juga merujuk pada pemanfaatan panggung utama yang hanya digunakan saat upacara HUT berlangsung.
Mbilung menjawab, kesenian yang ditampilkan pada acara ini yang terkesan ‘tempo doeloe’ sesuai tema acara. Saya sempat menyanggah, ‘tempo doeloe’ itu berdasarkan ukuran apa ? Apakah Topeng Ireng berkostum Indian Amerika dengan syair-syair Islam, yang baru lahir awal 1960-an, itu lebih tua dari musik jazz ? Pak Ketum hanya menjawab dengan senyum kecilnya.
Dari senyum itu, saya menangkap kesan panitia HUT Kota Magelang telah terjebak pada pemahaman yang keliru tentang seni tradisi dan sejarah kesenian, atau lebih jauh lagi tentang pembinaan kesenian secara umum. Apakah sebuah kota semata-mata hanya perlu menghidupi seni tradisi (tradisi siapa dan yang mana) ? Apakah yang dianggap seni modern lalu pantas diabaikan ? Lalu ekspresi pendukung seni modern, yang sebagian besar anak-anak muda itu harus disalurkan ke mana ? Karena dalam keseharian mereka juga tak memiliki sarana untuk menyalurkan ekspresi itu ?
Kalau acara ini dianggap penting, dan akan diteruskan di tahun-tahun mendatang, saya berharap foto-foto itu diperlakukan semestinya. Diberi sentuhan grafis lebih baik, termasuk mencantumkan informasi yang memadai, dan label yang tak mengganggu. Dibingkai secara elegan. Disimpan dan dirawat dengan baik, karena saya yakin pemanfaatan foto-foto itu tak hanya untuk acara HUT Kota Magelang saja. Saya yakin banyak kesempatan lain di mana foto itu dibutuhkan.
Carikan sponsor atau beasiswa buat Bagus Priyana, yang memiliki obsesi terhadap masalah heritage Magelang, untuk melakukan penelitian sehingga mendapatkan informasi memadai tentang keberadaan foto-foto itu serta sejarah kota Magelang. Tentu informasi ini bisa dimanfaatkan pihak-pihak yang membutuhkan, termasuk Disporabudpar Kota Magelang. Karena setahu saya, data tentang kota tua yang ada di Disporabudpar kurang memadai dan banyak yang salah.
Darimana dana untuk membingkai dan meneliti sejarah foto-foto itu ? Yang pasti dari Disporabudpar, pihak yang paling berkepentingan. Saya yakin dana untuk kepentingan itu bisa diusahakan dari APBD, kalau memang benar Kota Magelang akan diarahkan menjadi kota (jasa) wisata. Lha wong memberangkatkan grup Topeng Ireng ke Festival Bali dengan biaya lebih 100 juta rupiah saja bisa, kok membingkai foto dan membiayai riset tidak bisa.
Hal itu bisa menjadi program DKKM. Lembaga itulah yang seharusnya memfasilitasi adanya dana untuk kepentingan ‘Magelang Tempo Doleloe’. Jadi DKKM punya program kongkrit yang bermanfaat dan bisa dibanggakan. Bukan sekedar dana atau program yang parsial atau sekedar hajat tahunan…atau dang-kadang, kata tetangga saya yang orang Madura. (bolinks@2012).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar